Pages

TIGA MINGGU PKPP DI SLB LAWANG

Alhamdulillah udah genap tiga minggu dan nyaris sebulan kami bertiga PKPP di Lawang. Pengalaman mulai dari yang nggak enak sampai yang uenaak adaa semua di dalam perjalanan praktek kami.

Nggak enaknya, harus berpanas-panasan tiap hari. Ngendarai motor di bawah terik panas matahari ditambah kondisi jalan di daerah Lawang tuh gersang, pohonnya nggak banyak jadi bisa dipastikan tangan saya gosong. Berasa nggak mempan gitu udah pakai sarung tangan, maskeran sama pakai lotion. Sebagai cewek wajarlah ya menggerutu. Nggak enak banget dilihatnya kalau warna kulit belang gini. Apalagi tangan saya. Duuuh...ampun.



Enak dan serunya, di sana banyak kejadian lucu hingga mengharukan yang kami alami maupun amati. Di sekolah itu ada bapak guru muda berkacamata. Jadi, kami bertiga memanggilnya Bapak 'Dikta'. Alasannya karena saya ngefans banget sama si Dikta personil Yovie&Nuno, jadi kalau ada cowok cakep plus berkacamata, saya panggil Dikta. Eh setelah saya selidiki, ternyata Bapak Dikta yang saya ketahui kemudian namanya Andhika, dia itu seumuran dengan saya. Malah lebih muda tiga bulan dari saya. Saya Januari, dia Maret. Sayangnya, dia tunawicara. Entah tunarungu juga apa nggak, yang jelas kekurangannya itu. Saya juga udah selidiki, eeh.. dia udah punya pacar. Baiklaaaah. Hanya untuk dikagumi, bukan untuk dimiliki.

Jumat kemarin, kami bertiga sehabis senam, ke ruang aula. Di situ, ada yang lagi main badminton. Saya waktu itu masih duduk di depan aula, duduk berbaur sama adek-adek yang lagi nonton pramuka-an anak SD. Nggak lama, saya lihat si Bapak Dikta masuk aula. Kedua teman saya udah duluan masuk ke situ. Jadi, saya nunggu waktu yang tepat untuk ikut masuk. Pas masuk, kedua teman saya pun main badminton. Bapak Dikta duduk di sebelah saya. Sempat berdiri dia sebentar terus duduk lagi. Eh, duduknya bergeser haha.. yang tadinya kita dipisahkan oleh dua kursi, itu cuman dipisahin satu kursi. Di kursi kosong itu ada hape teman saya, jadi dia sungkan mau duduk di situ. Haha.. so sweet gitu yaa, makin dekat aja. Dan sempat juga saya ngobrol sedikit dengan dia walau saya nggak paham dia ngomong apa tapi saya cuman bisa senyumin dan bilang, "Iya." Lalu, saya nanya ke dia, "Bapak nggak mau main badminton?" Dia jawab sambil angguk-angguk lalu dia maju deh main sama kedua teman saya. Saya sempat ditawarin sama bapak guru lain yang udah capek main, tapi saya menolak karena malu. Hahaha nanti salting ai di depan si Bapak Dikta.

Oiya, soal klien-klien kami juga lucu-lucu. Jadi, di sana itu kami sangat terhibur. Bukan ngetawain mereka yang tiap jawab pertanyaan tuh nggak bisa. Tapi, ada aja tingkah dan respon verbal mereka yang bikin kita tuh ngakak. Saya sendiri menangani klien anak SMPLB. Satu kelas itu ada tiga orang. Ketiga-tiganya adalah klien saya. Yaa walaupun cuman dua aja nanti yang kasus dilaporkan sebagai laporan PKPP putaran pertama ini. Mereka semua laki-laki. Dua orang usianya 18 tahun dan satunya 17 tahun. Tapi, yang lebih dominan dan agak dewasa dikiiit itu malah yang usia 17 tahun dan emang postur tubuhnya juga lebih tinggi.

Yang usia 17 tahun ini itulah anak yang pertama kali saya datang ke SLB, langsung jabat tangan saya dan minta pin BBM saya. Ceritanya udah pernah saya sharing di postingan sebelumnya. Hahaha... Dia ternyata punya jiwa sosial yang tinggi, peduli banget sama orang lain, sama kondisi di sekitarnya. Tapi, sekali ngomong beuuuh... nggak bisa berhenti udah kayak kereta api dan anaknya gampang terpengaruh dengan hal-hal kasar. Satunya lagi adalah kasus CP yang RM. Ini klien utama saya. Karena CP jadi ada hambatan di komunikasinya. Saya kaget waktu tadi pagi dia cerita kalau kemarin malam tuh dia nongkrong sampai jam dua pagi baru pulang. Herannya, nggak dicariin sama ortunya. Ortunya malah ngebiarin. Satunya lagi itu klien saya. Dia ini seriiiiing banget berkata kasar dan kurang sopan. Sekalinya ngomong kasar atau nggak sopan gitu, dia langsung nutup mulut sambil bangkit dari bangkunya lalu senyam-senyum sendiri. Yang lucunya pas pelajaran tadi, guru nanya, "Sudut itu apa?" Trus dia malah meragakan orang shalat sambil sujud. Haha spontan laah saya dan guru tertawa terus ngingetin, "Sudut dan sujud itu beda." Dia tahunya bahasa Jawa, sudut itu pojok. Lucu..lucu... Kedua anak yang usianya 18 tahun ini mereka dimanjain sama ortunya. Beda yang 17 tahun ini malah mandiri. Udah bisa mikir menabung buat beli handphone katanya. Terus kadang dia juga yang negur kalo dua anak 18 tahun ini berantem atau yang suka berkata kasar ini ngejekin si temannya yang CP (Cerebral Palsy). Kadang juga malah ikut-ikutan mojokin temannya yang CP ini. Kasihan juga.

Eh oh ya, anyway, di SLB kan banyak pohon mangga tuh. Kita aja sampai manjatin pohon mangga dan rujak party sama guru-guru. Hehe seru deh selama kita di sana. Alhamdulillah diterima dengan baik dan semoga ke depannya lancar sampai kita bisa intervensi anak-anak di sana hingga kasus selesai. Aamiin

SECOND DAY PKPP (PRAKTEK KERJA PROFESI PSIKOLOGI)

Foto di ruang asesmen a.k.a ruang yang dipinjamkan untuk kita tempati bila ada keperluan konseling
Bila ada yang protes dengan warna jasnya, loh kok putih? Kok kayak kedokteran? Nah ini kami hanya menjalankan perintah dari kampus yang turun-temurun memang warna putih jasnya. Di SLB pun kami sempat ditanyain baik oleh murid maupun guru, "Ini kedokteran atau psikologi?"
Hiaaaa
Yaah, apa boleh buat. Kami hanya menjalankan tugas dan yang pentingnya niatnya untuk membantu orang aja sudah. Perkara warna jas, itu mah urusan akhir, kagak usah dipusingin yak.

Sedih sih, psikologi belum mendapat tempat penuh di kalangan masyarakat dan belum ada UU resminya. Tapi, saya pribadi bangga menjadi bagian dari perkembangan psikologi sekaligus sebagai calon psikolog.
Doakan kami yaa... semoga lancar masa PKPP-nya di tiga tempat selama satu semester ini. Doakan juga kami yang sembari ngejar tesis. Semoga kami bisa lulus bareng-bareng dan sukses bareng-bareng. Aaamiiin....

FIRST DAY PKPP

Terhitung 21 September 2015, kami udah mulai terjun ke lapangan a.k.a internship alias Praktek Kerja Profesi Psikologi. Putaran pertama ini saya prakteknya di Malang dulu, tepatnya di SLB Lawang. Dulu zaman S1 Saya udah pernah magang di SLB ini. Nah, sekarang praktek di sini lagi. Enjoy aja sih soalnya lokasinya juga nyaman banget dan pihak SLB pun welcome.

Saya magang di SLB ini bersama dengan dua orang teman. Sebelumnya saya jelasin dulu. Kami itu dipecah menjadi dua kelompok besar. Dua belas orang praktek di RSJ Menur dan tujuh orang di Malang. Ketujuh orang termasuk saya ini dipecah lagi menjadi tiga kelompok dan ditempatkan di tiga tempat berbeda. Saya dan dua teman saya ditempatkan di SLB Lawang. Dua teman selanjutnya di YPAC dan dua lainnya lagi di SLB Dr. Idayu Pakis.



Hari pertama ini, kami janjian sama Supervisor lapangan dari kampus yaitu Bu Ani (btw, ibunya sosialita binggooo dan cuanteeek lagi) serta Bu Nur. Janjiannya sih jam 8.

Saya berangkat dari rumah. Kalo masalah jarak dan waktu sama aja kayak saya berangkat kuliah dari rumah ke kampus, memakan waktu sekitar 30-40 menitan. Jadi, satu jam lebih maju saya udah berangkat dari rumah. Untungnya dari rumah bisa potong kompas lewat Sulfat menuju arah Arjosari untuk nembus ke Lawang. Pagi tadi berangkat jam tujuh. Nyampe pertigaan Arojsari-Lawang maceeeet pemirsaaaah. Jalan udah kayak kura-kura. Ternyata kemacetan disebabkan ada satu tronton mogok di tengah jalan beberapa meter dari Fly Over.

Waaah... rasanya kayak nano-nano. Saya dulu sih udah pernah bolak-balik Lawang juga karena subjek skripsi dulu banyak tinggal di Lawang sama Singosari. Tapi itu masih takut bawa motor. Sekarang mau nggak mau harus PP rumah-Lawang, beradu dengan debu, asap knalpot, terik mentari, bus, truk gandeng, mobil, motor, becak dan segala jenis kendaraan. Syukurnya lokasi SLB berada di kiri jalan jadi nggak perlu nyetir ambil lajur kanan yang notabene harus dengan kecepatan tinggi. Saya akui emang rada cemas kalo udah berhadapan sama jalan besar apalagi yang menuntut kecepatan tinggi ditambah ketemu sama bus dan truk. Kenapa? Dulu pernah kecelakaan, terseret jauh dan nyaris ketabrak truk dari belakang. Itulah masa-masa trauma S1 saya.

Well, lanjut... nyampe sekolah, Ry dan Mba Yu udah nyampe duluan. Beberapa menit kemudian kita nungguin para supervisor baru kemudian masuk ke lobby bertemu sama Bu Sofi (Supervisor di SLB) dan Kepsek. Ternyata Kepseknya udah ganti. Kalo dulu seringnya laki-laki, sekarang ini dapat perempuan. Jadi, masuk ruangan beliau tuh wangiii, ada anggrek macan ungunya pula di atas meja. Kalo zaman saya magang S1, Kepseknya laki-laki dan masuk ruangan tuh berasa bau asap rokok.

Setelah ngobrol bareng Kepsek, Bu Sofi dan para supervisor, kami pun keluar dari ruangan Kepsek. Setelah itu, lanjut keliling ke kelas-kelas sekaligus berkenalan dengan para guru.

Next, kami kumpul lagi di lobby depan bersama dua supervisor. Di situ kami ngobrol-ngobrol mengenai strategi dan apa aja yang perlu kami lakukan selama masa pkpp ini. Kami juga dikasih arahan serta nasehat oleh para supervisor. Tidak berapa lama kemudian, di sela-sela perbincangan muncul salah seorang murid SMPLB. Postur tubuhnya tingi, kulitnya sawo matang dan berjerawat. Dia nyamperin saya sambil menjabat tangan saya dan berkata, "Mbak..."

Saya awalnya canggung sekaligus shock. Kok cuman saya aja yang disamperin. Sampai Bu Ani, salah satu supervisor kami yang sosialita tuh nyeletuk, "Loh, kok cuman satu yang disamperin?" Bu Ani nyeletuk gitu berharap anak tadi tuh denger. Nggak denger ternyata anaknya dan langsung nyelonong pergi.

Murid itu pergi, kami pun lanjut berbincang lagi. Belum ada lima menit kemudian, murid tadi datang lagi. Kok saya lagi yang disamperin. Dia nanya, "Mbak dari mana?" Saya spontan jawab aja, "Saya dari UMM." Anak itu pun pergi lagi keluar dari lobby.

Selang beberapa menit kemudian, datang lagi untuk ketiga kalinya. Lucunya murid tadi menyodorkan kepada saya selembar kertas buram warna putih yang dilipat dua namun dengan satu sisi terlihat sudah robek. Dia bilang, "Minta pin bbm. Nanti tak bbm."

Mendengar murid tadi minta pin, saya sempat linglung kagak tahu mau ngomong apa. Saya pikir minta saya untuk menuliskan nama. Eh nggak tahunya minta pin bbm. Si Ry nyeletuk bantuin jawab, "Bilang aja paketan data lagi nggak ada, Mbak Em." Akhirnya, saya jawab, "Nanti aja ya, Dek." Dia pun pergi dengan tangan kosong dan mungkin sedikit kecewa.

Haha.. pengalaman pertama, belum apa-apa udah ada yang naksir. Astaga. Tapi, kami bertiga senang sih bisa dapat tempat di SLB. Kami pun diberi satu ruang khusus yang bisa kami gunakan untuk keperluan konseling. Ruang kesiswaan di pojok kanan seberang sekolah itu kosong dan biasanya cuma dipakai untuk kebutuhan asesmen aja. Jadilah kami kalo capek bisa istirahat di situ. Ada AC-nya pula.

Kami juga sudah berkenalan dengan psikolog yang ada di SLB tersebut. Namanya Bu Lely. Ibunya ramah dan bisa lah jadi informan kami selama praktek ini.

WANNA GO TO AUSTRIA

Jangan salah terka dulu. Impian ke Austria ini sudah lama terbendung dalam hati. 2013 lalu saat browsing di internet, saya sedang mencari setting untuk novel baru. Bingung, mau milih Prancis, sudah banyak. Apalagi Korea. Lalu, tergiringlah saya ke sebuah situs all about Austria. Menurut sejarah, Austria itu adalah tempatnya musik klasik. Banyak bangunan tua bersejarah di sana. Kotanya adem, nyaman dan di sana ada universitas yang cukup populer yaitu Sigmund Freud Universitat. 


Saya memang masih tetap ingin fokus menulis dengan bumbu psikologi meski dalam bentuk novel. Jadi, kota Ausria sangat pas untuk saya jadikan latar dalam novel baru nanti. Di sana pun ada universitas Bapak Psikologi, Freud (Ya walaupun saya tidak berkiblat padanya sih).

Dari situlah saya mulai menulis beberapa hal mengenai Austria. Sekarang, impian itu menyala lagi. Sedikit-sedikit, saya coba untuk belajar bahasa Jerman. Bersyukur bisa menemukan workbook bahasa Jerman gratis. 

Yaah, entah ini akan terwujud atau tidak, saya akan tetap mencoba nulis novel berlatar Austria nantinya. Beberapa spot udah masuk ke list saya. Salah satunya kota Salzburg dan Vienna. Dua kota itu yang nantinya akan coba saya munculkan dalam novel, tapi tetap diawali dengan latar Indonesia sebagai pembukaan karena tokoh-tokohnya berasal dari Indonesia.

Barangkali ketika novel itu sudah selesai, akan ada PH yang melirik. Aamiin (yang kenceng). Sapa tahu aja ada produser yang berminat untuk mengangkatnya dalam film layar lebar. Sapa tahu juga saya bisa dapat sponsor jadi bisa gratis ke sananya.

Ya itulah impian saya. Selain pengen ke Mekkah, saya juga pengen ke Austria. Semoga terwujud, aamiin. Kun fayakun.

KE RSJ MENUR-NYA DITUNDA

Dua hari lalu, Pak Zai (salah satu dosen kami) memberikan kabar bahwa saat ini RSJ Menur Surabaya belum bisa menerima mahasiswa praktek sekaligus dalam jumlah banyak. Karena kami sekelas berjumlah 19 orang, maka dipecah menjadi dua kelompok. 

Senin lalu, kami survey kos ke Surabaya. Kami berpencar dalam dua mobil. Mobil pertama itu diisi oleh aku,  Mba Qi, Ry, Zu, Mba Ni dan Mameto. Kami awalnya susah mendapatkan kos-kosan. Untuk sementara kami tertarik dengan apartment Gunawangsa karena itu satu-satunya tempat yang nggak terlalu jauh dari Menur. Sementara itu, mobil kedua diisi oleh delapan teman kami lainnya. Mereka ternyata sudah memberikan DP kos-kosan di daerah Unair sekitar Gubeng. Sedikit jauh memang. Karena mereka sudah terlanjut DP, akhirnya yang ke RSJ Menur lebih dulu adalah mereka ditambah dengan tiga teman double degree. Sementara Mameto dan satu teman laki-laki lainnya mungkin akan tetap stay di Malang bersama dengan kami.


Pak Zai menginformasikan bahwa yang praktek di Malang akan dipencar ke beberapa SLB dan YPAC. Jadi, selesai di tempat itu, dua bulan kemudian gantian kami yang di RSJ. Alhamdulillah juga sih karena berhubung kami belum mendapatkan kos-kosan. Mungkin Allah mendengarkan doa-doa khusus kami bertujuh kemarin. Walaupun demikian, alhamdulillah saya pribadi udah dapat CP Pak Danang (Psikolog yang kerja di RSJ Menur). Pak Danang itu alumni UMM yang praktek di RSJ Menur. Saya mendapatkan nomornya dari Mbak Galuh (kakak tingkat saya sejak S1 sekaligus kakak tingkat di rohis). Mbak Galuh Andina ini adalah teman kelas Pak Danang. Saat saya pusing nanya-nanya kos, Mbak Galuh pun nanya juga ke Pak Danang. Syukurnya, saya dikasih CP yang punya kos-kosan dekat Menur. Selain itu, ada juga Mbak Lia yang bersuamikan dokter. Suaminya punya rekan dokter yang dulu berpraktek di Menur. Saya juga diberikan CP kos-kosan oleh Mbak Lia. Setidaknya, nanti pas kami praktek di Menur, kami udah punya banyak list pilihan mau kos di mana.

InsyaAllah mulai tanggal 21 September besok kami semua serentak PKPP. Sebagian di Malang dan sebagian lagi di Menur. Minggu ini kami sedang menunggu jadwal ujian proposal tesis. Semua serba cepat, entah maksimal apa nggaknya, sistem kampus mengharuskan seperti ini.

Mumpung masih di Malang, semoga saya bisa sekalian survey komunitas Karang Wredha untuk tempat saya mengerjakan tesis nanti. Sekalian revisi proposal jika memang ada yang perlu direvisi. Saya sih berharap, semoga pas ujian nanti, saya masih bisa mempertahankan variabel-variabel penelitian saya. Tema yang saya angkat memang masih terbilang jarang. Saya tertarik untuk meneliti lansia tapi melalui perspektif orientasi mereka terhadap kesehatan dan kebahagiaan. Di Indonesia, penelitian mengenai lansia itu kan nggak jauh dari loneliness, gangguan kognitif, religiusitas, kebermaknaan hidup dan sejenisnya. Nah, dalam tesis, saya mau meneliti dari perspektif yang agak berbeda, kebetulan juga di lapangan banyak lansia yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian saya.

Bismillah...
Mohon doanya ya, semoga semuanya lancar
Dalam waktu enam bulan atau lebih ini kami memang dalam masa internship. Semoga dalam waktu tersebut, kami bisa menyelesaikan laporan tujuh kasus dan bisa ikut ujian sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan sehingga kami nggak perlu ngeluarin uang untuk biaya ujian sendiri kalau telat.
Aamiin.

GOES TO SURABAYA TO INTERNSHIP

Insya Allah 21 September 2015 nanti, kelas magister psikologi profesi angkatan 2014 akan berbondong-bondong menuju kota pahlawan, Surabaya, tepatnya ke RSJ Menur. Tujuannya nggak lain adalah keperluan PKPP (Praktek Kerja Profesi Psikologi). Nama lainnya, kalau di dunia medis itu, internship.

Kenapa nggak di RSJ Lawang? Soalnya di sana lagi persiapan akreditasi sehingga belum bisa menerima praktek dari manapun. Akhirnya, para dosen pun survey ke Menur. Yeah... we got it. Buatku sih, sedih juga karena jauh. Jauh karena tiap minggu kita pun harus bolak-balik ke Malang untuk bimbingan kasus. Semua di luar dugaan. Aku pribadi memang belum tahu sistem Menur kayak gimana jadi belum ada gambaran. Kalau aja jadi di RSJ Lawang, udah banyaaaak persiapannya. Yaa, terima dan dijalani aja.



Senin besok ini nih, insyaAllah kita sekelas bakal survey kos-kosan di dekat Menur. Doain yaaa semoga dapat kos yang nggak jauh dari Menur. Aku juga nggak bakal diizinkan bawa motor dari Malang jadi setidaknya kalau dapat kos deket, nggak perlu jauh-jauh naik kendaraan lagi.

Satu setengah bulan mendatang, semoga semua dimudahkan. Semoga masih sempat juga untuk bimbingan tesis ataupun try out skala dan lainnya.

Oiya, sebelum itu, minggu ini kita akan ujian proposal tesis. Semoga semoga nggak perlu revisi banyak-banyak. Aku sih masih pengen mempertahankan variabel-variabelku karena penelitiannya masih terbatas dan terbilang cukup baru. Jadi, semoga aku bisa meyakinkan dosen-dosen penguji nanti, aaaamiiiiiin.

Semoga selama PKPP, aku bisa dapat minimal 3 kasus yang home visit-nya nggak terlalu jauh jadi bisa menej waktu dan menekan biaya yang nggak perlu-perlu banget.

Give me five! Yeeeey...
Semangat
Semoga bisa selesai tahun depan
Wisuda tepat waktu

BERUJUNG MISTERIUS

Randi....
Dulu kita berteman
Meski beda jurusan
Aku psikologi, kamu kedokteran
Dulu kita saling menyapa
Dulu kita pernah bercanda
Pertama berkenal dari P2KK
Setelah itu, Tuhan pertemukan secara tak sengaja di kelompok KKN yang sama
Dulu dan sekarang
Sangatlah berbeda

Randi....
Jika kamu berpikir aku menyapamu kemarin karena ingin mengejarmu, kamu salah besar
Empat tahun lalu, aku tidak tahu apa yang kurasakan terhadapmu
Hanya karena Moon dan Okha sering ngejekin kita berdua
Aku acuh, lebih lagi kamu
Aku tak bisa bilang aku menyukaimu atau tidak menyukaimu
Karena...
Aku memang tidak tahu
Tidak bisa mendefinisikan
Tapi, jika kamu menyalahartikan sapaanku dan kebaikanku dari dulu hingga sekarang, betapa menyedihkan bagiku
Mengapa kamu begitu?
Menyapa bukan berarti aku menginginkanmu
Aku hanya ingin kita berteman baik
Berteman biasa saja
Karena aku juga paham kamu tak menyukaiku

Dengan sikapmu kemarin yang seolah menganggapku makhluk tak kasat mata
Baiklah
Aku anggap itu tanda besar bahwa kamu tidak lagi ingin aku berkeliaran di sekitarmu
Entah kamu memang tanpa sengaja ingin memutus silaturahmi kita
Tapi, andai aku bisa berkata
Aku cuma ingin menyampaikan, aku hanya ingin kita berteman seperti empat tahun lalu
Hanya itu
Tanpa aku memendam perasaan apapun padamu
Tanpa kamu mencurigai setiap kebaikanku padamu

Tapi
Tampaknya percuma
Takdir ternyata bergerak secara misterius
Semua berawal dan berakhir dengan penuh tanda tanya
Kadang kamu perhatian, tapi aku tak menganggapnya lebih
Kadang kamu pun begitu tak peduli, tapi aku masih menganggapmu biasa seperti lainnya

Jika kamu memang menginginkan semua seperti ini
Baiklah
Aku akan berdoa
Semoga Tuhan tak akan pernah mempertemukan kita lagi
Karena dulu, kita sering bertemu tanpa sengaja
Maka dari itu, aku tak ingin lagi ada pertemuan sengaja atau tidak di antara kita
Aku tak ingin lagi ada kata kebetulan

Anggap saja kita tak saling mengenal
Anggap saja begitu
Jika itu memang maumu

Terima kasih
Pernah menjadi temanku

Semua tentangmu sudah kuabadikan dalam buku pertama dan buku keempatku
Tapi aku sangat yakin, tangan dan matamu tak akan pernah sudi membacanya
Sudahlah
Aku tak menyesal pernah mengenalmu
Aku hanya kecewa dengan sikapmu
Sisa reaksi masa lalu kini berujung misterius
Biarlah
Semoga Tuhan menyudahi

RUMAHKU (BUKAN) SURGAKU

Hasil gambar untuk RUMAHKU SURGAKU

Setiap postingan, selalu menggunakan kata saya. Izinkan kali ini berganti pakai aku ya.

Sejak pindah ke Malang, banyak masalah berhamburan, menyeruak, menggerutu tiada henti. Aku awalnya memang tidak pernah bilang setuju atau tidak setuju atas rencana kepindahan ini. Ini adalah ide bapak, kami hanya follower. Emang nggak enak ya jadi follower doang. 

Aku ngerasa bapak kurang bersyukur. Di Parepare, kami sudah punya rumah yang nyaman, telah berkali-kali renovasi hingga menghabiskan tabungan hidup. Aku dan adik-adik bisa punya kamar pribadi masing-masing. Aku juga punya spot di mana tiap sore, pasti aku duduk di meja belajar ruangan itu untuk menuntaskan tulisan-tulisanku. Kamarku sangat nyaman, ventilasinya sangat memadai dan cahaya matahari bisa masuk leluasa sebab langsung berhadapan dengan teras lantai dua. Selain itu, rezeki kami sangat melimpah ketika tinggal di sana. Walaupun tinggal jauh dari keluarga besar, tapi hampir tiap tahun kami mudik ke Jawa. 

Bukan berarti aku nggak mau keluar dari zona nyaman. Justru kami di Parepare--maksudnya orangtuaku--pun adalah perantau. Mereka sudah berpuluh tahun berjuang untuk hidup di sana. Bisnis penjualan pakaian mama pun laris manis tiap tahunnya karena sudah banyak pelanggan yang selalu sedia mampir berbelanja di kiosnya. Aku juga merasakan lebih mudah aja sih nyari pekerjaan, bukan mencari malah ditawari seperti momen di mana aku pernah mengajar di STAIN kemarin. Bapak nggak usah pusing mau memarkir mobilnya di sebelah mana karena parking area kantor cabang Bank Mandiri Parepare cukup luas. Mau makan seafood, nggak susah, banyak yang segar karena dekat dengan laut. Keuangan keluarga pun cukup terkendali.

Meski memang kota pesisi Parepare itu nggak ada mall apalagi Gramedia atau toko buku besar, tapi aku tetap bersyukur pernah tinggal di sana. Tiap pagi, aku bisa jogging baik sendiri maupun bersama mahasiswi, start dari perumahan sampai ke belakang, pas di pinggir pantai. Ya, di belakang perumahan itu ada pantai. Kalau nggak gitu, aku juga bisa gowes tiap subuh.

Pindah ke Malang, bukan aku nggak bersyukur. Tapi, aku ngerasa kepindahan ini adalah ujian dari Allah. Maaf, tapi nggak bisa kuceritakan sedetilnya apa permasalahan utama karena itu adalah privasi keluarga. Pindah ke Malang pun, aku malah berubah alergi. Ya, alergi udara dingin. Dulu ketika S1, aku masih bisa bertahan. Tapi, mulai pindah total ke sini, justru alergi makin menjadi. Aku juga takut tapi semoga nggak sampai mengalami sinusitis apalagi rhinitis. Semoga aja.

Meskipun aku anak sulung, tapi sebagai perempuan aku tetap saja makhluk yang lebih lemah daripada laki-laki. Aku juga nggak habis pikir, punya adik laki-laki manja. Lagi dan lagi, tiap ada masalah, aku yang jadi sorotan pelampiasan kesalahan. Seolah aku yang nggak bisa memberikan contoh, bla bla bla... Aku muak. Aku muak ketika mendengar teriakan. Aku muak dengan situasi yang terkadang seperti sedang berada di dalam "kapal pecah". Dulu, aku sedih karena nggak ada teman kuliah yang sudi mampir ke rumah pamanku (saat aku masih S1 dan masih tinggal di rumah paman) karena alasan jauh dari kampus. Sekarang, setelah S2, aku sangat bersyukur punya sahabat yang mau berkunjung jauh-jauh ke rumahku. Tapi, terkadang aku berpikir, takut dan nggak mau kalau mereka datang ke rumah. Kenapa? Aku cuma nggak mau, jika saja mereka datang pada saat rumah ini berubah menjadi "kapal pecah". Aku takut ketika mereka datang lalu setelah itu mereka menjauhiku. Tapi, terima kasih buat sahabat-sahabatku yang pernah berkunjung ke rumah tanpa diminta, pernah nganterin aku pulang waktu sakit dan pernah bela-belain nyari alamat rumahku padahal aku lagi nggak ada di rumah. Terima kasih sudah mau mengunjungi tempat pribadiku yang penuh dengan wajah kekurangan ini.

Aku bercita-cita, suatu hari nanti akan keluar dari rumah ini. Jika perlu merantau. Kalau sudah menikah nanti, aku ingin tinggal bukan di kota ini. Aku merasa lebih nyaman ketika merantau seperti saat masih S1 dulu. Aku bisa ngontrak, nyari makan sendiri, masak sendiri, jarang ketemu orangtua dan adik-adik. Itu lebih baik. Dengan berpisahnya kami dalam beberapa waktu dan dengan jarangnya kami bertatap muka, justru itu menjadikan suasana rumah lebih kondusif ketika berkumpul kembali. Beda ketika setiap hari bertemu tapi terkadang harus seperti ini.

Selain itu, aku ingin keluar dari kota Malang juga untuk menyembuhkan alergi dingin ini. Aku benar-benar tersiksa sampai belum berani check-up ke dokter. Aku mau tinggal di daerah tropis, panas. Aku mau sembuh.

Aku juga nggak tahu dan nggak bisa cerita pada siapapun termasuk sahabatku. Blog ini cukuplah jadi ruang kedap udaraku untuk menumpahkan keresahan. Tak peduli akan ada yang membaca atau tidak. Kalaupun ada yang membaca, mereka pasti nggak akan paham atau bahkan mungkin udah salah paham dengan apa yang kutulis ini. Jadi, sudahlah. Aku tak perlu banyak bicara. Biarkan ini jadi privasi saja karena nggak semua harus diceritakan pada orang lain yang memang nggak ada sangkut-pautnya.

Rumahku, surgaku.
Itu adalah kalimat yang selalu kuagungkan saat masih tinggal di Parepare.
Setelah pindah di Malang, kalimat itu terasa hambar.
Rumahku, antara surga dan bukan. 
Mungkin ini yang pantas.
Ya, aku nggak menampik, kadang kala aku lebih suka menginap di rumah teman daripada pulang ke rumah. Kadang, aku lebih suka menghabiskan waktu di luar mencari inspirasi atau hangout bersama teman-teman dekat daripada memilih untuk cepat-cepat pulang.
Dicari atau ditanya kapan pulang, aku suka kalimat itu
Ketika orang rumah mencari, benar-benar mencari bukan dengan alasan yang nggak bisa kuterima, aku menyukainya.
Tapi jika orang rumah mencari atau menahan dengan alasan yang sulit untuk diterima oleh hatiku, itu hal yang kubenci.
Kadang...
Sudahlah
Jalani saja
Sekarang, mencoba bersyukur dengan ujian di depan mata
Ini bukan soal rumah yang sempit. Jika hati lapang, rumah seukuran apapun tetap akan membuat nyaman, bukan? Bukan itu yang kupermasalahkan.
Hanya saja, cara pandang dan cahaya yang ada di dalam rumah itu... kadang nggak bisa menyatu... kadang remang-remang.. Itu yang membuat rumah ini seperti tempat persinggahan yang kurang dirindukan.
Maaf jika aku harus menulis seperti ini karena saat ini, inilah yang terjadi.
Tapi, aku juga berharap semoga masalah ini bisa segera teratasi, kalau bisa nggak harus nunggu sepuluh tahun lagi seperti kata orang rumah.
Semoga Allah membukakan jalan aamiin.

sumber gambar: youtube.com

KECERDASAN PEREMPUAN



Kita selalu mendengar
Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh jua
Atau mendengar ini...
Sepandai-pandainya orang menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga
Tapi...
Tahukah kau ada yang lebih pandai dari tupai atau si penyelundup bangkai?
Ya...
Perempuan lebih pandai dibanding mereka semua
Mengapa?
Perempuan itu cerdas
Perempuan pandai mengubur kekaguman sekaligus kecintaannya pada seseorang
Menatanya dalam titik pusat labirin yang selalu sulit untuk dicari
Menanamnya dalam sebidang hati tak terbaca
Hanya ia dan Sang Pencipta saja yang paham

Namun, perempuan juga mudah rapuh
Ketika cemburu membakar dirinya
Ia sering tak sadar telah menumpahkannya secara frontal, mungkin juga brutal
Anehnya, sekalipun tak berdaya untuk memiliki
Rasa negatif ini muncul begitu saja tanpa aba-aba

Seperti nasihat dari salah seorang sahabat Nabi saw yaitu Ali bin Abi Thalib, "Wanita mampu memendam perasaan cinta selama 40 tahun, tetapi tidak mampu memendam rasa cemburu walau sesaat."




(images from rizkyekawahyuni's blog)

LAGU BISA MENYESATKAN

Pernah dengar atau pernah tahu lagu Gloomy Sunday yang heboh di era 1940-an? Ya ya ya.... lagu yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi jazz, Billy Holiday ini menuai kontroversi  karena di Inggris dan beberapa negara lain, banyak korban berjatuhan akibat bunuh diri setelah mendengarkan lagu ini. Ada yang bilang suara si penyanyinya seolah mampu menyihir dan menghasut untuk bunuh diri. Huaaah...tapi memang liriknya itu ngenes banget sih.

Bukan cuman lagu Gloomy Sunday, Nina Bobo juga ternyata menyimpan misteri. Beberapa minggu lalu, saya pernah membaca postingan seseorang di Facebook mengenai misteri lagu Nina Bobo ini. Hiii... menurut penjelasan dari artikel itu, kalau nyanyiin lagu Nina Bobo sama aja kayak manggil arwah si Nina. Hiiii sereem yaa.

Baru dua atau tiga hari kemarin gitu, di grup WA akhwat LISFA (grup yang terdiri dari seluruh akhwat yang pernah tergabung dalam lembaga rohis zaman S1 dulu mulai dari angkatan baheula sampai angkatan terkini), saya memperoleh pemberitahuan dari salah seorang akhwat yang dulu pernah jadi MR saya. Beliau menyampaikan bahwa kita harus berhati-hati terhadap salah satu lagu Barat. Saya nggak usah sebutin deh judulnya. Tapi, senada dengan lagu Gloomy Sunday, lirik lagu yang ini nih ternyata bisa menyesatkan kalau disenandungkan apalagi dihayati. Parahnya kalau orang yang dengerin lagu ini sok-sok English tapi nggak tahu artinya apa, bisa-bisa.....

Salah satu bagian liriknya seperti berikut ini:

There's no religion that could save me
No matter how long my knees are on the floor
So keep in mind all the sacrifices I'm makin'
Will keep you by my side
And keep you from walkin' out the door

Sebagai seorang yang punya keyakinan agama, terutama Islam (karena saya muslimah jadi saya pakai sudut pandang agama sendiri), lagu ini bisa menyebabkan orang murtad loh. Naudzubillahi min dzalik. That's why, kenapa pada postingan sebelumnya mengenai lagu juga, saya udah pernah bilang kalau musik dan Al-Qur'an itu bisa saling mengusir. Ketika seseorang lebih banyak mendengarkan plus menyanyikan lagu, hapalan Al-Qur'an yang ada dalam hatinya lama-kelamaan bisa saja terkikis. Ini udah hapalan Al-Qur'an, gimana kalau udah keimanan seseorang? Wiiiiw.... haduuh parah..parah....

Bagi teman-teman yang masih suka denger lagu, hati-hati saja apalagi yang cinta banget sama lagu Barat atau Korea yang notabene berbeda bahasanya. Kalau udah suka sama sebuah lagu, mending cermati dulu arti tuh lagu apa sih. Kalau udah tahu liriknya bisa menyesatkan walaupun musiknya aduhai, mending tinggalin.

Itu saja sih yang mau saya sampaikan. Sekali lagi, hati-hati. Lebih baik, kurangi atau tinggalkan. Mungkin agak sulit ya untuk benar-benar menghindari lagu. Ketika kita pengennya nggak dengerin lagu tapi di satu tempat (di restoran, kafe atau lainnya) ada yang muter lagu, yaa kita juga nggak bisa seenaknya melarang mereka. Tapi, minimal kalau lagi sendirian, lagi sedih, jangan biasakan menyembuhkan luka batin dengan mendengarkan lagu. Lebih baik, mulai dari sekarang biasakan diri ketika sedih atau banyak masalah, larinya dengan cara yang baik dan positif seperti membaca buku-buku bermanfaat atau sekalian membaca Al-Qur'an, ambil wudhu dan shalat.

GADGET: MENDEKATKAN YANG JAUH, MEMBODOHI YANG DEKAT

Judul aslinya, mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Tapi, biar lebih ekstrim jadi saya ganti menjadi membodohi yang dekat.

Coba deh nonton video ini....

Gimana perasaan kalian? Apa yang kalian pikir?

Yap, zaman semakin bergerak maju, semakin canggih alat-alat komunikasi dan teknologi. Tapi, justru manusia semakin terbelakang karena dikuasai oleh gadget. 


Pertama kali punya handphone dulu pas SMP. Itu juga beli dengan uang sendiri, sisa dari beasiswa. Tapi, nggak tiap menit pegangnya karena namanya juga hape jadul, masih monokrom, cuman bisa buat SMS, telepon pun nyaris nggak pernah kalau bukan sama keluarga. Main games ular-ularan sih iya, itu juga jarang banget. Bergeser pas kuliah S1, saya mulai mengenal Friendster. Kenalnya karena dikasih tau teman, akhirnya ikut-ikutan sign up. Merembet hingga masa-masa selanjutnya, punya hape yang makin canggih. Pernah dulu saya kecanduan chatting. Bisa dibilang parah banget. Bukan hampir lagi, tapi tiap hari pasti beli pulsa, minimal 10.000. Jadi, hitung aja tuh sebulan habis berapa pulsa? Pulsa itu cuman habis dipakai buat chatting, mulai dari pagi sampai pagi lagi, ON, meskipun dalam keadaan tidur. Melek-melek ngechat lagi. Pernah juga saking candunya, sampai-sampai saya membawa hape ke kamar mandi, cuman biar nggak telat balas chat dari teman.

Saat itu, menjelang 2010, saya terkena cacar air. Nggak kuliah selama beberapa pekan. Istirahat total. Itu juga karena ketularan adek sepupu yang kena cacar air duluan. Sejak itulah, saya akhirnya lepas dari candu chatting. Entah bagaimana caranya, tapi bersyukur karena berkat sakit itulah saya semacam reinkarnasi menjadi normal lagi, nggak kecanduan lagi.

Sedih memang ketika melihat video itu. Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, saya akui pernah menjadi orang ter-idiot yang pernah dibodohi oleh gadget. Demi apa coba? 

Saya memang punya banyak akun. Hampir semua beragam akun sosmed saya punya. Tapi, alhamdulillah tidak kecanduan seperti dulu. Beruntung kuliah S2 ini, saking padatnya, saya sampai sering diomeli, dikirimin PING! sama teman-teman cuman gegara saya nggak buka handphone kalau pas lagi ada di kampus mulai pagi sampai sore.

Punya banyak teman di dunia maya? Apakah itu patut dibanggakan? Menurut saya tidak. Justru saya berani menjudge bahwa orang yang paling banyak teman sosmednya ditambah penggila gadget adalah orang yang teramat kesepian dalam hidupnya. Mengenai ini, saya beberapa kali mendapat email atau komentar di blog tentang tulisan saya yang berjudul anti sosial atau apalah itu saya lupa. Semua yang curhat adalah penggila gadget. Parahnya, mereka sangat susah beranjak dari monitor cuman demi akrab-akraban dengan teman/kenalan mereka. Padahal di dunia nyata, mereka nggak pernah keluar rumah. Bahkan ada yang sampai takut keluar rumah dan bertemu orang banyak tapi punya banyak sekali teman sosmed. Mereka mengaku... kesepian. Sakit rasanya, ungkap mereka. Ada juga loh yang sampai depresi dan nyaris bunuh diri karena udah fobia sosial.

Okelah, kita punya banyak teman sosmed tapi masih mending kalau mereka memang orang-orang yang bisa kita jumpai setiap hari atau minimal sekali setahun lah. Tapi, bukankah miris jika berteman di sosmed tapi pada akhirnya misalnya nggak sengaja ketemu di dunia nyata, tahu-tahunya merasa nggak kenal karena mereka nggak pernah pasang foto asli atau lebih parahnya mereka hanyalah akun palsu.

Saya sendiri, memang anak rumahan. Saya memang jarang keluar rumah kalau nggak ada keperluan mendesak. Saya hanya keluar saat kuliah, diajak kumpul atau reuni dengan teman atau kerja kelompok dan diajak keluarga bepergian. Selebihnya, kalau keluar nongkrong duduk diem di pelataran, ngapain? Nggak penting. Meskipun demikian, saya pun akhirnya menyadari. Meskipun anak rumahan dan sudah difasilitasi oleh berbagai gadget canggih, saya tetap berusaha menyisihkan waktu untuk keluar dengan teman, sahabat dan keluarga. Memang, saya ini nggak betah berlama-lama di tempat yang sangat ramai dan sesak akan lalu-lalang orang. Tapi, kalau di tempat itu, saya sedang berjalan bersama teman-teman atau keluarga, setidaknya hati saya lebih tenteram daripada sendirian.

Tahu nggak sih? Jauh lebih indah jika kita mau menyempatkan diri mematikan seluruh gadget ketika orang-orang terdekat membutuhkan kita. Saya sendiri kalau pas lagi pergi liburan ke Madiun (kampung Mama) atau ke tempat mana gitu, dua hape memang saya bawa, kadang juga bawa laptop kalau pas mau sekalian ngerjain laporan. Tapi sesampai di sana, karena sinyalnya rada susah... alhasil saya memang sengaja menggeletakkan hape di rak atau di tas. Pagi hari bangun tidur, langsung cuap-cuap sama keluarga atau sepupu. Rasanya tenteram banget kalau pas lupa sama gadget gitu. Jadi, kalau liburan, saya memang akan sangat susah dihubungi. 

Dan, tahu nggak sih? Jauh lebih indah ketika kita berhasil ngobrol face to face, dapat kenalan baru di jalan/di mana saja daripada jatuh cinta pada seseorang di dunia maya, dipisahkan oleh ruang dan waktu. Itu lebih sakit dan rasanya flat... datar.... Iya, orang yang kita sukai/kagumi misalkan, cuman bisa dilihat lewat monitor meen... Belum tentu juga orang itu beneran asli ada. Kalau itu hanya akun ilusi, kita tertipu, benar-benar... jadi orang idiot dah. Coba aja kamu dilamar sama orang yang kamu sukai tapi lewat gadget, haduuuh... feel-nya mana? Nggak ada ekspresi nyata. Cuman emoticon, itupun kalau benar-benar tulus (nggak bohongan). 

Ah, coba deh sesekali, kita mematikan gadget. Kalaupun harus ON, semisal ngerjain tugas pakai laptop, baiknya jangan ngunci diri di kamar atau ruang tertutup. Kalau masih bisa konsentrasi, coba sesekali nyalakan laptop, ngerjain tugas di ruang keluarga/ruang makan. Jadi, kalau diajak ngobrol sama keluarga, bisa sesekali noleh, jawab pertanyaan mereka. Ya, kalau emang bisanya konsen di ruang tertutup dan damai tanpa bising, batasi aja jamnya. Jadi, jangan dari pagi sampai pagi lagi cuman natap monitor. Tiap beberapa jam gitu, keluar kamar dulu, nonton kek, ibadah kek atau makan di dining room sama keluarga.

Memang, gadget itu praktis, memudahkan kita, mendekatkan yang jauh. Tapi, kalau ada yang dekat, nggak usah ngobrol pake line, wa, path, IG, FB atau SMS segala kali padahal cuman dipisahin sekat ruang atau cuman dipisahin satu kursi kosong doang. Itu berlebihan banget namanya hahaha.

Heeumm, idealnya memang, kita yang harusnya pandai mengatur gadget, bukan sebaliknya kita yang diatur oleh gadget sendiri. Sebelum terlambat seperti kisah para pengirim email yang udah punya kecenderungan gangguan anti sosial, makanya coba deh dikurangi. Kalaupun memang karena tuntutan pekerjaan harus bawa gadget ke mana-mana, coba sesekali ketemu klien face to face.

Eh iya, ngomong soal klien yaa.... saya sering banget dapat klien via email. Rasanya itu.... hambar banget. Nggak banyak yang bisa saya amati dari klien. Mau berempati atau benar-benar memahami pribadi klien dan masalahnya juga harus kerja dua kali karena dibatasi jarak dan waktu. Jadi, kalau nanti saya udah resmi jadi psikolog dan berpraktek, saya maunya ketemu klien face to face. Kalau kliennya jauh, mungkin yaa gimana lagi cuman bisa via email. Tapi, kalau harus mengikuti terapi gitu yaa wajib ketemu langsung.

Coba kita flashback ke masa lalu
Saat masih kanak-kanak
Pada seneng-senengnya main petak umpet, lari-larian, manjat pohon, main ini itu sampai lutut lecet dan berdarah
Main perang-perangan pakai tembakan air, peluru plastik
Saat di belakang kita, ada teman yang bantu ngayunin ayunan yang kita naikin
Main jungkat-jungkit rame-rame sampai heboh terjadi perebutan daerah kekuasaan
Itu jauuuh lebih indah
Jauh lebih asyik
Daripada menjadi generasi milennium
yang jago maen DOTA
yang jago maen game Assasin
Cuman berhadapan sama user, sama komputer...

Semua tergantung kita
Mau pilih yang mana
Kalau saya pribadi sih, lebih happy ketika masa kanak-kanak dan sekolah
Belajar tetep jalan, tapi saat maen, ya maen sama anak-anak tetangga sampai lecet sampai diomelin sama ortu
Jadi cewek tomboy yang hobinya panjatin pohon, makan belimbing rame-rame sama temen-temen
Sekalipun akhirnya kena bully terus
Aaah, itu semua jadi terkesan manis dibanding pahitnya kalau ingat di masa kini
Lebih baik gitu
Daripada jadi generasi cyber, berteman banyak tapi sebenarnya temannya cuman satu
Kabel listrik
Pas kena cyber bully
Akhirannya milih mati bunuh diri
Karena nggak ada tempat berbagi
Sepi
Sendiri
Terisolasi oleh dunia fantasi
Asssh.... sungguh menyebalkan memang >,<

AGRESIVITAS, SELALU NEGATIFKAH?

Assalamu'alaikum
Sudah lama sekali tidak update blog ini.
Siang ini, saya masih kuliah. Rasanya bosan dan ngantuk. Saya cuma mau sharing saja. Tadi pagi kami kuliah Karya Ilmiah II dengan pengampu Pak La. Oya, saya juga baru menyadari bahwa sebagian besar tulisan dalam blog belakangan ini, inspirasinya berasa dari kelas Pak La. Ada...saja yang Bapak itu katakan. Sesuatu yang awalnya tak pernah terpikirkan, malah terceletuk di benak beliau. Unik, menarik dan sangat menginspirasi meskipun hanya hal sepele.


Tadi pagi, Pak La me-review tugas proposal tesis kami. Eeeettt... jangan kaget dulu ya. Kami memang sudah diminta untuk membuat proposal tesis di semester dua ini karena semester 3 mendatang, kami akan full praktek kerja profesi di beberapa tempat seperti RSJ, Puskesmas, Lapas atau Dinsos.

Di sela-sela review oleh Pak La, ada seorang teman yang mengangkat tema tesis yaitu agresivitas dan penyesuaian diri. Pak La nyeletuk, "Loh, dalam rumah tangga itu kok bisa terjadi KDRT?" Kenapa itu digolongkan agresivitas dan lebih sering dilakukan oleh suami terhadap istri? Sebab, agresivitas yang suami lakukan adalah sebagai bentuk pembelaan diri. Jadi, agresivitas yang dilakukan suami terhadap istri itu adalah bentuk agresivitas aktif yang dapat meliputi bentakan, pukulan, makian dan lain-lain. Nah, kalau perempuan? Apakah para perempuan tidak tergolong makhluk yang agresif juga? Gimana, ada yang bisa menjawab?

Yap, sebenarnya, perempuan itu juga agresif. Ettss, tapi bentuknya mungkin berbeda dengan laki-laki. Perempuan itu melakukan bentuk agresivitas atau pembelaan diri dengan cara diam atau pasif. Seorang perempuan itu dapat menarik perhatian laki-laki atau orang lain kan bukan dengan cara berkoar-koar tapi dengan cara yang smooth.

Pada intinya, agresivitas itu sebenarnya tidak selalu bermakna negatif. Agresivitas juga bisa bermakna positif. Kalau yang saya pahami, mungkin mirip dengan konsep ambisi gitu kali ya. Contohnya saja apabila rajin bertanya itu dapat meningkatkan nilai akademik seorang siswa, maka ia harus bertindak agresif dengan cara rajin mengacungkan tangan untuk bertanya. Mungkin sederhananya seperti itu kali ya. Kalau misalkan kita ingin mencapai puncak prestasi tertentu, maka kita harus agresif melakukan berbagai upaya untuk meraihnya. Kalau hanya diam, tentu tidak akan tercapai. Agresivitas itu bisa bermakna negatif ketika dilakukan secara berlebihan, sudah masuk taraf mengganggu dan merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Cukup sekian dulu hasil sharing dari saya. Jika ada kesalahan, mohon dikoreksi ya. 
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

EMPATI, SIMPATI DAN PARTISIPASI

Selalu. Kayaknya sebagian besar postingan berbau materi psikologi untuk belakangan ini sering bersumber dari cerita Pak La. Begitu pula pada postingan hari ini. Saya sebenarnya juga sudah share di FB mengenai materi perbedaan antara empati, simpati dan partisipasi.

Well, sebelumnya saya mo cerita dulu lah buat intermezzo. Jumat kemarin, kami kuliah Intervensi Komunitas. Pak La yang mengampunya. Full seharian bersama beliau mulai jam 8.00 am sampai 15.00 pm. Beliau itu memang disiplin, ketat banget. Makanya tiap hari, saya selalu berangkat satu jam sebelum perkuliahan dimulai. Beliau kalau masuk kelas, kalau belum tepat jam 8, beliau duduk-duduk sambil ngobrol bercanda sama kami. Tepat jam 8 barulah dimulai dengan ucapan Assalamu'alaikum. Itu tandanya materi dimulai. Kami kuliah dari jam 8 sampai 10 pagi. Jam 10 istirahat sekitar 10 menit. Lalu pukul 11.00, kami istirahat+shalat. Beliau dan dua orang teman laki-laki kami shalat Jumat di masjid kampus. Lucunya, waktu jam 11 itu, hape Pak La bergetar tanda alarm berbunyi. Di alarm tersebut tertulis, "Sudah selesai." Jadi nggak boleh bicara lagi haha, lucu banget bikin kami sampai ketawa-tawa. Masuk lagi tepat jam 1 siang.

Materi yang kami pelajari adalah Konseling Kelompok. Dimulai dari teknik-teknik konseling paling mendasar. Itupun materi yang diajarkan oleh Pak La adalah teknik yang sangat sederhana. Seperti teknik bagaimana mengangguk secara profesional bagi psikolog/konselor sebagai bentuk acceptance terhadap klien. Kata Pak La, latihan mengangguk aja. Anggukan psikolog itu profesional, katanya. Jangan seperti orang India, geleng-geleng terus, nanti kliennya pada kabur. Kemudian teknik understanding, bagaimana psikolog/konselor memahami dengan cara menerima apa yang diungkapkan, dipikirkan dan dirasakan oleh klien. Dan teknik re-statement, yaitu mengulangi pernyataan yang dikemukakan oleh klien guna mengetahui apa maksud sesungguhnya dari pernyataan klien tersebut.

Setelah itu, masuk pada tahap empathy
Nah, beliau bertanya, "Apa bedanya empati, simpati dan partisipasi?" 
Salah seorang teman kami, Mbak Ni menjawab, "Empati itu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh klien." 
Pak La membalas, "Jadi, kalau klien merasa gembira berarti konselor juga harus merasa gembira. Kalau klien sedih gimana? Konselor apa juga harus merasa sedih? Kalau kliennya ngamuk-ngamuk, konselor juga ngamuk?"

Kami tertawa lagi sampai nggak jelas antara rasa kantuk yang kami alami semua dengan perasaan geli gara-gara candaan Pak La.

Lalu, Pak La memberikan jawaban dengan ilustrasi nasi goreng. Beliau bertanya pada barisan tempat duduk sebelah kiri.
"Suka makan nasi goreng?"
"Suka, Pak."
"Biasanya pakai lauk apa?"
"Ayam, disuwir-suwir, Pak."
"Sayur."
"Kubis, Pak."
"Telur."
Terus, Pak La kemudian bertanya lagi, "Loh tadi ayamnya itu apa masih hidup, masih jalan terus ditangkap, atau gimana?"
"Nggak, Bapak... Udah mati. Udah digoreng, disuwir-suwir."
"Nah, itu. Konselor itu ndak boleh kayak ayam. Ayam itu mengorbankan jiwa raganya untuk dimasak buat dicampur sama nasi goreng. Kata ayamnya, wes, kasihan dia itu lapar, ya udah potong saya saja."

Contoh ayam pada nasi goreng ini adalah bentuk simpati. Jadi, singkatnya, simpati itu adalah mengorbankan jiwa raga, larut dan hanyut ke dalam pikiran dan perasaan seseorang.

"Terus, telurnya tadi, apa masih hidup? Diambil dulu dari ayam apa gimana?"
"Nggak, Pak. Udah mati. Digoreng."
"Nah, itu. Psikolog juga ndak boleh kayak telur. Telur itu sebenarnya ndak tahu, saya ini mau diapakan to, ndak mengerti itu. Jadi, udah nyumbangin diri aja."

Contoh telur ini adalah bentuk partisipasi. Singkatnya, partisipasi itu adalah menyumbangkan diri tanpa tahu tujuan yang jelas.

"Nah, misal ada Si A lihat temennya si B lagi makan nasi goreng. Si A bilang, "Wah, kamu ini makannya banyak banget ya. Ob.. saya memahami kalau kamu itu lapar banget jadi makannya banyak."

Contoh orang A inilah yang dinamakan empati. Jadi, empati itu adalah memahami apa yang dipikirkan, dirasakan dan dialami oleh klien.

Jelas banget kan perbedaannya?
Contoh ilustrasinya rada aneh, unik tapi cukup mengena. Ya emang gitulah Pak La kalau ngasih contoh. Ada saja yang nggak pernah terpikirkan oleh kita.

Oke, demikianlah sharing hari ini.
Semoga bermanfaat.

KONSULTASI: AWAM VS PSIKOLOGI

Kuliah intervensi komunitas kemarin, kami dapat ilmu baru dari Pak La. Kali ini, saya akan sharing tentang konsultasi?

The question is, pernahkah Anda melihat plang-plang konsultasi di pinggir jalan? Itu konteksnya gimana ya? Atau, pernahkah Anda melihat plang konsultasi psikologi?

Ternyata, konsultasi itu memiliki banyak sekali pengertian, tergantung konteksnya dan siapa yang melakukannya. Anyway, konsultasi dari kacamata awam dan konsultasi psikologi itu beda banget loh. Mungkin, kalian pernah gitu lihat atau ketemu sama lulusan dari jurusan mana saja. Kemudian, dia menawarkan jasa konsultasi sesuai dengan background pendidikannya. Lalu, apa bedanya sih sama konsultasi dalam bidang psikologi?


Konsultasi menurut pengertian awam adalah memberikan penjelasan tentang suatu masalah. Oke, noted.
Nah, konsultasi dalam konteks profesi khususnya profesi psikolog atau profesi apapun--(kalo bicara profesi berarti orangnya itu udah dilatih secara profesional dan memperoleh sertifikat atas profesinya tersebut)--adalah interaksi antara konsultee dan konsultan untuk membicarakan masalah-masalah klien. Nah..udah ketahuan kan bedanya dari pengertian awam sama profesi?

Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam konsultasi profesi itu melibatkan tiga pihak: konsultan, konsultee dan klien. Dulu saya mengira bahwa konsultasi profesi itu hanya melibatkan dua pihak yaitu konsultan dan klien. Ternyata sebetulnya ada 3 pihak.

Penjabaran rincinya, klien itu adalah orang yang punya masalah pribadi. Konsultee adalah orang atau pihak yang me-manage klien. Konsultee juga punya masalah, tapi masalahnya adalah masalah seputar kliennya atau lembaganya. Sedangkan, konsultan adalah orang yang memberikan bantuan.

Next, konsultasi dalam bingkai profesi itu mempunyai 2 sifat: langsung dan tidak langsung. Tapi, yang paling umum itu adalah bersifat tidak langsung. Berikut ini poin-poin penjelasannya, mengapa konsultasi itu ada yang bersifat tidak langsung.

  1. Antara konsultan dan konsultee tidak berhubungan secara langsung. Maksudnya, di antara mereka ada sekat atau batas yang harus ditaati. Yaa begitulah peraturan sebenarnya.
  2. Konsultan tidak boleh memaksakan kehendak pada konsultee. Jadi, hubungan mereka setara. Tidak ada yang menekan dan ditekan, tidak ada yang berkuasa dan dikuasai, tidak ada yang paling tinggi otoritasnya. Contohnya aja seorang arstiek. Ketika konsultee mempunyai klien yang ingin membangun rumah minimalis bergaya Eropa, misalnya, maka konsultee datang pada arsitek (konsultan) untuk berkonsultasi tentang bagaimanakah desain dari gambar rumah minimalis bergaya Eropa itu. Tugas arsitek hanyalah mendesain/menggambar rumah minimalis untuk ditunjukkan kepada konsultee. Ketika konsultee keberatan karena ada beberapa bagian dari desain yang tidak sesuai dengan maksud/pikirannya, maka konsultan harus menggantinya sesuai dengan yang dimaksud konsultee. Jadi, konsultan tidak berhak mengkritisi.
  3. Konsultan juga tidak boleh mencampuri urusan-urusan pribadi konsultee apalagi urusan klien si konsultee. Konsultan tidak berhak menanyakan bagaimana kondisi klien karena itu adalah area milik konsultee. (Ini menyangkut kode etik seorang konsultan profesional).
  4. Konsultan itu orientasinya adalah problem focused. Langsung to the point apa solusinya, tidak boleh bertanya "Why?" dan tidak perlu bertanya atau menggali sebab-akibat dari masalah tersebut.
Sekarang pertanyaannya, jadi seorang psikolog itu apakah sama dengan konsultan?? Psikolog itu bisa saja menjadi konsultan, tapi bisa juga berdiri sendiri sebagai psikolog. Namun, psikolog pada dasarnya ya psikolog. Psikolog juga punya kode etik. Bedanya konsultan dari profesi lain sama yang dari profesi psikologi adalah: Psikolog diberikan hak/kewenangan oleh profesinya (sudah menjadi kode etik) untuk "menelanjangi" semua urusan pribadi klien. Jadi, psikolog yang posisinya sebagai konsultan ataupun psikolog umum, tetap diperbolehkan untuk bertanya sebab-akibat dari masalah yang ditangani, bertanya tentang semua rahasia-rahasia klien. Dalam proses konseling dan psikoterapi pun demikian. Psikolog harus tahu semua masalah personal klien dari akar-akarnya.

Begitulah materi yang kami dapatkan dari Pak La. Kalo dihubungkan dengan matkul Intervensi Komunitas, kita bisa menari simpulan bahwa teknik intervensi untuk komunitas itu ada yang bersifat langsung pada orang-orang yang ditangani dalam sebuah komunitas dan ada pula yang hanya berorientasi pada lembaga. Menangani klien dalam konteks intervensi komunitas itu, tidak harus langsung pada klien. Penanganannya pun bisa cukup sekali atau dua kali saja dilakukan dengan orientasi target yang lebih banyak. Jadi, sebisa mungkin 1 intervensi efektif untuk 1000 orang dalam sebuah komunitas.

Sekian dari saya
Semoga bermanfaat ^_^

CURHAT MAPRO PSIKOLOGI: ANAK ABK, AHLI SURGA?

Lagi dan lagi kami memperoleh pelajaran berharga di kelas Intervensi Komunitas yang diampu oleh Pak La. Pokoknya ya, yang namanya diajar sama Pak La itu, bukan cuman bakal menghasilkan produk berupa jurnal, booklet atau produk akademik lain, melainkan juga kami bakal selalu membawa pulang sebuah hikmah dari cerita-cerita yang beliau sampaikan.

Kemarin, kami kuliah dari pagi kemudian dilanjutkan sore hari, sehari penuh bersama Pak La. Pada jam siang menjelang sore, kami membahas tugas dadakan tentang kasus psikologis yang kami cari (beberapa jam lalu) melalui koran disertai upaya preventifnya. Satu kelompok sudah maju mempresentasikan tugas mereka. Salah satu kasus yang mereka temukan di koran adalah kasus ABK. Kelompok saya juga nemu sih satu kasus ABK. Nah, usai kelompok satu presentasi, Pak La ngasih feedback dan evaluasi panjang lebar. Kemudian, sampailah pada cerita beliau mengenai ABK.

Pernah, Pak La bertemu dengan seorang psikolog di Malang. Psikolog tersebut pernah berkata, "Anak-anak yang terlahir down syndrome, cacat fisik ataupun cacat mental lainnya seperti Autis, ADHD dan lainnya itu sepertinya disebabkan oleh dosa-dosa dari orang tua mereka."

Sewaktu mendengar cerita itu, saya teringat dengan kisah-kisah yang ada di sinetron. Ya ampuun, kayaknya tuh psikolog suka nonton sinetron deh jadinya apa yang diomongkan tuh ngawur. Sampai sekarang, nggak ada bukti ilmiah/empiris (jurnal atau lainnya) yang menghasilkan pandangan bahwa anak-anak ABK/cacat adalah hasil dari dosa orang tuanya. Kalau berpikir logis, memang tampaknya juga nggak masuk akal sih omongan psikolog itu. Toh, kalaupun ada, nggak semua ABK seperti itu kan?

Pak La pun teringat dengan pengalamannya sewaktu ke Kelantan, Malaysia. Waktu itu bertepatan bulan April yang merupakan bulan perayaan hari Down Syndrome dunia. Pak La ikut ngumpul-ngumpul bareng peserta seminar lain dalam acara fun bike. Lalu, salah seorang peserta--yang bukan orang psikologi--berkata, "Anak-anak ABK itu adalah ahli surga karena mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk disebabkan kecacatan mental yang dialami."

Mendengar celetukan orang tersebut, Pak La takjub. Beliau kagum pada kalimat orang itu. Pak La pun membandingkan omongan psikolog dengan omongan orang biasa tadi. Ada sebuah hikmah yang bisa kita tarik dari cerita Pak La itu.

Sebagai seorang terpelajar dan berpendidikan tinggi seharusnya tidak pantas langsung memberikan judgment dan menggeneralisir bahwa semua anak cacat disebabkan oleh dosa dari orang tua mereka. Pandangan tersebut tidak disertai dengan bukti empiris sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam ranah akademik. *Ini kita berbicara akademik loh ya, jangan nyampurin sama sudut pandang lain. Dari situ saya juga sempat berpikir, kalau saja waktu itu psikolog tersebut mengatakannya di hadapan orang tua yang punya anak ABK, apakah para ortu itu nggak sakit hati jadinya?

Lalu, Pak La juga menyampaikan pesan kepada kami dengan berkata, "Kalau ngambil pandangan dari orang non psikologi tadi, berarti psikolog, orang tua dan guru selaku pendidik justru harusnya bangga mendidik, merawat dan membimbing anak-anak ABK. Itu artinya, kita memberikan kontribusi dalam merawat calon-calon ahli surga. Hebat, kan?" 

Kami semua tersenyum dan Pak La pun sesumringah. Ya. Satu sih yang saya pahami juga. Anak ABK itu sebenarnya sama aja dengan manusia lain. Yang ngebedain cuman "hal spesial" yang dikaruniai Tuhan pada mereka. Siapapun yang memiliki atau mengasuh anak ABK, ujiannya nggak nanggung-nanggung beratnya dan pantaslah jika kelak orang-orang tersebut akan diberikan balasan berupa pahala yang besar karena telah merawat dan membimbing mereka dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Kata "ahli surga" itu mungkin cocok untuk disampaikan kepada mereka (ortu atau guru yang berhadapan dengan ABK) agar mereka tidak banyak mengeluh, mensyukuri anugerah berupa "anak spesial" titipan Tuhan, bisa bersabar mengurusnya dan merasa bahagia karena memiliki mindset unik yaitu mereka sedang merawat calon ahli surga.

Begitulah cerita kali ini
Kapan-kapan dilanjutin lagi.

NB: Insya Allah, semua cerita-cerita yang berhubungan dengan unsur-unsur psikologi dalam blog ini akan saya terbitkan menjadi buku jadi bila ada yang hendak meng-copy tulisan dalam blog ini, mohon disertai sumbernya yaitu link blog saya ini ya. Terima kasih.

PSIKOLOG HARUS KUASAI PSIKOPATOLOGI

Sabtu kemarin, kami mengikuti kuliah tambahan untuk praktikum Cognitive-Behavior Therapy (CBT). Sebelum ibunya ngejelasin tentang dasar-dasar CBT, beliau terlebih dulu memberikan feedback setelah melakukan review terhadap tugas laporan asesmen kami di semester kemarin. Kebetulan memang laporan asesmen integrasi klien beliaulah yang memeriksa dan memberikan bimbingan. Tidak disangka, pola laporan yang kami buat satu kelas sama semua padahal itu beda-beda kasus dan memang nggak ada yang bisa dicontek.

Ya ampun, ternyata pe-er kami masih banyak. Saya pribadi juga menyadari bahwa laporan asesmen kemarin masih jauh dari kata bagus. Ya, laporan asesmen yang isinya meliputi penegakan diagnosis serta menulis dinamika keluhan klien sampai kepada prognosis dan saran intervensi itu memang sangat tidak mudah. Itu butuh keterampilan menulis tingkat tinggi. Kakak tingkat kami pun banyak yang mengeluhkan soal ini. Bisa dikatakan tidak ada yang benar-benar mendekati bagus.


Sedih sih karena saya merasa kemampuan masih jauh banget. Kata ibunya pun, wajar jika memang kami semua belum mampu karena masih semester awal. Menulis laporan itu juga merupakan tugas untuk semester atas nanti jadi sangat...sangat wajar jika masih ada kesalahan. Laporan kemarin itu juga baru pemanasan.

Nah, yang mengherankannya, semua teman-teman termasuk saya menjelaskan dinamika keluhan klien menggunakan teori kepribadian. Kalau saya sendiri memang memiliki klien yang bermasalah pada fungsi kepribadiannya. Tidak ada satupun yang menggunakan literatur psikopatologi. Saya juga demikian. Hahaha... astaghfirullah... Padahal literatur psikopatologi itu adalah kuncinya yang wajib hadir dalam menulis dinamika. Pas bikin laporan itu juga mendadak sih jadi nggak sempat kepikiran untuk menggunakan buku psikopatologi jadi ngebahas satu teori utuhnya Adler saja untuk menjelaskan keluhan kompleks inferioritas klien.

Dari situlah, ibunya ngasih kita wejangan yang kemudian wajib ditulis dengan huruf tebal plus garis bawah.  

"Jika ingin menjadi seorang psikolog, kalian harus menguasai dan mendalami psikopatologi karena itu adalah kunci utamanya."

Kenapa psikopatologi itu sangat penting? Bukan hanya DSM saja yang menjadi kitab wajib yang harus dimiliki seorang psikolog. Kata ibunya, kami ini kan psikolog klinis jadi harus mendalami ilmu psikopatologi, harus mampu menarik benang merah mengapa keluhan bisa muncul pada klien, penyebab yang menjadikan masalah itu patologi tuh gimana. Ya, calon psikolog wajib rajin baca buku psikopatologi.

Selain itu, psikolog juga harus punya pengetahuan yang luas. Seorang psikolog industri organisasi (PIO) atau yang ngambil bidang perkembangan, pendidikan atau sosial, tidak begitu penting untuk mempelajari bidang klinis karena mereka mayoritas terus dihadapkan oleh tugas-tugas yang memang hanya berhubungan dengan bidang mereka. Tapi, seorang psikolog klinis kebalikannya. Psikolog klinis harus punya pengetahuan tentang industri organisasi, perkembangan, pendidikan, sosial, budaya dan lainnya. Sebab, ketika terjun ke lapangan, psikolog klinis akan menghadapi klien dari beragam latar belakang itu.

Sekarang ini, saya berani dah bilang bahwa menjadi psikolog itu nggak gampang. Bukan cuman nguras otak, tenaga dan duit, melainkan juga harus punya banyak keterampilan. Apalagi menulis laporan asesmen untuk kepentingan praktek, kita tentu saja akan memberikan laporan pada klien setelah mereka menjalani serangkaian asesmen (observasi, wawancara dan dengan bantuan alat tes psikologi). Kita tentu saja akan mengkomunikasikan apa sih masalah yang sebenarnya dialami oleh klien dan bagaimana dinamikanya. Laporan itulah yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan ketika memberikan intervensi. 

Kalau dokter salah mendiagnosis penyakit pasien dan salah ngasih obat, maka nyawa pasien akan terancam. Begitu pula psikolog. Salah mendiagnosis problem atau gangguan yang dialami klien, maka salah pula intervensi yang akan diberikan dan tamatlah hidup sang klien. Parahnya, kalau semua salah dari awal, rusaklah reputasi psikolog di mata masyarakat.

Oh My God.... Susah juga ya jadi psikolog itu. Nah, bagi yang mau kuliah di psikologi, (seperti yang pernah saya bilang), luruskan dulu niatnya dan tekunlah. Kalau nggak serius, mending nggak usah sekalian kuliah psikologi. Bukannya nakut-nakutin. Kuliah di jurusan manapun itu butuh komitmen. Tantangan setiap semester apalagi kalau udah ngambil profesi itu semakin tinggi dan beragam. Kalau nggak kuat untuk survive, bisa ketinggalan. Psikologi itu bukan cuman sekadar membaca karakter orang, bla bla bla.... Bukan! Tugas psikolog itu pertanggungjawabannya besar, di hadapan klien, masyarakat dan juga Tuhan. 

Nah buat yang udah kelelep di jurusan psikologi khususnya magister profesi, lanjutkanlah langkah itu. Hadapi tiap tantangan. Belajar lebih rajin dan membaca lebih banyak lagi. Kuasai psikopatologi secara mendalam. Intinya, jangan main-main!

Saya berharap banget, semoga semester ini sampai akhir, ada lah ya yang bisa saya kuasai dari sekian banyaknya konsep psikopatologi. Semoga nggak cuman bisa lulus cumlaude, tapi kelak bisa mempertanggungjawabkan tugas dan gelar psikolog ini di hadapan Tuhan. Aamiin...

Semangaaat!!!

PUSKESMAS BUTUH PSIKOLOG

pic by multiplesclerosis.net

Setiap kelas pak La, pasti kelas mapro '14 datang sebelum jam 8. Karena kalau udah lewat jam 8, bakal dikunciin pintu. Alhamdulillah, setidaknya temen-temen yang lain udah pada disiplin dengan jadwal. Terus hari ini, tadi, teman-teman yang tidak masuk minggu lalu, dapat tugas presentasi. Hehehe...rupanya apa yang mereka presentasikan tidak sesuai dengan tema mata kuliah. Bapaknya pun senyum-senyum nyindir gitu aja. 

Menarik sekali setiap masuk kelas Pak La. Beliau ngajar 2 kali seminggu. Satunya hari Senin, kelas Karya Ilmiah 2 dan satunya lagi kelas Intervensi Komunitas Jumat. Ada aja topik atau quotes menarik yang kami peroleh dari Bapaknya. Saya selalu nge-share di Facebook. Contohnya waktu ada kelas Intervensi Komunitas, begini deh kutipan omongan Bapaknya waktu itu yang udah saya tulis di FB pake kata-kata sendiri:

Intervensi itu memang harus diberikan oleh tenaga spesialis profesional. Meskipun di Indonesia ini misalkan dalam satu hari berhasil menelurkan 1000 psikolog, masalah kesehatan mental yang ada tidak akan cukup terselesaikan. Sebab, psikolog ada pula yang akan menjadi bagian dari masalah tersebut (artinya semua orang pasti punya masalah termasuk psikolog). Oleh karena itu, perlunya membangun kesadaran di lingkup masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan mental.

*Memang sih. Sempat baca juga di data WHO, ternyata jumlah psikolog khususnya di Indonesia sendiri masih jauh dari jumlah yg diharapkan. Berarti sampai detik ini masih ada kesenjangan rasio antara kebutuhan tenaga profesional dengan jumlah "kasus" kesehatan mental yg semakin hari semakin bertambah.Euum...selain itu, masyarakat perlu diberikan psikoedukasi mengenai kesehatan mental dan bagaimana mencegah terjadinya gangguan mental. Semakin tinggi tingkat pengetahuan masyarakat, maka semakin meningkat pula kesadaran untuk menjaga kesehatan (mental).

Lalu, kalau ada yg nanya, "Kalo semua orang tahu solusi preventifnya terus.. ntar psikolog jadi nggak laku dong?!"

Jawabannya, "Ooh tenang aja. Justru dengan begitu, akan semakin tinggi pula kebutuhan masyarakat terhadap tenaga spesialis profesional seperti psikolog. Nah, kalo ada yg gak sembuh-sembuh juga setelah diberi psikoedukasi kan bisa menghubungi psikolog untuk konsultasi atau terapi di tempat praktek."


Begitulah pelajaran di pengantar awal pembuka matkul IntKom. Jadi, Bapaknya itu ngasih semangat buat kami semua biar nggak menyesali jurusan yang dipilih. Toh, semua jurusan itu baik, tergantung bagaimana kita memandang dan menilainya.

Saya jadi ingat juga kata dosen (Bu Is) yang waktu itu pernah bercerita bahwa lulusan psikologi di Jogja sekarang enak banget. Jadi, salah satu kampus negeri di sana tuh udah ada link dengan pemerintah setempat. So, tiap ada mahasiswa profesi psikologi yang lulus, mereka akan rekomendasikan untuk bekerja di sebuah puskesmas. Waah..subhanallah, Setidaknya dikasih pilihan bidang pekerjaan dah buat psikolog. Kenapa dipilih puskesmas? Karena ternyata di Indonesia, tempat yang paling membutuhkan tenaga psikolog saat ini adalah puskesmas. 

Etts...jangan salah. Tiap mahasiswa program profesi psikologi yang kelak praktek profesi kerja juga akan digilir ke puskesmas. Jadi, nggak hanya praktek di RSJ, tapi juga puskesmas, lapas, dinsos dan sekolah. Dari tempat-tempat itulah, kami akan mencari dan mengumpulkan 7 kasus psikologi untuk akhirnya kami presentasikan sebagai bahan/salah satu syarat kelulusan. Jadi, nggak cuman ngerjain thesis. Kami pun juga akan menghadapi ujian di hadapan pihak HIMPSI.

Oya, mengenai pekerjaan atau praktek psikolog di puskesmas, nggak jauh beda juga sih sama dokter puskesmas. Yaaa... kalau ditanyain bayarannya berapa, tentu nggak sebanyak ketika bekerja di biro praktek sendiri, di perusahaan atau di rumah sakit. Kata dosen, tiap hari ada saja pasien yang datang konsultasi ke psikolog. Cuman, di puskesmas itu posisi psikolog lebih kepada pengabdian. Oh..oh..oh... Miris juga sih. Kalau pasien yang datang mampu, bisa aja narik bayaran. Apalagi kalau udah dikasih terapi, lumayan kan. Tapi, kalau nggak berpunya, yaa... kita harus pake jiwa sosial. Nggak papa juga sih. Yang namanya psikolog itu emang pekerjaan sosial. Nggak melulu nyari duit. Cuman kalau untuk mencari biaya hidup, tentunya harus nyari pekerjaan lain sebagai pendamping kalau mau bekerja di puskesmas. Tahu sendiri kan berapa gaji dokter puskesmas? Yaa nggak jauh beda lah sama mereka. Malah Bu Is sampai nyeletuk, "Yaa sebenernya miris juga sih kalau bahas masalah gaji di puskesmas. Cuman mau gimana lagi, sekarang ini memang puskesmas di beberapa titik di Indonesia sangat membutuhkan tenaga psikolog."

Selain itu, masyarakat menengah ke bawah juga masih perlu diberikan psikoedukasi mengenai kesehatan mental, bagaimana merawat dan mencegah terjadinya gangguan mental. Oya, anyway, psikoedukasi itu jangan dipikir semacam penyuluhan gitu ya. Sekarang, penyuluhan bin cerama itu nggak banyak guna. Psikoedukasi itu banyak macamnya, bisa dalam bentuk paling sederhana kayak brosur atau booklet dan lainnya. 

Pengetahuan masyarakat bawah mengenai psikologi dan embel-embel di dalamnya pun masih sangat minim. Belum lagi kasus pasung-memasung yang kerap kepergok karena pengetahuan mereka mengenai solusi terhadap pasien gangguan jiwa terutama skizofrenia yaa masih sempit banget. Seolah kembali ke zaman pre-scientific banget, di mana salah satu solusi dan perlakuan yang diberikan kepada orang dengan gangguan mental adalah pemasungan atau diisolir ke tempat terpencil yang jauh dari warga. 

Mereka takut dengan gejala-gejala orang dengan skizofrenia yang kerap disamaratakan--sama-sama suka menyerang. Padahal nggak semua orang dengan skizo begitu loh. Skizofrenia itu banyak tipenya. Jadi, pemasungan itu sangat jelas bukanlah solusi yang manusiawi. Kasihan banget kan, orang dengan skizofrenia di daerah terpencil masih saja dipasung dan malah lebih sadis lagi, ditempatkan di kandang. Biar gimanapun mereka itu manusia. Jadi, perlakuan yang diberikan juga harus sesuai dengan asas hak kemanusiaan. Nah, inilah salah satu pe-er bagi para calon psikolog. Setidaknya, mulai dari psikoedukasi itulah, kita bergerak memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya kaum menengah ke bawah.

Yap, demikianlah curhat saya kali ini.
Nanti kalau ada topik menarik yang saya bawa dari kelas, akan saya share lagi di sini. Insya Allah. 
Semoga bermanfaat ^^


SURAT CINTA DARI-MU

Ya Rabbi
Pagi ini, aku telah mendapatkan surat cinta dari-Mu
Surat yang menggertakkan gerahamku
Surat yang membuat lisan dan hati tiada berhenti menyebut asma-Mu
Surat yang jujur saja... membuat air mataku berlomba jatuh satu per satu
Walau tak dapat membendungnya, tapi dalam hati aku bersyukur telah menyingkap tabir rahasia-Mu
Kuatkan aku ya Rabbi...

Ya Rabbi
Ikhtiar panjangku belum berakhir
Tapi, terima kasih atas pelajaran kekecewaan yang Engkau beri hari ini
Tidak ada yang bisa mengubah semua kecuali keputusan-Mu
Dan inilah keputusan itu
Memang benar, apa yang aku sukai belum tentu baik menurut-Mu
Terima kasih karena itu tandanya Engkau masih menyayangiku dengan adanya hikmah ini
Ya, ini lebih baik
Lebih baik kekecewaan itu berkunjung di awal sebelum terlambat
Daripada di pertengahan, banyak yang akan terlukai

Ya Rabbi...
Berilah kesabaran untuk tetap melangkah
Setiakanlah aku untuk mencintai apa-apa yang Engkau ridhai
Mungkin, Engkau akan memberiku sesuatu yang tidak pernah terpikir sebelumnya
Insya Allah ya Allah...
Aku akan berusaha belajar untuk menerima pilihan-Mu nanti
Aku akan belajar memupuk kebahagiaan dengan apa yang Engkau ridhai untukku

Ya Rabbi
Bimbing aku untuk terus istiqamah memantaskan diri di hadapan-Mu
Agar ketika Engkau telah menjatuhkan pilihan terbaik itu, aku akan merangkulnya dengan penuh suka cita
Bantu aku untuk bergerak meninggalkan apa-apa yang tidak Engkau takdirkan untukku
Bukan untuk melupakan, melainkan memaafkan apa-apa yang tidak Engkau kehendaki bagiku

Terima kasih ya Rabbi
Hari ini akan kucatat sebagai peristiwa yang sangat berharga
Bantu aku...
Bantu aku untuk memulihkan semua dari awal lagi
Engkaulah sebaik-baik pelindung
Lindungilah aku dari apa-apa yang buruk bagiku
Engkaulah sebaik-baik penolong
Hanya kepada-Mu, aku serahkan segala urusanku

BUKU KEEMPAT: CANDY RENDY


Judul: Candy Rendy (novel)
Penulis: Paresma Elvigro
Genre : Fiksi-Romance (Dewasa)
Penerbit: Sheila Fiksi (Imprint Andi Publisher)
Editor: Yasintha Vita Wahyuningsih
Setting: Elizabeth Pipit
Desain Cover: Yisar
Korektor: Venan
Jumlah halaman: ii + 302 hlm
Ukuran: 13 x 19 cm
Edisi: I, cetakan tahun 2015
ISBN: 978-979-29-5046-5
Harga normal: 55.000
-------------------------

Sinopsis:

Sepeninggal Rendy, Vigra berjuang untuk move on, menghapus dukanya akan kehilangan Rendy. Spontan Vigra berkata, "Dulu aku tak pernah punya alasan mengapa aku menyukaimu. Tapi, sekarang aku tahu mengapa begitu sulit untuk move on karena perhatian sederhana yang kamu beri. Itulah yang membuatku belum bisa melupakanmu."

Ada saat di mana kita tak cukup kuat memutuskan sesuatu

Move on bukanlah tentang memikirkan cara apa yang tepat untuk melakukannya dan bagaimana melupakannya. Tapi, tentang seberapa besari kesiapan seseorang untuk segera melakukannya dan seberapa besar hati untuk memaafkannya.

Ingin move on tapi selalu saja bertemu secara tak sengaja dengan seseorang yang ingin dilupakan itu adalah peristiwa yang membingungkan. Seseorang juga bisa gagal move on bukan karena suatu hal besar, tapi bisa saja karena hal sederhana. Apakah hal sederhana itu? Yuk ikuti kisah serunya dalam novel ini. Apakah Vigra mampu move on dari Rendy?
-----------------------------------------------------------------------

Alhamdulillah, setelah satu tahun menunggu, akhirnya selesai dicetak juga. Baru kemarin siang dikirimin sama penerbit. Ya syukurlah, sampai juga di rumah. 

Ini novel debut pertama saya. Isinya sebagian besar memang fiksi tapi semua tokoh adalah orang-orang yang dikenal kecuali tokoh figurannya. Jadi, sebelum kalian baca, jangan berprasangka dulu ya. Heheh... Entar kalau berprasangka duluan, waaah bisa kacau. Bisa-bisa saya dilemparin sepatu nanti :D. Ini cuma fiksi. Settingnya memang nyata. Tokohnya juga tokoh nyata, tapi ceritanya nggak 100% benar (walau memang inspirasinya berasal dari kisah pribadi). Lebih dari itu adalah hasil dari imajinasi saya saja. Kalau nanti ada yang nyeletuk, "Kok tokoh utamanya kayak proyeksi diri si penulis ya?" Jujur, karena masih awam banget di bidang novel, jadi saya bingung mau ngambil tokoh dari mana. Jadi, saya ambil sebagian ciri-ciri saya saja, itupun nggak semuanya asli diri saya dan nggak sepenuhnya asli ceritanya.

Jujur aja, novel ini pun sebenarnya recovery dari judul asli yang dulu yaitu Dandelion. Draft awal memang sudah sering ditolak, apalagi waktu saya tawarkan ke penerbit yang kece-kece tapi ditolak terus. Kemudian, saya koreksi dan revisi. Jadilah Candy Rendy. Tapi, setelah itu saya endapkan selama hampir setahun. Baru ketika keberanian muncul lagi, saya tawarkan ke yang lain. Proses ta'aruf dengan berbagai penerbit yang sangat panjang dan berliku itu akhirnya membuahkan hasil. Dikhitbah sama penerbit Andi di imprint Sheila Fiksi. Dan... jujur aja, ini adalah novel yang ketika udah dipinang, nggak saya harapkan bisa terbit. Saya sempat berharap untuk menariknya kembali tapi... apa boleh buat, surat perjanjian udah dilayangkan oleh penerbit. Kenapa demikian? Karena bagi saya, ini novel kalau di kehidupan nyata, aslinya lebih mellow ceritanya. Jauh beda sama yang di novel. Di novel ini, saya superior-kan untuk nutupin inferioritasnya hehehe. Biarlah. Kenyataannya cukup saya dan Allah aja yang tahu. Karena sudah terbit, so, selamat menikmati!

Mungkin akan ada banyak kritikan (masukan) dari para pembaca nanti. Ya, saya terima dengan senang hati. Soalnya, setelah saya baca berulang-ulang, sepertinya memang novel itu banyak kekurangannya, terutama di eksekusi ending yang menurut saya kurang pas. Tapi, mau gimana lagi. Waktu nulis itu, memang ending-nya nggak dipaksakan, cuman alur menuju tamatnya cerita itu yang masih belum lihai. Lompat-lompat. Haduh, saya saja sampai bingung, mau diuraikan panjang-panjang fasenya nanti malah 300 halaman lebih. Jadi, sebagai pemula di bidang novel, saya parah aja, hahaha (ya ampuun ini jangan ditiru). Saya perlu banyak belajar lagi. 

Karena banyak kekurangan, saya jadi belum bisa berani seterusnya menulis novel. Selain itu, saya juga masih suka nulis di bidang nonfiksi sih, khususnya yang berkaitan sama psikologi dan islam. Banyak ide sih untuk meleburkan dua tema itu dalam sebuah novel. Hanya saja, saya belum piawai. Yaa, ini tantangan deh buat saya kapan-kapan kalo nulis novel lagi ya. Kalau untuk personal branding, hehe saya memang maunya dikenal sebagai penulis nonfiksi di dua kolaborasi tema itu tadi sih.

Ya, sudahlah hehe
Novel ini udah terbit guys! Jadi, kalian bisa mengaksesnya di toko-toko buku terdekat di kota kalian yak ^_^. 
Euum, untuk buku ini, saya nggak ngadain Giveaway ya. Mohon maaf. Soalnya, saya udah punya janji ke beberapa orang buat ngehadiahin novel ini. Udah pada di-booking sementara stok bukti terbit yang dikasih ke saya cuman 6 biji. Nggak mencukupi banget untuk diadain GA resmi. Lagipula, tiap ngadain GA, nggak ada yang mau ngasih sponsor haha jadi nggak enak juga kalo hadiahnya cuman dikit. Saya juga lagi nggak punya dana lebih buat beli tambahannya.

BAHAYA TIDAK DISIPLIN

Dictionary Definition of the Word Discipline Royalty Free Stock Photo
from IStockPhoto
Menjelang akhir Desember lalu, semakin lama, banyak mahasiswa datang terlambat. Setiap hari aktif kuliah, saya pikir justru sayalah yang akan datang terlambat sebab jarak rumah ke kampus cukup jauh. Butuh waktu 40 menit bagi saya untuk menempuhnya. Setiap hari, saya selalu mempersiapkan diri dan selalu berangkat satu jam sebelum jam kuliah. Itupun, saya selalu berjalan cepat ketika sudah sampai di parkiran karena jarak antara gedung pascasarjana dan parkiran cukup memakan waktu. 

Padahal, para mahasiswa tersebut mayoritas ngekos di depan kampus. Butuh waktu hanya 2 menit saja untuk menyeberang dan kira-kira 8-10 menit berjalan sampai ke gedung kuliah. Namun, ketika jadwal masuk kuliah jam 08.00, mereka selalu membiasakan diri persiapkan diri 5 menit sebelum jam tersebut kemudian berangkat. Tidak jarang, makin hari, makin banyak yang molor. Berangkat jam 8 dan tiba di kelas, dosen sudah mulai memberikan pengantar kuliah.

Lebih parah dari itu, pernah dosen mereka menegur secara halus. Dosen pertama bahkan memberikan petuah panjang lebar bagi yang datang telat. Lalu, dosen kedua malah menyinggung secara terang-terangan dengan berkata, "Kok makin hari, makin tidak disiplin ya?" Ekspresi beliau memang tersenyum (karena beliau murah senyum) tapi saya paham bahwa sebenarnya beliau sangat kecewa terhadap segelintir mahasiswanya.

Saya berkaca pada diri sendiri. Malu rasanya seandainya saya terlambat masuk. Lebih-lebih kalau saya ada di posisi mahasiswa tersebut yang suka datang telat itu, mau jadi apa saya? Saya berpikir, mengapa jarak yang begitu dekat dengan kampus justru membuat orang semakin menunda keberangkatannya? Hanya karena dekat, aturan lain pun disepelekan.

Saya juga pernah mengalami masa-masa ketidakdisiplinan yaitu ketika SMP dan SMA. Khususnya tidak disiplin pada jadwal shalat alias tidak shalat tepat waktu (suka nunda-nunda). Sampai suatu ketika, saya terlambat bangun dan melaksanakan shalat subuh kesiangan. Selepas itu, saya menangis. Menangisi diri saya yang begitu bodoh karena sudah menyia-nyiakan waktu. Menangisi satu pahala yang gagal saya dapat dari-Nya. Menangis karena mungkin keterlambatan tersebut disebabkan banyaknya dosa-dosa saya di hari sebelumnya. Saya menyesal dan sejak saat itulah, saya bertekad kuat untuk berubah.

Mengapa disiplin begitu penting?
Mengapa ketidaksiplinan itu sangat berbahaya?
Karena sekali kita menerapkan hal kurang baik, lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan.
Kebiasaan untuk tidak disiplin, akan menimbulkan bencana berupa perilaku suka menunda.
Kebiasaan menunda, akan menyebabkan kemalasan.
Sikap malas yang dibiasakan, akan membuat kita semakin melonggarkan aturan yang berlaku.
Lebih dari itu, kita akan gagal mencapai impian/cita-cita yang seharusnya bisa lebih cepat diraih.

Dalam Islam sendiri, disiplin itu sangat penting. Disiplin dalam Islam dapat diartikan sebagai wujud ketaatan dan kepatuhan. Salah satu pelajaran disiplin ini dapat kita lihat dalam firman Allah yang berbunyi, "Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. an-Nisâ`: 59).

Selain patuh dan taat, disiplin juga dapat diartikan secara luas yaitu sikap tanggung jawab terhadap tugas yang diamanahkan pada kita, kontrol diri kita terhadap penggunaan waktu, kesungguhan kita untuk menjalankan bidang yang ditekuni dan lainnya. Disiplin juga berarti komitmen untuk senantiasa menaati perintah dan menjauhi larangan Allah swt, baik pada saat sedang sendirian maupun saat ada orang lain yang mengawasi.

Dalam surat Al-Ashr pun Allah sampai berjanji, "Demi masa! Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran."

Satu detik dalam putaran waktu sering kita sepelekan. Akhirnya, saat ingin menargetkan sesuatu, kita lupa bahwa satu detik yang lalu tidak kita gunakan semaksimal mungkin. Kita lupa bahwa satu detik yang lalu, kita tidak melakukan apapun untuk merealisasikan target tersebut. Dan.... akhirnya, penyesalan datang... selalu di belakang.

Jika kita mampu menyadari kesalahan itu, segeralah memperbaikinya. Sesungguhnya mengoreksi diri itu lebih baik.

“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab oleh ALLAH Swt kelak. Bersiaplah menghadapi Hari Perhitungan yang amat dahsyat. Sesungguhnya hisab pada Hari Kiamat akan terasa ringan bagi orang yang selalu menghisab dirinya ketika di dunia.” [Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi].

Ketika kita tidak disiplin, semua pintu rezeki akan menjauh dari kita
Ketika tidak disiplin, secara tidak langsung kita menunda menaiki tangga untuk mencapai impian/cita-cita
Ketika tidak disiplin, setan akan semakin senang membuntuti kita dengan kata "tapi dan tapi".

Mulai sekarang, yuk kita belajar mendisiplinkan diri

Mulai dari yang ringan-ringan dan mudah dulu sebagaimana yang tertulis dalam QS Al-Baqarah: 286, 
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."

Mulai dari sekarang
Jangan ditunda lagi
Ketika ditunda, pasti kita akan menyesali

Semoga kita semua senantiasa di bawah perlindungan Allah azza wa jalla aamiin...