Pages

APA YANG DILAKUKAN SAAT KESEPIAN?

"Let me tell you this: If you met a loner, no matter what they tell you, it's not because they enjoy solitude. It's because they have tried to blend into the world before, and people continue to disappoint them." 
-Jodi Picoult in My Sister's Keeper- 


-------------

Pernah nggak sih kamu tiba-tiba ngerasa kesepian? Padahal loh ya lingkungan tempatmu berada cukup ramai. Meanwhile, kamu ngerasa trapped by your empty feeling and you don't know why it attacks?

Dulu saya juga pernah merasa kayak gitu. Suddenly, I feel like I've to be even more isolated than before. Entah mungkin itu karena saya yang notabene melancholic person atau karena ada hal lain yang melatarbelakangi perasaan tersebut. Perasaan kosong tersebut membuat saya withdrawal, mengurung diri di kamar, lebih banyak tidur, menjauhi interaksi dengan orang lain terutama di dunia maya (jadi saya bisa tahan untuk tidak aktif di media sosial selama beberapa waktu), menolak ajakan teman untuk hangout, tidak bergairah dan bila saat rasa sepi tersebut melanda dan di saat yang sama saya masih berusaha untuk berinteraksi dengan orang lain namun orang tersebut mengabaikan/mendiamkan/tidak ada timpalan balik, maka saya akan merasa seolah tidak diinginkan, tidak dicintai dan tidak dihargai saat itu juga. 

Ya, saya tahu tanda-tanda dari loneliness jika nggak diatasi akan berakibat fatal. Karena saya sudah bertahun-tahun belajar psikologi, maka saya pun juga tahu bagaimana memposisikan diri. Oleh sebab itu, saat kesepian dan perasaan kosong itu menghampiri, I try to resolve it properly.

Kalau kita membaca dari berbagai buku maupun artikel di web, loneliness atau kesepian itu diartikan sebagai sebuah kondisi dimana seseorang merasa sendiri, tidak diperhatikan, tidak dianggap berharga/penting, tidak dicintai dan disconnected to their environment. Jadi, perasaan kesepian ini merupakan subjective experience, so if the people think they are lonely, then they lonely

Lalu, apa bedanya perasaan kesepian dengan perasaan terisolasi dari lingkungan? Kedua hal ini sebenarnya tidak jauh beda, namun perasaan terisolasi dari lingkungan ini terjadi karena mereka gagal terhubung atau gagal menjalin kontak dengan orang lain. Contohnya itu seperti ketika kita berada di sebuah tempat, kita lagi hangout nih ceritanya. Di sekeliling kita ada banyak teman, namun kita merasa "hampa", yang semestinya kita ikutan nyambung ngobrol sama mereka, tapi tiba-tiba kita merasa kok jiwa kita lagi nggak di tempat itu kenapa ya? Alhasil, kita jadi sulit untuk terkoneksi dengan lingkungan.

On the other hand, perasaan kesepian juga berkaitan dengan intraversi dan depresi. Orang dengan tipe kepribadian introvert cenderung lebih rentan mengalami kesepian serta tidak jarang ada yang bisa sampai pada tahap depresi. Di beberapa literatur juga menyebutkan bahwa orang dengan kepribadian introvert ini punya tendensi anti-sosial.

Baca: TIPE APAKAH KAMU: INTROVERT ATAU EXTROVERT

Perasaan kesepian ini cenderung meningkat ketika memasuki masa penuaan karena pada masa itu seseorang mulai mengalami fase kehilangan atau keterpisahan dengan orang-orang terdekat, anak-anak sudah pada berkeluarga semua sehingga tinggal berjauhan/tidak satu rumah lagi dan nggak jarang ada juga orang usia lanjut yang semakin kurang berminat terhadap kegiatan sosial. Jangankan orang lanjut usia yang masih tinggal dengan keluarga, mereka yang tinggal di panti wredha bisa jadi jauh lebih tinggi lagi perasaan kesepiannya apalagi kalau mereka baru awal-awal dialihkan masuk ke panti wredha. Bukan hanya perasaan kesepian saja, perasaan terisolasi karena terpaksa dialihkan ke panti wredha juga mereka alami.

Ngomong-ngomong soal lanjut usia, tahun 2016 lalu saat saya masih kuliah dan PKPP di Puskesmas, saya punya dua orang klien lansia. Sebut saja Mbah Mawar dan Mbah Melati (nama disamarkan yak). Mbah Mawar ini sudah menjanda dan sebatang kara sejak tahun 90-an. Beliau pernah menikah dan bercerai sebanyak tujuh kali. Usut punya usut, setiap kali menikah, Mbah Mawar akhirnya menggugat dan digugat cerai karena tidak bisa menghasilkan keturunan. Semenjak masih muda, Mbah Mawar ini sehat dan baik-baik saja. Beliaupun pernah memeriksakan kondisi rahimnya ke dokter dan saat itu dokter mengatakan tidak ada masalah. Namun, entah pernikahan yang keberapa gitu ya, Mbah Mawar coba memeriksakan kembali dan dokter memvonis ada masalah di rahimnya tetapi Mbah Mawar lupa namanya apa, yang jelas bukan kanker. Mbah Mawar pun berjuang hidup sendirian. Beliau pun membuka dagangan kecil di serambi rumahnya. Beliau sangat kuat. Tapi, nggak jarang juga sih banyak orang asing datang dan memberikan sedekah untuknya. Beliau juga menjadikan satu kamarnya sebagai kamar kos sehingga cukup untuk makan sehari-hari buat simbahnya. Selama beberapa kali pertemuan, kenapa akhirnya saya nggak menjadikan Mbah Mawar sebagai klien untuk kasus yang saya angkat di PKPP sebab lama-kelamaan simbah tersebut menjadi kurang ramah. Beberapa kali terakhir saya datang, karena saya pikir, saya sudah cukup memberikan konseling, mengingatkannya untuk rutin berobat namun hanya terkadang saja didengarnya, jadi saya juga udah nggak pernah bawa buah tangan tiap ngunjungin beliau. Dan.... kalian tahu respon beliau apa? Pernah suatu ketika saya ke sana lagi dengan seorang teman yang sedang membutuhkan klien lansia dan Mbah Mawar saya rekomendasikan. Namun, Mbah Mawar mengusir kami. Ngusir loh ya. Saya agak nggak enak juga akhirnya sama teman alias adik tingkat saya itu karena sebelumnya, simbah nggak pernah kayak gitu. Mbah Mawar saat itu nyeletuk pakai bahasa Jawa yang artinya kok saya datang terus tapi nggak dikasih apa-apa. Dokter juga bukan, jadi nggak dapet obat, kalau cuman ngomong-ngomong ya nggak usah aja. Pulang aja. Gitu katanya. Nyelekit sih ya, tapi ya sudahlah. Saya juga agak beruntung karena urusan dengan simbah itu sudah selesai. Saya menilainya baik-baik saja dan simbah itu pun merasa udah nggak butuh bantuan saya lagi. Oke, fine.

Mbah yang kedua, sebut saja Mbah Melati. Mbah ini jauh lebih baik, lebih ramah dan lebih kalem daripada Mbah Mawar. Memang sih pas akhir-akhir seusai follow-up, saya juga agak kesulitan menemui Mbah Melati karena beliau akhirnya sudah bisa pergi ke rumah saudaranya yang jauh. Saya kurang tahu di mana. Mbah Melati ini juga mengalami problem yang sama yaitu kesepian. Di DSM-5 memang nggak masuk daftar Gangguan, namun termasuk dalam salah satu problem psikologis yang memerlukan perhatian khusus. Jadi, saya awalnya fix menjadikan Mbah Melati sebagai klien. Setelah beberapa kali asesmen, saya juga menemukan problem lainnya yaitu problem dengan kebermaknaan hidupnya dan yang saya pakai dalam laporan kasus waktu itu adalah problem makna hidup, bukan kesepiannya. Sebab, kesepiannya ini hanya menjadi salah satu akibat dari problem kebermaknaan hidupnya itu. Kisahnya pun lebih memilukan daripada Mbah Mawar. Semasa kecil, orangtua Mbah Melati bercerai. Mbah Melati pernah menikah namun tidak punya anak bukan karena sakit, tapi mungkin memang Tuhan berkehendak lain dengan tidak dikaruniakan padanya keturunan. Saat ini dia juga tinggal dengan kerabat angkat, beda ras dan beda agamanya dengannya. Saat mengunjungi rumah beliau di sebuah gang kecil, saya juga agak miris karena rumahnya tersebut adalah toko. Iya, Mbah Melati dibuatkan kamar di sebuah toko milik keluarga yang mengangkatnya itu. Beberapa cerita darinya juga dari tetangga menyatakan kalau keluarga angkatnya ini kadang bertindak kasar terhadapnya. Mbah Melati orangnya kalem banget jadi kalau dikasari atau dibentak sedikit, pasti beliau kepikiran dan ngerasa pilu. Hal ini juga terlihat di hasil asesmen waktu itu (saya menggunakan alat tes TAT). Oh ya, kenapa Mbah Melati menganggap hidupnya nggak bermakna karena dia dua kali menikah dan kedua suaminya pun meninggal lebih dulu darinya ditambah lagi dengan tidak mempunyai keturunan dan jauh dari saudara-saudara kandungnya. Akhirnya, Mbah Melati merasa kesepian. Beliau jika diamati memang lebih banyak mengurung diri di rumah. Beberapa waktu selama asesmen hingga terapi, Mbah Melati juga susah berjalan karena kaki kirinya reumatik. Untunglah di depan gang rumah ada Puskesmas pembantu (Puskesmas cabang dari puskesmas tempat saya praktek) sehingga simbah bisa kontrol ke dokter untuk mengobati kakinya. Beliau bener-bener sabar. Kalau saya ke sana, nggak jarang simbahnya menangis, menangis bukan karena ingin dikasihani tapi karena sering terngiang-ngiang dengan masa lalu yang pahit ditambah perlakuan keluarga angkat yang kadang kurang baik terhadapnya.

Baca: WALAU INTROVERT, JANGAN JADI PENYENDIRI

Kesepian pun bisa terjadi karena alienasi atau keterasingan. Keterasingan yang dimaksud di sini adalah seseorang yang merasa dirinya berbeda daripada orang pada umumnya, sehingga tidak banyak yang bisa menerima kekurangan serta kelebihan dirinya. Keunikan atau tipe pribadi tertentu juga rentan terhadap kesepian loh. Orang-orang yang jadi korban bully oleh lingkungan, dimana mereka iasingkan dan tidak dianggap juga rentan mengalami kesepian. Sepi karena dianggap tidak berharga, keberadaannya tidak diakui dan malah dianggap sebagai "musuh" atau "sampah" yang hanya bisa diolok-olok dan dibuang.

Baca: STOP BULLYING

Kalau ditanya, ada nggak sih di dunia ini orang yang nggak pernah merasa kesepian dan nggak pernah merasa sendirian meskipun cuman punya sedikit teman? Saya pikir ada dan saya sering bertemu dengan beberapa orang seperti itu. Ada yang memang mengakui kalau dia sulit untuk mencari teman yang bener-bener "teman". Ada juga yang merasa seolah tidak butuh banyak teman karena baginya banyak teman hanya akan semakin menambah banyak masalah. Wow, sadis. Tapi memang ada loh.

Beberapa tahun terakhir juga pernah ada yang mengirimkan email pada saya lalu mereka curhat. Rata-rata mereka itu adalah tipe introvert tapi memiliki self-esteem alias harga diri rendah. Bahkan ada juga salah satu dari mereka mengaku sangat tertekan karena takut bersosialisasi dengan orang lain sehingga hanya mengurung diri di rumah dan hanya keluar saat sekolah/kerja. Di sekolah atau di kantor pun mereka tampak kurang ramah dan nggak jarang gemetar saat harus berhadapan dengan orang banyak.

Orang yang self-esteem atau harga dirinya terganggu ini hampir mirip sih dengan orang introvert, tapi orang yang harga dirinya rendah cenderung merasa sangat tidak nyaman jika dihadapkan oleh situasi sosial yang baginya itu dianggap mencekam/membahayakan sehingga kerap menghindari berhadapan dengan banyak orang apalagi kalau orang-orang yang mereka temui tidak satupun dikenal dan lingkungan tempat mereka berada adalah lingkungan yang baru (baru pertama kali ada di lingkungan tersebut).

Adalah hal umum bila kita mendapati orang-orang yang mengalami kesepian ini terhambat dari segi keterampilan sosialnya, lambat dalam merespon interaksi/menjalin hubungan yang lebih intim dengan seseorang, pasif atau tidak banyak mengekspresikan pikiran, pendapat dan perasaannya di depan orang lain dan nggak jarang juga sih mereka yang kesepian dianggap garing karena pola interaksinya kaku (karena nggak punya cukup pengalaman dalam hal menjalin hubungan yang lebih dekat dengan orang lain).

Baca: MENDAPATKAN TEMAN ITU SANGAT MUDAH, TAPI TIDAK BAGINYA

Penyebab kesepian selanjutnya adalah kondisi dimana seseorang harus tinggal jauh dari keluarga inti. Misalnya saja seorang mahasiswa atau karyawan yang merantau jauh dari keluarga. Seperti halnya saya. Saat awal-awal hijrah dan menetap di Malang, saya merasa sepi karena mayoritas teman-teman saya ada di Parepare dan Makassar. Saya pun semakin sulit menjangkau mereka karean selain jauh juga karena tuntutan kuliah yang mengharuskan saya untuk fokus dan tidak ke mana-mana. Saya pun sewaktu strata satu pernah nggak pulang selama dua tahun. Dua tahun itu saya bener-bener stay di Malang. Menghabiskan waktu di kos. Sesekali saya berkunjung ke rumah mbah di Sawojajar 1 atau mudik ke Madiun seorang diri. Walau demikian saya masih merasa kesepian karena jauh dari keluarga inti: Mama, Bapak, adik-adik dan teman sejawat. Jadi, selama dua tahun itu saya habiskan dengan part time di salah satu lembaga kampus, lebih aktif organisasi, lebih banyak tersita waktu saya untuk mengerjakan tugas-tugas kelompok dengan teman kuliah (yang memang waktu semester itu lagi padat-padatnya) ditambah saya baru sembuh dari sakit (karena ketularan sih jadi mau nggak mau saya pun pernah izin dua minggu nggak masuk kuliah dan nggak bisa pulang) ditambah lagi waktu itu saya kecelakaan (saya izin lagi nggak kuliah selama beberapa waktu karena di atas mata kaki sebelah kanan masih bolong, iya bolong, bener-bener bolong kena aspal jadi harus istirahat total dan tangan kanan pun belum bisa beraktivitas berat karena lukanya cukup serius)

Mereka yang sering pindah-pindah rumah dan pindah sekolah juga rentan mengalami kesepian karena tidak punya cukup teman yang sama untuk bersosialisasi dalam waktu yang cukup. Mereka harus pindah dari satu kota ke kota lain, bertemu terus dengan orang-orang baru dan orang baru yang dihadapi pun belum tentu sejalan dengan pemikiran mereka, belum tentu bisa menjadi teman yang baik buat mereka sehingga mereka bisa saja merasa terasing dan kesepian.

Penyebab terakhir yang sering kita jumpai juga adalah karena status perkawinan. Orang-orang yang belum menikah (karena memang belum bertemu jodohnya) dan orang yang bercerai juga rentan mengalami kesepian. Itu karena manusia kan makhluk sosial ya, yang saling membutuhkan satu sama lain. Seindividualis dan semandiri apapun seseorang, toh juga pasti butuh kehadiran pasangan di sisinya. Ketiadaan pasangan atau kehilangan hubungan perkawinan akibat perceraian ini bisa memunculkan emosi negatif. Ada masa-masanya mereka merasa tidak dicintai, diabaikan, tidak dihargai, tidak dibutuhkan dan tidak..tidak lainnya. Emosi dan pikiran negatif yang lama-kelamaan menumpuk ini bila tidak segera diatasi bisa berbuah menjadi trauma emosional loh, terutama pada orang-orang yang bercerai. Sewaktu strata satu dulu saya meneliti tentang perceraian untuk tugas skripsi saya. Dari hasil penelitian itu, salah satu kesimpulan yang saya peroleh bahwa dari sekian banyaknya proses penyesuaian yang mereka hadapai pasca perceraian, mostly, mereka cenderung fokus untuk mengatasi trauma emosionalnya lebih dulu. Ya, trauma emosional adalah urutan pertama yang mereka perangi setelah kehilangan status perkawinan baik itu cerai hidup atau cerai mati. Trauma menjalin hubungan dengan orang yang baru dan memilih bertahan dalam kesendirian dalam waktu cukup lama dan yang seperti ini cenderung dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Salah satu dari klien saya dulu ada yang betah untuk tidak menikah lagi sampai sekarang dan dia perempuan. Kenapa? Karena trauma disakiti. Dia nggak mau salah pilih pasangan lagi, nggak mau dikhianati lagi sehingga memilih untuk being single mother. Padahal ada beberapa orang yang sempat mendekatinya untuk nikah tapi dia memilih untuk say no.

Selanjutnya, faktor kedua yang mereka perangi pasca perceraian adalah perasaan kesepian. Sepi karena harus memulai dari awal lagi, tidur sendiri, kerja banting tulang buat anak-anaknya sendiri dan perasaan kesepian ini lebih banyak dialami oleh laki-laki. Karena nggak mau ngerasa kesepian lama-lama, klien saya yang laki-laki semua memutuskan untuk menikah lagi. Dari hasil penelitian itu sih, klien laki-laki cenderung mudah mengalami depresi kalau sendirian terus akhirnya salah satu jalan praktis untuk mengusir kesepian itu ya dengan mencari istri baru. Tapi, tentunya didasari oleh banyak pertimbangan terlebih karena mereka punya anak, jadi harus nanya ke anak juga, mau nggak nih kalau Papanya nikah lagi. Kalau diizinkan, ya maju, kalau nggak, ya mereka mencoba bertahan walau sulit dan demi menjaga perasaan anak-anak (tapi jarang sih ada laki-laki yang bercerai terus nggak nikah lagi, beda sama perempuan yang tingkat ketahanannya jauh lebih kuat daripada laki-laki. Ini bukan kata saya, tapi hasil dari penelitian saya ya, hehe, biar nggak sok tahu gitu).

Apa sih yang bisa dilakukan saat perasaan kesepian itu datang?
Banyak cara mulai dari yang ringan sampai cara yang lebih serius sih.
❤Bagi yang berkepribadian intraversi, walau memang terbiasa fokus pada hal-hal yang bersifat internal dan menyukai suasana yang tenang dan sepi, tapi jangan menjadi penyendiri. Tetap bergaul seperti biasa. Jika masih sulit bergaul dengan orang lain, minimal keluar rumahlah untuk sekadar menghirup udara segar atau jogging dengan hewan piaraan.
❤Tidak masalah tidak punya banyak teman karena kesepian itu bukan cuman soal banyak atau sedikitnya teman. Orang-orang yang punya inner circle kecil pun, jika dia pandai memposisikan diri dan bisa mengontrol perasaannya dengan baik, maka perasaan kesepian bisa diatasi. Terkadang punya banyak teman tapi kalau nggak bisa nyambung dengan mereka ya kemungkinan perasaan terisolasi itu pasti ada. Jadi, tetap bergaul dengan inner circle yang memang tahu diri kita ini siapa dan kita ini orang yang seperti apa. Setidaknya orang-orang di inner circle kita sudah satu frekuensi dan bisa saling memahami juga saling support saat ada masalah
If at the same time, orang-orang terdekat atau orang tercinta sedang sibuk dengan urusannya sehingga lebih banyak mengabaikan, jangan berkecil hati dan tetap berusaha positive thinking. Mungkin saja mereka punya problem dengan pekerjaan sehingga seluruh perhatian hanya terpusat pada apa yang mereka kerjakan. Saat mereka kurang memperhatikan, maka tugas kita adalah memperhatikan diri sendiri. Sebab, kebahagiaan kita bukan tanggung jawab orang lain. Orang terdekat memang perlu membahagiakan satu sama lain tapi tanggung jawab sepenuhnya ada pada diri sendiri. Jika orang lain kurang memperlakukan kita dengan baik, maka giliran kita yang harus meluangkan waktu untuk mempedulikan kesejahteraan psikologis diri sendiri.
❤Saat kita tiba-tiba merasa inadequate dan disconnected dengan lingkungan, luangkan waktu sejenak untuk menjauh tapi hanya untuk sementara. Renungkan apa sih yang menyebabkan perasaan kesepian dan inadekuasi itu muncul. Mungkin kita sedang lelah atau bosan. Tidak ada salahnya untuk menyendiri sekejap, introspeksi apa saja sih yang harus dan tidak harus dilakukan. Berkreasilah dengan hal-hal baru atau hal-hal yang bisa membuncahkan semangat kita lagi, misalnya membuat kerajinan tangan, mendaki gunung hingga ke puncak bersama teman-teman lama atau lainnya
❤Bisa juga dengan cara menyalurkan bantuan kepada orang-orang yang kurang mampu. Etts.. jangan salah. Membantu orang lain ini selain berpahala juga bisa menjadi obat hati buat kita yang lagi sumpek. Dengan melihat ke bawah, kita jadi berpikir ulang untuk mengeluh. Kenapa? Karena kita sadar kalau masih banyak orang yang penderitaan dan permasalahannya jauh lebih besar dan kompleks dibandingkan dengan perasaan kesepian yang kita alami. Selain itu, kita jadi bisa memperbanyak syukur. Salah satunya juga bersyukur karena masih punya perasaan. Maksud saya, orang yang merasa kesepian kan tandanya masih peka, masih sensitif. Coba lihat orang-orang dengan gangguan psikotik, mereka bahkan sudah terputus kontaknya dengan dunia sekitar dan coba lihat orang-orang dengan gangguan anti-sosial berat, contohnya psikopat, mereka dibilang tidak berperasaan, iya karena membunuh dan merasa puas setelah melakukannya.
❤Jika perasaan kesepian yang dialami sudah memunculkan gejala depresi, maka tidak ada salahnya mencari bantuan pada ahlinya, maybe ke psikiater, psikolog, atau konselor untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
❤Luangkan waktu untuk beribadah lebih khusyuk. Jadikan perasaan sepi ini sebagai momen untuk lebih mendekatkan diri lagi kepada Tuhan. Mungkin selama ini kita terlalu sibuk dengan urusan duniawi dan mungkin juga lupa berdoa pada Tuhan. Dengan adanya rasa kesepian ini mungkin itu adalah cara Tuhan untuk say hello and get we back to Lord. Ya, Tuhan pasti punya maksud tertentu mengapa menimpakan kesulitan dan perasaan negatif pada kita. Bukan karena Dia membenci kita, justru karena rasa sayang-Nya, Dia ingin agar kita meluangkan lebih banyak waktu untuk mengingat-Nya.

Yap, sekian dulu artikel kali ini. Semoga bermanfaat. Yang lagi kesepian, semoga lekas terusir ya rasa sepinya.

KENAPA KITA MERASA BOSAN?



Why we get bored?
------------



Apa sih bosan itu?

Bosan atau kebosanan atau bahasa ketjehnya boredom yaitu suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan ditandai dengan hilangnya minat dan sulitnya berkonsentrasi pada aktivitas yang kita lakukan. Kebosanan juga diartikan sebagai kondisi yang berhubungan dengan kecemasan dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri.

Kebosanan ini merupakan kondisi yang pasti semua orang pernah mengalaminya. Ada yang bosan hanya dalam waktu sekejap tetapi ada pula yang merasakannya berlarut-larut. Rasa bosan ini bisa muncul dalam banyak situasi, antara lain bosan dengan pekerjaan, bosan sekolah, bosan belajar, bosan bermain bahkan bosan menjalin hubungan dengan seseorang. Rasa bosan sering ditandai dengan kita mulai menarik diri dalam melakukan aktivitas yang biasanya disenangi. Dilansir dari laman psychologytoday.com, kebosanan yang tidak ditangani dengan baik bisa menjadi bumerang yang menjerumuskan seseorang untuk melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya seperti mengonsumsi obat-obatan, minum alkohol atau praktik perjudian kompulsif misalnya. Rasa bosan juga berkaitan erat dengan kekhawatiran, kesepian, kemarahan dan kesedihan. Kalau kebosanan itu terjadi saat menjalin hubungan dengan seseorang, maka bukan tidak mungkin jika "bosan" tersebut berkelanjutan akan dengan mudah menghancurkan hubungan tersebut. Di kemudian hari, rasa bosan yang semakin menumpuk karena tidak diatasi akan berkembang menjadi rasa malas dan bisa menyerang kepercayaan diri seseorang juga loh.

Bagaimana bosan bisa dialami oleh seseorang? Seorang pakar neurosains, Dr. Irving Biederman menjelaskan bahwa kebosanan ini muncul sama seperti siklus yang terjadi pada seseorang yang kecanduan opioid. Di dalam otak manusia terdapat zat kimia yang melepaskan hormon kesenangan. Hormon kesenangan ini akan terangsang dan diproduksi ketika seseorang melakukan atau menemukan sebuah pengalaman baru. Pengalaman atau aktivitas baru tersebut merupakan sebuah tantangan yang menyebabkan otak terstimulasi untuk mencari tahu lebih banyak. Namun, seseorang lama-kelamaan bisa saja merasa bosan karena sudah terbiasa dengan pengalaman tersebut sehingga tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang waw! Akibatnya, seseorang bisa mengalami kebosanan, hatinya gamang.

Apa saja yang bisa menyebabkan seseorang menjadi bosan?

Buah dari Aktivitas atau Tugas yang Repetitif dan Monoton

Penyebab ini adalah yang paling umum terjadi. Jika seseorang sudah berada pada tahap di mana setiap harinya ia menjalani rutinitas yang sama terus-menerus tanpa ada peningkatan atau perubahan dari apa yang dikerjakannya, rasa bosan bisa saja muncul. Sebagai contohnya seorang pegawai yang setiap hari kerjaannya melayani customer, menerima telepon, merapikan pembukuan tanpa diselingin aktivitas lain, dan setelah pulang kerja dia makan, mandi kemudian tertidur dan begitu terus setiap harinya. Lama-kelamaan ia akan merasa bosan dengan rutinitasnya itu. Ia menganggap bahwa pekerjaannya itu itu saja. Pekerjaan yang awalnya dianggap sebagai hal yang menantang, namun karena tidak ada progress yang signifikan, ia bisa saja merasa jenuh. Ia pun jadi malas-malasan alias tidak sepenuh hati mengerjakan tugasnya dan mungkin lebih banyak menunda akibatnya bisa jadi ia akan kehilangan pekerjaannya. Di saat seperti ini, seseorang bisa saja bertahan melakukan aktivitas monoton setiap harinya karena alasan tuntutan pekerjaan dan takut kehilangan penghasilan.

Kurangnya Pilihan atau Kontrol Terhadap Aktivitas dan Situasi 

Rasa bosan juga menghampiri bukan karena suatu penyebab yang besar atau fatal, melainkan hanya karena seseorang tidak tahu dengan apa yang dilakukannya. Terkadang, seseorang melakukan sesuatu karena tidak punya pilihan lain. Sama seperti poin pertama tadi, seseorang terjebak dalam perangkap pikiran dan perasaannya sendiri. Kita kadang merasa kebingungan dengan motif mengapa kita melakukan pekerjaan tersebut dan kenapa berada dalam situasi tersebut. Kita sangat paham bahwa kita memiliki skill yang tidak perlu diragukan lagi. Kita juga bisa melakukan segala hal tanpa ada kekurangan sedikit pun atau dengan kata lain pekerjaan kita selalu sempurna. Rasa bosan yang menyelinap bisa saja disebabkan karena kurangnya stimulasi yang kita peroleh dari pekerjaan atau situasi yang dihadapi. Kita bisa menyelesaikan pekerjaan tersebut namun, kita nyaris tidak pernah dihadapkan oleh hal baru di luar pekerjaan dan situasi tersebut atau karena kita tidak pernah mau mencoba menelusuri hal baru apa sih yang bisa kita kembangkan dari pekerjaan itu.

Kadang, kita juga merasa bosan sebab tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pasti kita pernah menghadapi satu momen dimana kita tiba-tiba stuck, terdiam tanpa paham sebabnya apa. Ingin melakukan ini itu, namun tidak berminat. Bahkan kita cenderung ingin menjauh dari lingkungan sekitar termasuk orang-orang di dalam lingkungan itu. Kita merasa bingung ingin melakukan apa ya. Kita tidak punya cukup banyak pilihan. Mungkin karena kita kurang kreatif atau kurang jeli untuk melihat sisi lain dari rutinitas yang kita hadapi setiap harinya.

Memaksa Diri untuk Melakukan Hal yang Tidak Disukai

Poin ini persis seperti seseorang yang salah masuk jurusan ketika kuliah atau salah memilih pekerjaan. Sebenarnya ada juga sih orang-orang yang tergolong sulit untuk berbaur dengan hal baru atau tantangan apabila hal itu tidak sesuai dengan passion mereka. Iya, passion. Kenapa saya bilang passion, sebab hanya passion yang bisa membuat seseorang bekerja dengan penuh cinta, dan meskipun tidak dibayar sekalipun, dengan passion, orang tersebut akan terus bekerja tanpa kenal lelah. Ketika dihadapkan dengan hal-hal yang tidak disukai atau bukan passion-nya, orang-orang seperti ini cenderung lebih mudah bosan.

Seseorang yang memaksa atau dipaksa melakukan sesuatu yang tidak disukai atau tidak diminati tentu saja akan merasa gundah, gairahnya akan menurun dan menganggap tidak ada lagi kejutan yang bisa mereka dapatkan dari pekerjaan tersebut. Akibatnya, mereka tidak akan berkembang.

Kondisi yang Tidak Menyenangkan

Ada banyak kondisi tidak menyenangkan yang bisa menyebabkan kebosanan muncul. Salah satunya adalah kesendirian. Ya, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi atau hubungan dengan manusia lainnya. Seperti lagu Kuntoaji, "Terlalu Lama Sendiri". Kondisi dimana seseorang terus-menerus berada dalam kesendirian yang berkepanjangan bisa menimbulkan rasa bosan. Bosan karena tidak ada seseorang yang bisa diajak untuk menjalin komitmen bersama. Bosan karena tidak ada seseorang tempatnya bersandar, Eaaaa... Bukan tidak mungkin, orang tersebut sudah punya segalanya, bisa melakukan pekerjaan yang menyenangkan, mapan, cantik atau tampan ditambah memiliki hati yang baik. Namun, karena kesendirian yang dirasakan sudah terlalu dalam dan lama, kesepian pun tidak jarang melanda dan tentu rasa bosan bisa saja menghampiri.

Kondisi lainnya yang seringkali menyebabkan kebosanan antara lain menganggur, tidak punya uang, terkekang, berada di lingkungan yang salah, berhadapan dengan orang yang tidak sesuai ekspektasinya atau orang yang tidak diinginkan, dan masih banyak lagi.

Kurang Menghargai dan Mensyukuri Pencapaian

Bisa traveling pakai uang sendiri. Bisa mengerjakan pekerjaan dengan "sempurna". Bisa memperoleh predikat cumlaude semasa kuliah. Bisa dapat beasiswa karena memenangkan lomba bergengsi. Ketika semua pencapaian yang telah berada di genggaman lantas kita remehkan, kita anggap sebagai hal yang biasa, maka tak dipungkiri rasa bosan bisa saja muncul. Kenapa? Karena kita kurang bersyukur atas segala pencapaian tersebut. Kita terlalu menyepelekan apa yang sudah kita raih. Kita haus akan pujian dan penghormatan dari orang lain sementara kita hampir tidak pernah mau menghargai perjuangan diri sendiri. Kita nyaris lupa untuk bersyukur bahwa semua itu tidak lain juga buah dari pertolongan dan karunia Tuhan.

Terlalu Memaksa Diri Meraih Banyak Hal dalam Satu Waktu

Punya impian itu baik karena dengan impian, kita jadi punya tujuan. Tujuan itulah yang akan mendorong kita untuk bersemangat menjalani hidup. Namun, apa jadinya kalau kita punya terlalu banyak impian? Apa jadinya jika kita memaksa diri untuk mewujudkan seluruh rentetan mimpi tersebut hanya dalam satu waktu? Bukannya mustahil jika memang Tuhan berkehendak. Namun, keinginan yang kurang realistis dengan memaksa diri untuk mewujudkan semua dalam waktu sebentar jelas-jelas adalah hal yang kurang baik. Terlalu banyak tujuan dan keinginan hanya akan mempercepat munculnya kebosanan dalam hidup. Seandainya semua hal itu benar-benar bisa diwujudkan dalam satu waktu, mungkin saja setelah itu kita akan merasakan kelelahan yang kronis. Lelah karena terlalu memforsir diri. Lelah dan bosan karena semua sudah kita raih, lalu apa lagi yang bisa diraih? Ingatlah bahwa kita ini hanyalah manusia. Sehebat apapun diri ini, kita juga harus tetap realistis. Jalani dan hadapi semua satu per satu. Alangkah lebih baik jika punya satu tujuan lalu berusaha merealisasikannya dengan sungguh-sungguh daripada punya banyak tujuan tetapi tidak ada satupun bisa diwujudkan hanya karena kita terlalu tamak menginginkannya. Atau, jika memang punya impian yang banyak, petakan dan wujudkan step by step. Bagi-bagilah tujuan besar itu ke dalam pieces yang lebih kecil. Dengan tujuan-tujuan kecil tersebut, mungkin rasa bosan tidak akan cepat muncul karena di setiap hal-hal kecil, pasti kita akan menemukan banyak hal baru untuk dipecahkan.

Kurang Percaya Diri untuk Menguji Kemampuan Diri

Seseorang yang takut out of the box, takut gagal, dan betah pada zona nyaman cenderung mudah bosan. Keragu-raguan atas kemampuan personal bisa membunuh rasa percaya diri sehingga takut untuk menghadapi tantangan dan menilai hidup ini biasa-biasa saja, begitu-begitu saja. Sesekali cobalah untuk menguji kemampuan diri sendiri, bukan untuk mendapat penghargaan dari orang lain, tetapi cobalah itu untuk meningkatkan performa diri kita, menaikkan kemampuan kita pada level yang lebih tinggi lagi. Kalau perlu, rombaklah resolusi dan introspeksi diri.

Kurang Istirahat atau Kurang Menghibur Diri Sendiri

Rasa bosan juga bisa terjadi karena seseorang sudah berada pada tingkat kelelahan yang "sangat". Lelah karena setiap hari melakukan rutinitas, bertemu dengan tantangan hidup yang tiada habisnya, dan menghadapi manusia dengan beragam karakter. Saat seperti ini, mungkin saja kita merasa bosan bukan karena orang yang kita temui, bukan karena rutinitas yang monoton dan bukan karena tantangannya, melainkan bosan karena kurang istirahat. Jadi, berhenti sejenak, menjauh sejenak, istirahat sejenak dan luangkan waktu untuk menghibur diri sendiri bisa menjadi alternatif untuk mengusir kebosanan. Menghibur diri bisa dengan cara mendengarkan musik, meningkatkan kualitas ibadah, menonton tivi, membaca buku dengan topik yang digemari atau melakukan sesuatu yang tidak pernah kita lakukan, misalnya saja mencoba memasak dengan resep kreasi sendiri, kursus menyetir mobil, mendaki gunung atau lainnya, Terlalu sering memperhatikan kebutuhan orang lain tanpa mempedulikan kesejahteraan diri sendiri juga tidak baik, bukan?

Mood yang Patologis

Apakah kita sudah tahu apa itu kepanjangan dari bete? Kalau tahu, apakah kita juga paham kenapa bete bisa terjadi? Bete itu jika ditelisik lebih dalam lagi sebenarnya lebih kronis daripada rasa bosan yang biasa dijumpai. Bete itu adalah singkatan dari Bored Totally. Jika kita merasa bete alias boring total, coba ditelaah kembali, apakah rasa bosan itu muncul sewajarnya seperti yang dialami kebanyakan orang? Ataukah bete yang muncul disebabkan oleh mood alias suasana hati yang patologis? Yap, mood yang patologis atau mungkin bahasa kecenya mood swing memang bisa saja dialami oleh seseorang. Bisa terjadi karena orang tersebut menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan sama seperti poin sebelum-sebelumnya yang sudah dijelaskan di atas. Namun, perasaan bored totally ini juga menjadi tanda atau gejala yang biasanya teramati dari orang-orang yang mengalami depresi. Individu dengan gangguan depresi lebih banyak melaporkan bahwa diri mereka tidak berminat melakukan aktivitas apapun, menarik diri daripada biasanya, lebih sering menyendiri, dan tidak tertarik untuk menjalin relasi dengan siapapun. Saat kita menemui orang atau mungkin diri kita sendiri mengalami bored totally dan terjadi dalam kurun waktu lama bahkan tidak ada niat dan minat untuk keluar dari rasa bosan itu, maka tidak ada salahnya untuk mencari bantuan pada seorang ahli karena bisa saja orang tersebut bukan lagi merasa bosan yang "wajar", melainkan depresi atau gangguan suasana hati lainnya.

Baca: GANGGUAN MOOD PART 1 (DEPRESI)

Sumber:
Fisher, C.D. (1987). Boredom: Construct, cause and consequences. Human Resources Research. Diambil  pada 18 Juni 2017 dari http://www.dtic.mil/dtic/tr/fulltext/u2/a182937.pdf.
www.psychologytoday.com
www.healthline.com


BAD SILENCE CAN KILL YOUR RELATIONSHIP



Silence is golden
---------

Saya pikir, kalian pasti sering mendengar atau membaca kalimat ini. Benarkah bahwa diam itu identik dengan "emas"? Benarkah bahwa diam itu adalah jalan terbaik? Benarkah diam itu akan menyelamatkan banyak hal? I'm not sure if it will heal everything or be the best thing at all. Kenapa? Because silence can also destroy our relationship with our partner or others. 

Dalam hubungan percintaan, pernikahan, pertemanan dan social relationship lainnya, siapa sih yang tidak bad mood ketika pasangan/teman/rekan kita diam saja? Ketika seseorang sedang dilanda sebuah masalah, respon yang muncul pasti bermacam-macam. Ada yang fight for it tapi ada juga yang flight from it. Diam termasuk salah satu respon flight from it. Terkadang, seseorang memilih untuk diam saat lelah karena ucapannya tidak didengarkan. Ada pula yang diam karena menghindari situasi yang lebih fatal jika mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Biasanya, orang-orang yang tergolong conflict avoider adalah mereka yang takut akan kritik sebagaimana mereka takut dengan penolakan dan amarah. Hal ini jika dibiarkan terus-menerus maka bisa menyebabkan berkurangnya keintiman atau kedekatan dan memicu kebencian pada pasangan/teman/rekan kerja.

Diam juga tidak salah jika bisa memposisikannya dengan benar dan tidak berlarut-larut. Sebagai contohnya, dalam hubungan percintaan, diam bisa berubah menjadi racun jika hal itu sering terjadi antara kita dengan pasangan. Ketika marah atau tidak suka dengan perilaku/ucapan pasangan, ada orang-orang tertentu yang memilih untuk mendiamkan sejenak. Mostly, mereka berpikir bahwa jika berterus terang, mungkin saja akan keluar kata-kata yang bisa lebih menyakiti pasangannya. Benarkah? Mungkin saja ada benarnya, namun, jika memiliki pasangan yang notabene ekspresif sementara kita cenderung lebih sering menarik diri saat terjadi konflik berdua, maka keeping quiet will only make things worse. Diam dalam hal ini tentu tidak akan pernah bisa menuntaskan masalah. Jika kita diam untuk menenangkan diri sejenak, menunggu sampai suasana hati calm down dan situasi agak tenang, itu tidak masalah. Tapi, diam dan mengabaikan pasangan berlarut-larut sementara pasangan kita sudah mulai membuka diri untuk membahasnya dengan lapang hati dan kepala dingin, maka hal itu bisa membuat pasangan ikut terluka.

What kind of silence which can lead to relationship damaged?

Not responding text messages, no need to explain and hearing or rejecting calls for amount of time

I understand because mostly, it may take us a while to respond a text from our partner or others. Entah karena sedang sibuk bekerja, sedang ada jadwal kuliah dan harus keep your phone silent, sedang mengendarai kendaraan dan terjebak macet atau karena urusan yang reasonable or understandable lainnya. 

Sebelum membahas poin intinya, saya ingin bercerita dahulu.
Terkadang ada sih memang orang yang tidak mau tahu urusan kita apa dan tidak peduli mau kita sedang sibuk atau tidak, ya harus ingat untuk membalas pesan atau menelepon secepatnya. Biasanya hal ini sering terjadi dalam hubungan antara atasan dan bawahan atau hubungan yang sifatnya formal/berhubungan dengan pekerjaan. Setiap orang dituntut untuk memberikan performa terbaik dan menuntaskan semua pekerjaanya secepat dan sebagus mungkin. Pressure yang cenderung tinggi di kantor kadang tidak diimbangi dengan relationship yang baik dengan sesama rekan kerja. Apabila atmosfer ini tercipta terus-menerus maka tidak heran sih jika banyak kita temui kasus dimana karyawan hengkang dari kantor. 

Aroma kompetisi antara karyawan pun tidak jarang bisa melukai hubungan kerja mereka. Sebagai contoh, salah seorang kerabat saya pernah bekerja di salah satu bank pemerintah. Namun, karena di tempat kerjanya rata-rata teman kerjanya memiliki jiwa kompetitif yang tidak sehat (I mean, saling menjatuhkan) dan atasannya pun kurang lebih sama seperti itu, kurang peduli terhadap karyawannya. Tidak lama setelah itu dia akhirnya memutuskan untuk resign. Dia tidak tahan dengan banyaknya tuntutan ini-itu sementara atasan dan rekannya tidak pernah mau "mendengar" usulannya dan tidak peduli apapun kondisinya. Padahal dia belum lama bekerja dan posisinya pun cukup bagus. Lebih parahnya lagi, dia sempat mengalami depresi. Ya, depresi yang saya maksud bukan depresi receh yang kadang anehnya serng ditampakkan dengan bangga oleh orang-orang di sosmed hanya untuk mencuri perhatian, melainkan depresi betulan yang sudah terdiagnosa sebagai gangguan jiwa. Depresinya cenderung berat karena sudah ada tanda-tanda gejala psikotik. Bahasa ringannya, sudah setengah gila (karena saya yakin tidak banyak yang familiar dengan kata "skizofrenia" jadi saya pakai bahasa awamnya "orang gila").

Nah, apa sih hal yang bisa dipetik dari sosok rekan kerja yang tidak mau tahu, atasan yang arogan dan tidak mau mendengar penjelasan/keluhan karyawannya sedikit pun seperti kisah di atas? Yap, kembali ke poin pertama dari bentuk silence yang bisa merusak hubungan. Ini sama halnya ketika kita sedang marah dengan pasangan atau teman lantas kemudian enggan membalas pesannya dan me-reject teleponnya berkali-kali bahkan tidak mau mendengar apapun dari dia dalam waktu yang lama.

Jika memang pasangan atau teman kita salah, marah atau tidak suka atas tindakan atau ucapan yang mungkin tanpa sengaja menyakiti kita itu wajar. Namun, jika kita tidak mengkomunikasikannya, malah membiarkan dalam waktu sangat lama sampai pesannya pun tidak dibalas berhari-hari dan teleponnya pun tidak diangkat, itu juga salah. Mungkin sejenak kita lega bisa memberi pelajaran pada pasangan atau teman, hal itu juga sebenarnya bukan hanya akan menyakiti pasangan tapi juga menyakiti diri kita sendiri. Because you both are created to become one, jadi bisa dipastikan rasa sakit yang muncul akan dirasakan berdua, bukan hanya salah satunya. 

Kesalahan yang dibiarkan dan tidak dikonfirmasi akan semakin menyulut banyaknya prasangka lebih dan lebih buruk lagi. Jika kita atau pasangan tidak mau membalas pesan atau tidak ingin berkomunikasi dalam bentuk apapun for a while, baiklah, bisa dimaklumi karena kita juga perlu menenangkan diri. We have to take a time and sometimes want to withdrawl from each other, tapi jika keduanya sama-sama egois, tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau berinisiatif untuk meluruskan, tidak ada yang berinisiatif untuk minta maaf lebih dulu, maka I think your relationship will die soon and you should ask yourself first, are you sure your spouse/friend is a better person to be with? 

Jadi, bersyukurlah bila meski semarah apapun kita, pasangan/teman masih mampu untuk mengimbangi. Mengimbangi yang saya maksud bukan harus sama-sama strong atau sama-sama lemah, justru sebaliknya, ketika pasangan/teman kita marah besar dan masih dikuasai oleh egonya, ada baiknya kita yang mengalah. Mengalah bukan berarti pasangan kita yang menang karena dalam relationship tidak ada menang atau kalah. Relationship bukan sarana untuk berkompetisi.

Kemarin, saya sempat mendengarkan siaran di radio. Kayaknya sih Young on Top cuman versi on air radio. Ada sebuah kalimat yang mungkin bisa kita tanamkan untuk diri kita. Billy Boen selaku presenter/pembawa acara Young on Top ini berkata yang kurang lebih seperti ini, "Adalah hal yang patut lo syukuri saat lo melakukan kesalahan tapi atasan lo masih mau negur, ngasih tau ini itu. Kalau atasan lo diemin lo saat lo salah, itu yang berbahaya, bahaya banget itu." 

Kembali pada poin tadi, lalu bagaimana bila pasangan mendiamkan, enggan membalas pesan atau mengangkat telepon/menelepon balik? Ambil waktu sejenak. Tidak masalah untuk mengirimkan pesan sambil menjelaskan perkara yang terjadi. Setelah itu, let it flow, take your time as your spouse/friend does. Jika pasangan/teman butuh waktu sendiri, maka berikanlah haknya. Begitu pula dengan kita, tetap lakukan aktivitas seperti biasa dan di saat-saat seperti ini jangan berlebihan fokus dan terlalu memprioritaskan pasangan/teman. Mereka memang penting tapi bukan berarti kamu melenggang dan mengabaikan pekerjaan atau aktivitas lain yang tidak kalah penting. Kalau saja kita bekerja sebagai seorang dokter dan di saat bersamaan kita sedang konflik dengan pasangan dan di satu sisi ada nyawa pasien yang harus ditangani di ruang operasi, maka kita tidak mungkin kan mengorbankan nyawa pasien karena terus-menerus fokus pada pasangan?

Biarkan kalian sama-sama beristirahat sejenak dan jika dirasa perlu, tetap berikan perhatian kecil pada pasangan, tegur dia untuk sekadar mengingatkan makan atau istirahat (saat sepulang kerja atau setelah suasana mulai calm). Jadi, bukan berarti komunikasinya berhenti total. Kalau yang satu enggan untuk berinisiatif mengirimkan kabar, yang satunya harus proaktif. Ya, kira-kira begitu sih.

Expecting your partner to read your mind

Selain mahasiswa baru yang sering bertanya apakah psikolog itu pandai membaca pikiran dan meramal masa depan, hal serupa juga terjadi pada pasangan atau teman atau rekan yang menganggap kita ini bak "dewa" yang "harus" tahu apa sih yang ada di pikiran mereka?

Biar tidak lompat-lompat, maka saya fokuskan untuk membahas ini dalam ranah hubungan romansa ya (ya walau saya bukan relationship coach, saya hanya berbagi dari apa yang pernah saya dengar, baca, amati dan pernah saya alami sendiri).

Memang sih ketika hubungan dengan pasangan sudah semakin akrab, sudah terjalin cukup lama dan intens, bukan tidak mungkin kita dan pasangan memiliki "kontak batin". Entah bagaimana menjelaskan asal usulnya, tapi kita sering merasa hati dan pikiran kita bertautan dengan milik pasangan, bukan? Ibaratnya seperti seorang ibu yang tahu anaknya sakit walau mereka tinggal berjauhan. 

Jangankan yang tinggalnya berjauhan, yang dekat dan tiap hari bisa ketemu saja, kalau ada apa-apa, pasti kita akan berfirasat. Saya tidak akan mengaitkannya dengan six sense atau indigo atau sejenisnya ya. Kita bahas sebagaimana manusia pada umumnya. Ya, balik lagi, karena kita adalah manusia yang memang diberikan akal untuk menganalisa apa yang sedang terjadi dan mata untuk mengobservasi keadaan, namun menuntut pasangan untuk selalu tahu apa yang kita pikir dan rasa adalah sesuatu yang salah. Kalau di dunia ini semua orang bisa seperti itu, pasti tidak akan ada yang namanya "penasaran", tidak akan ada curiosity, tidak akan ada yang bisa membuat api cinta kita terhadap pasangan jadi lebih greget, tsaaah... (ini kalimat pernah saya dengar dari orang sih, jadi murni bukan saya yang ngomong hehehe).

Saat kita menginginkan sesuatu tapi malah bersikap diam dan berharap pasangan bisa menerkanya, maka tunggulah sampai semua monyet di dunia ini merayakan lebaran. Bagaimana pesan kita pada pasangan bisa nyampe kalau sikap kita seperti itu? Pasangan bukan alien, mereka pun punya perangkat panca indera juga otak sama seperti kita. Jadi, kalau kita ingin agar pasangan tahu apa keinginan dan harapan kita, ya caranya cuma satu: speak up, ngomong, bilang, bicara, sampaikan. Misalnya, saat kita sedang jalan bersama pasangan terus pas ada abang penjual es krim lewat, kita tuh pengen pasangan beliin es krim atau singgah sebentar supaya kita bisa makan es krim sebelum melanjutkan perjalanan. Nah, biar maksud kita nyampe, kan kita tinggal ngomong ke pasangan, "Yang, singgah bentar dong. Aku mau beli es krim nih, lagi pengen makan es krim? Kamu mau juga nggak?" Bukankah ini lebih jelas ya daripada kita diam sambil menatap abang penjual es krim itu lenyap dari hadapan kita lalu marah-marah ke pasangan karena tidak singgah atau tidak bisa baca pikiran kalau kita mau es krim.

Beda lagi jika diam karena ada hal yang kita sembunyikan dari pasangan. Hal ini sebaliknya, sikap diam kita malah bisa membuat pasangan "sembarangan membaca pikiran/perbuatan" kita alias berprasangka buruk, bertanya-tanya dan berpikir negatif terhadap kita. So, try to be honest to your commitment with spouse. Kenapa saya bilang cobalah untuk jujur pada komitmen yang kalian jalin bukannya try to be honest to the person? Karena kalimat kedua seringkali membuat orang malah tidak mau work out. Tuntutan langsung untuk ngomong jujur dan lugas pada pasangan malah seringkali membuat orang withdrawl. Tapi, ketika seseorang memang menganggap komitmen ini penting bagi mereka berdua, maka he or she just go straight to the point and as we know, they still want to work on their relationship with their partner. Kalau kita tetap keukeuh tidak mau menjelaskan yang sebenarnya meski bukti-bukti sudah di tangan, maka ketidakjujuran itu hanya akan melukai pasangan cepat atau lambat. Pasangan akan berpikir negatif dan feels inadequate. Semakin menumpuk pikiran negatif tersebut, maka semakin lebar pula pertanyaan tentang whether the relationship is beyond repair or not

Beruntunglah jika pasangan masih mau menjelaskan atau mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Terkadang, ada orang yang tidak suka diberi penjelasan karena merasa tidak didengarkan atau tidak dipahami oleh pasangan. Sebenarnya, pasangan yang mau menjelaskan dengan sejujur-jujurnya dan sedetil mungkin, mereka bukan berarti tidak mendengar apalagi memahami. Mereka mendengar dan memahami namun mungkin termasuk orang-orang yang butuh untuk menjelaskan terlebih dahulu agar prasangka buruk yang muncul tidak semakin menyebar ke mana-mana.

You don't know how to speak up 

Ini bisa saja terjadi pada orang-orang yang pada dasarnya sangat pendiam dan tidak banyak pengalaman dalam memecahkan masalah ketika sama-sama dihadapkan oleh pasangan yang mendadak diam. Sudah pendiam ditambah punya pasangan yang tiba-tiba bersikap diam, nah kan jadi bingung sendiri, maunya apa dan harus bagaimana? Despite of that, kita juga jangan malah tambah berdiam diri. I mean, di sinilah kemampuan seorang pendiam mulai ditantang. Meskipun kita ini sangat pendiam, tapi saat ada konflik dengan pasangan atau orang lain, lantas kita jadi semakin membiarkan.

Lalu, bagaimana caranya untuk speak up? Awal-awalnya mungkin akan terasa sangat sulit karena orang pendiam tidak terbiasa untuk berbicara banyak. Jangan jadikan sifat pendiam sebagai kelemahan. Sebaliknya, ketika kita tidak tahu harus bilang apa, maka tunjukkan saja dengan perbuatan yang nyata. Biasanya sih, orang-orang yang merasa minder menyusun kata-kata agar "enak" didengar dan tidak menyakiti, akan jauh lebih mudah bagi mereka untuk menunjukkan maksud tersebut melalui sebuah tindakan. 

Ada satu cara lagi, yaitu menunjukkan dengan bahasa tulisan. Nah, karena tidak semua orang lihai dalam berbicara, ada pula sebagian orang yang baru bisa nyaman untuk berkata jujur atau terbuka dengan cara menuliskannya. Ini seperti saya. Saat terlibat konflik, saya cenderung panik, hectic sendiri hingga mendadak saya kerap merasa semua kata yang hendak diucapkan itu lenyap seketika. Lalu, setelah saya tahu bahwa dengan menulis membuat saya lebih rileks, maka saya terbiasa untuk mengungkapkan atau menjelaskan secara detil lewat tulisan. Ya, pernah juga sih saya ceroboh menulis karena kondisi yang tidak kondusif sehingga terjadi kesalahpahaman. Tapi, saya berusaha untuk meluruskannya kembali dan sambil belajar untuk tidak mengulanginya lagi sih. Kalau ada waktu yang tepat, barulah saya akan speak up meskipun mungkin bakal terdengar aneh kalimatnya hehe.

You give silent treatment for each other but revenged by shout it into your social media 

Ini adalah tindakan paling receh yang mungkin hampir setiap orang pernah melakukannya, termasuk saya (ngapunten nyak). Tapi, sekarang-sekarang ini saya berusaha untuk mengontrol untuk tidak share mengenai problem dengan orang terdekat. I mean, pasangan, keluarga dan saudara. Pernah sih share saking tidak tahannya harus curhat pada siapa atau bicara langsung pada mereka. Namun, setelah saya tahu hal itu adalah tindakan yang kurang dewasa, saya pun menghapus semua postingan yang mungkin tanpa sengaja pernah menyinggung atau mungkin orang yang saya singgung adalah si A tapi yang merasa malah si B padahal tidak ada maksud menyinggung si B.

Saling memberikan silent treatment lalu membalas dendam dengan cara mengumumkannya ke sosial media ini jelas-jelas perbuatan yang errrrrrghhhh piye ya hahah... Tapi kalau semisal just share the main topic about those problem without figure out their real names or their real characteristic hanya sekadar sebagai contoh dan untuk mengambil hikmah dari situ sih, masih bisa termaafkan, tidak masalah.

Tapi kalau sudah terang-terangan nyebut merk, nah ini nih yang bahaya. Jangankan yang terangan nyebut merk dulu, yang memposting hal-hal ambigu pun kadang bikin kita jadi ikut penasaran apalagi kalau sedang dalam posisi we got a problem with them, iya kan? Jadi, yang sebenarnya, masalah udah clear tapi karena tidak jelas yang diomongin tuh siapa, untuk siapa padahal itu tujuannya untuk umum dan bukan untuk pihak tertentu, hal ini bisa memicu kesalahpahaman juga.

Seperti halnya ketika saya menulis ini, murni karena beberapa jam lalu di pagi hari saya habis baca artikel. Yang tahu banget kalau saya ini suka baca, pasti mereka bisa paham bahwa tulisan ini bukan untuk menyinggung pihak tertentu. Kenapa saya tulis dengan huruf bold, agar yang lain tidak salah paham dan tidak menerka-nerka. Tidak semua yang tertulis di sini based on my own stories or because I want to spread out hatred to others. Saya cuman mau sharing dari bacaan yang sudah saya lahap dan sekiranya bisa memberikan inspirasi atau pelajaran bagi kita semua.

Jadi, bila ada konflik, jangan membiasakan diri untuk diam lalu memilih menyebarkannya ke sosmed. Itu memang tidak dibenarkan. Bukannya malah selesai, yang ada masalah akan semakin meruncing dan orang lain pun akan terpancing untuk kepo. Ya, beberapa waktu lalu, saya sempat memposting hal yang kurang baik tapi hanya untuk diri sendiri, namun setelah merenungkannya, walau untuk diri sendiri, itu tetap saja emosi negatif. Kata salah seorang teman baik, emosi itu menular jadi hendaknya sebarkan hal-hal positif, akhirnya saya hapus postingan tersebut. Padahal cuman curhat receh soal diri sendiri hehe..

Your partner need to talk about but you reply her/his with "nothing to say anymore"

It seems like a little sarcastic. Kalau pasangan udah bilang "Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi" maka bersiap-siaplah untuk menghadapi kenyataan terpahit. Saya tidak menakut-nakuti. Ya, bisa saja kalimat itu tercetus karena pasangan masih terbawa emosi sehingga serba tidak terkontrol. Tapi, jika kalimat tersebut dikatakan dengan tatapan mata seolah sudah sangat kecewa, sudah waktunya he/she will let you go definitely. Kalau ini terjadi, mungkin saja karena kita tidak pernah belajar untuk memperbaiki diri atau mungkin saja karena kita tidak pernah mau meminta maaf and admit it. Wajar jika pasangan sudah di ambang batas sampai bisa bilang seperti itu.

Tapi, bila situasinya, dibalik. Kita lagi konflik dengan pasangan. Pasangan sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf. Dia juga sudah menunjukkan penyesalan melalui tindakan nyata yaitu dimana dia berusaha untuk memperbaiki diri, ucapan dan tingkah lakunya. Masalah pun terjadi karena miskomunikasi atau salah paham dan masih bisa dicari solusinya bersama. Namun, kita tetap saja masih tidak bisa mentolerir sampai kita bilang "Nggak ada lagi yang harus dibicarakan. Bye." tanpa mendengar terlebih dulu penjelasan dan pengakuan dari pasangan, ini juga bisa saja menjadi tindakan yang kurang tepat. Kenapa? Seperti halnya poin pertama, kita tidak mau mendengarkan, kita memilih untuk mengabaikan tanpa memberi kesempatan pada pasangan untuk jujur. Kalau memang pasangan kita terkenal sebagai seseorang yang dapat dipercaya baik perbuatan maupun ucapannya, bukankah mendiamkan hingga berkata tidak ingin bicara apapun lagi adalah hal yang tidak adil bagi pasangan?

Setiap orang punya hak dan kesempatan untuk mengakui, tapi tidak semua orang mau mengakui kesalahannya. Semua orang punya hak untuk didengarkan, tapi tidak semua orang mau mengatakan agar didengarkan. Jika pasangan kita adalah seseorang yang dari dulu memang orang yang buruk, suka berbohong, tidak mau mengakui kebohongannya, dan berulang kali mengulangi kebohongan yang sama, maka mungkin saja tindakan kita untuk tidak mendengarkannya adalah hal tepat. Tepat agar dia menyadari bahwa sikap dia yang sama diamnya dan malah menarik diri tidak mau mengakui adalah hal yang salah. Tapi, jika pasangan pernah berbohong dan sudah mengakui serta tidak lagi mengulangi perbuatannya, atau dia pernah berbuat salah, menyesali kemudian dengan jelas kita amati dia sudah memperbaiki dirinya, maka berilah dia kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati. Barangkali ada maksud/pesan darinya yang ternyata tidak pernah tersampaikan hingga membuat kita juga salah paham dan menuduh-nuduh pasangan. 

Tapi, semua tergantung individu masing-masing. Bila memang yakin hubungan tersebut masih bisa diperbaiki dan dilanjutkan, tidak ada salahnya. Tapi, jika merasa bahwa kita sudah berusaha maksimal namun tidak ada tanda-tanda usaha yang sama dari pasangan, mungkin sudah waktunya kita untuk move on. Karena hubungan itu dijalani oleh dua pihak. Jika salah satu pihak saja yang terus berjuang sementara yang lain ongkang-ongkang kaki, ogah-ogahan, ya itu bukanlah hubungan yang sehat. 

Kita juga jangan lupa berkaca pada diri sendiri. Mungkin saja kita pernah menjadi sosok yang ongkang-ongkang kaki seperti itu, merasa dicintai, dielu-elukan, dibanggakan sementara pasangan sudah memperjuangkan kita mati-matian, membanggakan kita meski kita tidak pernah membalasnya, menantikan kita dalam waktu yang panjang, dan pokoknya dia tu karena saking cintanya bukan tidak realistis tapi justru dialah sosok penyelamat yang kadang kita lupa untuk memperjuangkannya juga, maka kita harus introspeksi diri lagi. Ketika dia sudah berada pada tahap "merasa tidak diinginkan, tidak dihargai, diabaikan terus-menerus" bukan tidak mungkin dia akan pergi perlahan. Pergi karena lelah perjuangannya terasa sia-sia. Pergi karena sikap kita yang egois, maunya menang sendiri. Pergi karena tidak diharapkan. Dan bisa jadi, kita hanya akan menyesal kemudian karena sudah menyia-nyiakan dia yang selalu ada untuk kita.

So, happy contemplation ya guys. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita, biar kita juga introspeksi diri, bukan hanya nimpalin kesalahan pada orang lain atau bahkan mencari-cari kesalahan orang lain.

TES DIRI SENDIRI PAKAI MBTI ONLINE



Beberapa waktu lalu di Instagram, seorang teman saya semasa kuliah strata satu memposting hasil tes kepribadian dirinya. Dia mengikuti tes MBTI online di salah satu situs. Kemudian, saya pun jadi tergerak untuk mengetes diri saya sendiri namun di situs yang berbeda. Saya mengisi tes online di 16personalities.com (english version) sedangkan teman saya tes di situs anthony yang berbahasa Indonesia. Melalui tes tersebut,  hasilnya tidak terlalu mengejutkan karena memang sesuai dengan kepribadian saya in the fact.


Hasil dari tes MBTI mengungkapkan bahwa saya adalah seseorang dengan tipe kepribadian INFJ. Apa sih itu INFJ itu? Kok bisa resultnya pakai huruf-huruf itu? Apakah bisa dipercaya? Yang namanya tes, boleh dipercaya boleh juga tidak. Tapi kalau saya pribadi mengatakan bahwa ini bukan soal percaya atau tidak percaya sebab tes psikologi berbeda dengan ramalan. Pertanyaan yang disodorkan pun bukanlah pertanyaan receh, tapi bedanya dengan tes MBTI konvensional sama tes online ada sedikit perbedaan sih. Kalau yang konvensional pakai lembar soal gitu hasilnya cukup bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena sudah melewati serangkaian penelitian terhadap validitas dan reliabilitasnya dari para pencetusnya kan. Sementara itu untuk tes-tes online kebanyakan, item pernyataan/pertanyaannya memang sekilas tidak jauh beda dengan item yang ada di tes konvensional namun untuk yang online ini terkadang juga diperuntukkan sebagai hiburan, just for fun. Sumbernya dapat dari mana item pernyataan yang dicantumkan pun bisa saja beragam. 

Kembali ke hasil tes saya tadi. INFJ. Apa sih INFJ itu?

INFJ itu singkatan dari Introversion, Intuition, Feeling, Judging.

Secara garis besar, katanya sih, kata tes ini tuh ya INFJ itu adalah seorang protector  dan konselor. Benarkah? Kalau benar adanya, berarti tidak salah dong ya saya masuk psikologi dan jadi psikolog, wkwkwk...

Hasil tes ini menyatakan bahwa saya ini adalah seseorang dengan tipe kepribadian INFJ-A yaitu bak seorang Advokat, Konselor atau Protektor. Are you serious? Advocate. Hahah... masa sih saya ini orang yang bak advokat. Saya agak ketawa saat membaca hasilnya seperti ini. Baiklah, kita next aja ke tahap penjabarannya.
---------------



Seperti yang tertera pada capture gambar di atas, pertama, saya adalah seorang yang introvertYap, saya tidak menyangkalnya karena dari dulu memang introvert. Saya sudah pernah memposting tentang introvert dan ekstrovert di postingan beberapa tahun lalu, bisa searching aja di blog ini. 

Kedua, saya adalah seorang yang intuitif. Eumm.. intuitif ya? Saya akui iya juga sih karena saya seringkali menilai sesuatu berdasarkan apa yang dikatakan oleh intuisi saya. Butuh proses latihan yang tidak sebentar untuk mengasah intuisi. Seringkali sih penilaian berdasarkan intuisi saya ini tidak meleset tapi juga pernah meleset sih. Saya juga mudah peka dengan orang, sometimes, bisa langsung menebak bagaimana sih kepribadian orang yang ada di depan saya atau yang saya lihat meski hanya sekilas. Konon, orang-orang yang intuitif ini seringkali dikirain bisa meramal. No. Tidak. Nggak. Saya tidak bisa meramal dan saya bukan peramal tapi saya juga tidak bisa memungkiri kalau sering tepat sasaran menebak sesuatu atau seseorang. Saya juga pernah berada di masa intuisi yang muncul amat sangat kuat yaitu saat sekolah, mulai SD hingga SMA dan biasanya intuisi itu muncul dengan didahului sebuah mimpi. Sangat tidak nyaman ketika kamu tanpa sadar tahu apa yang akan terjadi kemudian meski kamu tidak ingin menebak itu. Intuisi ini juga berkaitan dengan bagaimana saya terhubung dengan orang-orang terdekat. Biasanya, kalau terjadi sesuatu semisal orang terdekat saya lagi sakit, sedang bad mood atau mengalami hal buruk maupun hal menyenangkan, saya seolah mampu menyerap energi mereka walau saya dan mereka berada dalam tempat berbeda atau terpisah oleh jarak. Saya pikir, soal ini, pasti setiap orang juga memiliki kemampuan berfirasat, cuman beda kadarnya saja.

Ketiga, saya orang yang dominan feeling, hahaha, masa sih? Gampang baper dong yak :p. Tapi saya akui saya memang orang yang mudah tersentuh, sensitif banget apalagi kalau nonton film atau membaca buku yang bertema sedih, uaah udah bisa dipastikan air mata saya meleleh. Begitu pula saat membuat keputusan, kadang sih pakai logika tapi seringnya pakai perasaan. Maksudnya memutuskan pakai perasaan tuh gimana ya? Eung, jadi seperti ini... terkadang ada hal-hal yang tidak bisa diputuskan hanya dengan mengandalkan nalar atau logika. Saya pun termasuk orang yang penuh pertimbangan. Itulah kenapa saya cenderung sedikit lamban dalam memutuskan sesuatu terlebih jika itu adalah hal yang amat sangat penting. Noted it, sangat penting. Jika saya mengalami masalah yang melibatkan orang lain, maka saya terkadang cenderung memikirkan pula perasaan orang tersebut, apakah keputusan ini akan berat sebelah, akan menyakitinya atau tidak. Saya juga lebih tertarik untuk menyelami dan sok kepo mau tahu gimana sih pola pikir dan perasaan orang lain mengenai sesuatu dan bagaimana sih biar saya bisa melakukan sesuatu yang sekiranya akan memotivasi atau menginspirasi perasaan orang lain.

Tapi, kalau datang ndableknya, saya sih bakal keras kepala, tidak peduli akan berpengaruh seperti apa kepada orang lain, cuman hal ini sangat jarang terjadi. Biasanya saya memang akan mempertimbangkan banyak hal sebelum memutuskan (berkaitan dengan hubungan dengan lingkungan sosial ya). Eung, mungkin karena saya tipe orang yang tidak menyukai keributan, sehingga kedamaian adalah target yang sering saya ingin capai. Jika keributan yang terjadi di luar (bukan yang terjadi pada saya) membesar di luar kendali, saya biasanya akan diam atau bisa saja menjauh. Jika tidak bisa diselesaikan dengan baik-baik atau orang lain menolak berkompromi dengan saya maka saya akan bersikap diam dan menjauh. Hemat saya, daripada saya menghabiskan tenaga untuk meladeni keributan dan hal-hal bersifat negatif, lebih baik energinya saya keep untuk kepentingan lainnya. Jadi, saya juga malas meladeni orang-orang yang menyebarkan aura negatif untuk saya, apalagi kalau saya diserang, heuumm.... saya mungkin bisa saja memaafkan tapi untuk kembali memintal hubungan maybe, I don't want

Jadi, yaaa... proses "merasa" saya bakalan terlihat lebih kenceng daripada proses berpikir dengan hanya berdasarkan fakta-fakta objektif. I mean, kadang apa yang tampak oleh mata tidak selalu sesuai seperti yang tampak, dan melihat sesuatu yang sifatnya "tidak kasat mata" juga menjadi salah satu opsi penting bagi saya. Ini mah perempuan banget yak, yang dominan pakai perasaan, wkwkwk... I love being a woman, :p...



Selanjutnya untuk persoalan kerja, perencanaan dan membuat keputusan (yang sifatnya menyangkut pekerjaan), saya tergolong orang yang lebih banyak judging. Eh, judging di sini maksudnya bukan menghakimi loh ya. Judging di sini dijabarkan sebagai seseorang yang organized. Yap, ini mah gue banget. Orang tipe judging adalah mereka yang sebenarnya kurang luwes alias kaku, cenderung mengikuti prosedur, pola sikap yang ditunjukkan pun teratur. Setiap hendak melakukan sesuatu, semua harus serba terencana dan diatur dengan sejelas dan sedetail-detailnya. Tidak jarang sih, saya sering membuat catatan-catatan sendiri saat sedang banyak tugas yang harus dikerjakan. Biasanya, saya kelompokkan mulai dari yang high priorities sampai yang low priorities. Kabar buruknya, entah ini buruk atau gimana, tapi tipe judging ini agak kesulitan untuk mengerjakan lebih dari satu pekerjaan dalam waktu bersamaan. Kalau saya pribadi, untuk pekerjaan sehari-hari semisal pekerjaan rumah tangga yaitu menyapu, mengepel, mencuci pakaian, memasak, masih bisa saya lakukan secara bersamaan dalam satu waktu, misal jam sekian, saya bisa menggoreng sambil menyapu, jadi menunggu gorengan sambil nyapu-nyapu sebentar, hahaha absurd. Tapi untuk pekerjaan yang serius, misal ngerjain tugas, menulis atau tugas dari tempat kerja, saya adalah tipe yang harus diselesaikan satu persatu. Saya lebih prefer menyelesaikan satu pekerjaan tapi hasilnya bisa lebih mendalam daripada mengerjakan dua tugas secara bersamaan namun hasilnya kurang rinci. Itulah kenapa orang tipe judging ini cukup perfeksionis, maunya menyelesaikan sesuatu dengan "sempurna". Sempurna dalam artian bagus, unik, orisinil, kreatif, sistematis dan berbasis kebaruan.

Keempat, saya adalah orang yang assertive. Asertif? Yap, saya lebih suka menyatakan atau menjelaskan sesuatu dengan jujur apa adanya sesuai dengan apa yang saya pikirkan dan rasakan. Inilah yang sempat menjadi pertentangan dengan teman-teman saya. Karena saya terkadang bisa menjadi orang yang "terlalu jujur" menurut mereka sehingga mereka melihat hal itu sebagai kelemahan saya dan kurang menerima asertivitas saya. Tapi, ada tapinya nih, saya baru akan asertif hanya pada orang-orang yang dekat dengan saya. Saya ini sebenarnya orang yang tidak mudah mengekspresikan sesuatu di depan orang asing, saya juga mudah merasa "sakit" tapi terkadang ada momen dimana saya sulit mengungkapkannya, kecuali kalau saya sudah tidak tahan lagi, saya pasti akan berterus terang, daripada saya empet lama-lama jadi bom atom, mending saya utarakan, namun tentu saja menunggu beberapa waktu dulu sih.

Berikut ini saya tampilkan beberapa capture penjelasan dari tes tadi ya.

Ini Strengthness-nya tipe INFJ







-----------------
Ini Weaknessesnya





---------------------

Ini Tentang Gimana INFJ Membangun Romantic Relationship


Soal ini saya konfirmasi sedikit :p... Saya juga tidak expect kalau hasilnya akan seperti ini sih dari tesnya, tapi memang lebih banyak sesuainya dengan diri saya. Jadi, INFJ adalah seseorang yang akan membina hubungan serius jika itu dalam ranah romantic relationship. Keseriusan saya hanya orang lain sih yang bisa menilai. Hubungan yang serius itu adalah hubungan yang meaningful dan mendalam. INFJ tidak suka jika ada seseorang yang mendekatinya hanya just for fun atau hanya sekadar penasaran dengan who they are. Ketika membina hubungan pun, INFJ lebih dominan mengupayakan dan memberikan sesuatu yang jauh di luar hal-hal fisik yang receh, melainkan lebih suka memberikan/mengupayakan hal-hal yang bisa menentramkan pasangan secara emosional dan melihat pada gimana sih makna dari hubungan tersebut, berusaha menjadi partner yang passionate untuk pasangan dan lebih mengharapkan hubungan tersebut dapat terus dibina sampai ke masa depan.

Dan, pasangan yang INFJ cari adalah seseorang yang bisa satu frekuensi dengannya. Saya pribadi tertarik dengan seseorang yang di awal tampak misterius namun lama-kelamaan bisa terkoneksi dan terbuka seiring berjalannya waktu. Sebab, saya orang yang cukup sulit untuk menyatu dengan pikiran dan perasaan lawan jenis. Saat diajak ngobrol atau pedekate pun, saya juga tidak semudah itu untuk connect. Apalagi kalau misal ada lawan jenis yang saat baru pertama kali kenal dia sudah menunjukkan tanda-tanda yang sama sekali tidak bisa nyambung atau sok sok nyambungin padahal ada sesuatu yang menurut penilaian saya orang tersebut nggak banget lah pokoknya, maka saya memilih untuk cut off them. Jadi kalau ada yang bisa connect dengan saya, mungkin he is the one.

Selain itu, kalau sudah beneran cinta, INFJ cenderung sangat perhatian. Terkadang INFJ juga mencari sesuatu yang baru untuk dibagi ke pasangan atau untuk sekadar menyenangkannya. Ini benar sih, saya banget mah. Ets, tapi, buruknya, kalau saya sedang dilanda kesibukan, saya sering autis dan itulah yang bisa membuat pasangan saya kesal karena saya hilang tiba-tiba, tidak ada kabar, padahal tidak bermaksud menghilang sih. Sebaliknya, kalau pasangan saya yang hilang atau minimal ketika saya menghubungi tapi tidak dibalas, saya masih bisa mentolerir sih, tapi kalau tidak dibalasnya lama kadang jadi bad mood, bingung, sudah berpikir ngalor-ngidul mengira kalau pasangan saya tidak berminat untuk berkomunikasi atau mungkin sedang tidak ingin diganggu atau mungkin lagi bad mood juga tapi tidak mau bilang pada saya.

INFJ juga tidak suka ketika pasangan berbuat curang, entah itu dalam bentuk berbohong atau memanipulasi. Ini pun benar adanya. Dengan intuisi yang saya miliki, saya sering bisa mendeteksi apakah seseorang itu berbohong atau tidak. Kalau sudah berbohong, saya tidak bisa terima sih dibohongi, kecuali jika dia minta maaf dan tidak mengulanginya, saya akan lebih mudah dinego. Sebaliknya, saya lebih suka kalau pasangan bisa jujur, meskipun hal itu mungkin menyakitkan sih, tapi kalau mau jujur dan bisa mempertanggungjawabkan apa yang dia katakan dan lakukan, ya saya akan sangat menghargainya. Jadi, kesimpulannya, hal terpenting bagi INFJ dalam mencari pasangan itu adalah keseriusan, komitmen, sincerity, genuine dan trying to become one with their partner in mind, body and soul. Romantis banget kan saya :D .... haha iya sih, saya lebih tampak romantis daripada pasangan saya.










Ada yang sudah tes juga? Kalau kalian termasuk tipe pribadi apa?


Sumber capture: 16personalities.com


KEEP YOUR REAL INNER CIRCLE SMALL

Saya terinsipirasi menulis tentang tema ini karena pernah mengalami hal-hal kurang menyenangkan dalam hubungan pertemanan. I don't mean to hurt people's heart dengan saya menuliskan ini, tapi saya belajar untuk jujur pada diri sendiri. So, now, it is time to change my circle. Perubahan yang saya maksud bukan dalam artian saya membenci sebagian lalu menyukai sebagian lainnya. Perubahan tersebut terjadi sebagaimana adanya, berjalan secara alamiah seiring telah semakin banyaknya pengalaman yang saya lalui.

----------------------------


From aminoapps.com

Jika kalian pernah membaca Secangkir Kopi Bully, kalian sudah pasti tahu bahwa saya pernah menjadi korban bullying sejak TK hingga SMA. Belum lagi saat kuliah pun, saya pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan mengenai pertemanan. Meskipun semua sudah diakhiri secara baik-baik, tapi bukan berarti luka "sobek" yang sempat tergores lantas sembuh dengan sendirinya. Saya memaafkan tapi saya tetap ingat dan I'm very sorry if I have to say goodbye to some people who ever attack behind my back. Goodbye yang saya maksud bukan berarti saya benar-benar tidak mau menegur, hanya saja orang-orang yang saya beri goodbye adalah mereka yang sudah tidak lagi saya jadikan tempat curhat. Hemat saya, untuk apa membuang waktu dengan orang-orang yang hanya mendambakan kelebihan serta kesempurnaan dari orang lain sementara mereka tidak bisa menerima kekurangan pun ketika terjadi sebuah masalah, hanya bisa menyalahkan orang lain, tidak bisa berkaca pada diri sendiri juga dan tak punya inisiatif untuk menyelesaikan dengan baik malah mendendam atau hanya diam membisu. Jadi, beruntunglah orang-orang yang masih saya percayai sebagai partner curhat dan berbagi, sekalipun mungkin ada di antara teman-teman saya yang "nakal" namun karena saya percaya mereka tidak akan menusuk saya dari belakang, mereka tetap aman berada di dalam lingkaran saya.

Siapa sih yang tidak "terluka" ketika dibully di "belakang" apalagi itu disebarkan di media sosial. Orang-orang yang tadinya tidak tahu sama sekali dan tidak kenal sama sekali, namun dengan adanya omongan menyakitkan itu akhirnya orang-orang asing pun jadi semakin mengkompori hal yang seharusnya tidak penting untuk dibahas. Dengan begitu, otomatis, tingkat toleransi saya terhadap mereka yang hanya berani dari belakang semakin dan semakin rendah.

Belum lama ini saya juga mulai mengurangi akun sosmed saya, pelan tapi pasti. Ya, hal ini sempat mengundang tanda tanya besar dan kesalahpahaman di antara orang-orang kesayangan saya. Pernah saya memutuskan untuk pelan-pelan menghilang dari akun Path. Saat itu, Path saya memang benar-benar sedang trouble, kemudian beberapa waktu berikutnya, saya log out dan lupa password. Si abang (saya sebut si abang aja ya biar lebih greget penasarannya hehe, dan saya yakin, pasti dia pernah stalk blog ini) kemudian saya minta untuk mem-follow akun baru saya tapi agaknya enggan. Ya, saya yakin kalau si abang pun jadi salah paham dan dipikirnya saya meng-unfollow dia saja, padahal Path saya memang trouble tapi si abang tidak suka jika saya menjelaskan. Well, saya pun putuskan untuk meng-uninstall Path dari android. Bukan karena si abang, tapi karena di Path itu juga pernah saya mendapati status dari seseorang yang amat sangat menyakiti, menyakiti saya dan menyakiti si abang. Saya yakin si abang masih punya akun Path sampai sekarang, ya mungkin saja, tapi tak masalah. Saya hanya menjauh dari teman-teman yang sudah menularkan hawa negatif untuk saya dan karena saya bukanlah orang yang "betah" berlama-lama membaca postingan buruk dari mereka.

Baru-baru inipun saya akhirnya menghapus akun Facebook saya secara permanen. Why? Si abang sempat bertanya, apakah ada hal-hal aneh lagi? Jujur, sudah tidak ada lagi sih. Hanya saja saya gerah. Sangat gerah dengan Facebook yang isinya sudah semakin sumpek, crowded dan yeah, terlalu banyak orang yang meng-add saya, bukannya saya malah senang, saya malah bisa frustrasi. Kenapa begitu? Kalau orang yang tahu pribadi saya seperti apa, mereka sudah pasti understood. Saya sejak dulu adalah orang yang kurang suka dengan situasi crowded. Kalau disuruh milih, mending saya pergi ke suatu tempat yang tenang dimana tidak banyak orang di tempat itu dan tidak membuat sesak dengan banyaknya mulut yang cas cis cus sana-sini. Eman banget karena di Facebook, saya juga punya akun Fanbase pembaca buku. Hampir semua pembaca saya mengontak melalui Facebook. Bahkan saya juga sempat mendapati ada puluhan, entah berapa puluh message di Facebook dari pembaca yang tidak pernah saya read dan baru saya baca menjelang penghapusan Facebook tersebut. Ya, tidak masalah, toh mereka juga sudah tahu email saya dan mereka masih bisa menghubungi saya via email atau Hangout Google+ jadi bisa chit chat di situ.

Kalau ditanya, sekarang saya punya berapa akun sosmed. Yang benar-benar up to date hanya 2 yaitu Instagram dan of course Whatsapp, sedangkan Line dan Twitter masih ada cuma amat jarang saya buka. Tadinya, jujur saja saya katakan ini, awalnya Instagram hanya saya peruntukkan bagi teman-teman lama, except teman-teman S2. Kenapa? Karena saya sudah menghapus Facebook dan saya mau Instagram isinya tidak beda jauh dengan FB yang mayoritas dipenuhi oleh teman-teman lama, tentu saja teman-teman semasa sekolah ketika masih di Parepare. Di antara mereka pun, ada dua sahabat "kental" saya. Namun, karena satu dan lain hal, saya kembali membuka Instagram saya untuk umum. Saya memutuskan untuk sesekali berbagi informasi seputar psikologi bukan hanya di blog ini tapi juga di sosmed, dan sosmed paling pas untuk tempat sharing ilmu adalah Instagram karena masih bisa menampung tulisan yang panjang, hehe. Jadi, saya buka kembali untuk umum. Namun, memang, dulu saya sempat menghapus semua teman-teman S2 saya dari Instagram dan beberapa teman lainnya.

Selain itu, ada lagi satu hal yang agak mengganggu saya. Saya tidak mungkin menyatakannya secara langsung kepada orang-orang yang saya maksud. Ya, maafkan saya kalau saya seperti ini. Tidak ada maksud, hanya saja saya merasa terganggu. Saya hanya akan memberikan kontak Whatsapp saya untuk orang-orang yang memang pernah masuk dalam lingkaran relationship saya antara lain keluarga tentu saja, kemudian beberapa teman sekolah, teman kuliah strata satu, dosen dan pihak-pihak yang kedudukannya penting, beberapa teman strata dua dan para klien (yang pernah/ingin konseling). Jadi, bila ada teman yang tidak terlalu dekat dengan saya meski pernah kenalan atau pernah berhubungan karena suatu keperluan atau bahkan orang asing yang sama sekali tidak pernah mengenal apalagi bertegur sapa dengan saya, saya kurang suka bila mereka tahu nomor hape saya kemudian sok kenal sok dekat mengontak saya. Lebih lebih lagi jika mereka terus mengirimkan chat. Biasanya, saya akan diam dan men-silent notifikasi yang masuk dari orang-orang yang tidak akrab dengan saya. Kalaupun akhirnya saya memberikan kontak kepada teman atau orang yang dulunya atau sekarang tidak begitu akrab dengan saya atau hanya sekadar teman biasa, saya mohon untuk tidak men-chat dengan aksen seolah ingin bersikap akrab pada saya. Saya mulai tidak bisa sesupel dulu dan mulai tidak lagi seterbiasa itu. Kalaupun saya ikut merespon dengan tawa, ya itu saya lakukan sebagai usaha untuk menghargai lawan bicara. Meski saya tak kenal dan meski saya tampak kurang nyaman tapi saya masih berusaha untuk santun. 

Dan, saya bukanlah orang yang 24 jam standby di sosmed, aktif online terus. Jadi, saya juga kurang nyaman jika ada teman yang tidak begitu akrab menelepon saya via akun sosmed ataupun menelepon via telepon seperti biasa. Saya biasanya akan menolak secara halus. Please, karena saya sudah merasa memahami keperluan mereka jadi setidaknya mereka juga harus mengerti dengan batasan privasi saya. Hahaha, si abang saja sejak sibuk bekerja sangat jarang menelepon, tidak masalah sih, saya paham karena pekerjaannya pun cukup berat. Mungkin juga saya jadi ketularan dia yang kadang malas ditelepon. Bukan malas saat dia yang menelepon loh ya, tapi malas menerima telepon dari orang yang tidak dekat dengan saya. Pernah suatu ketika saya menelepon si abang secara impulsfif karena terjadi kesalahpahaman antara kami. Dia bilang bahwa dia malas dan kalau tidak terjadi apa-apa atau jika memang tidak terjadi suatu masalah yang benar-benar membutuhkan concern untuk dibahas berdua, dia cenderung tidak menelepon. Saya jadi terbiasa dengan ritmenya dan menerapkannya pula untuk orang lain. 

Ya, despite that, saya terus terang rindu dengan si abang. Semakin kecil lingkar relationship dengan orang-orang, saya pun jadi lebih intens menghubungi si abang. Dia menjadi satu-satunya inner circle yang lebih prefer saya hubungi duluan daripada lainnya. Kalau hilang tidak ada kabar, kadang jadi sebel sendiri, rindu-rindu sendiri, bingung sendiri. Rindu karena meskipun setiap hari komunikasi di Whatsapp, tapi kami pun jarang komunikasi via telepon. Akhirnya, saya manut saja. Ya, pikir saya, kalau dia memang mau telepon, saya pasti akan menyambut dengan senang hati, tapi kalau lagi malas telepon karena baginya tidak ada yang urgent banget ya tidak masalah bagi saya. Komunikasi via apapun itu, saya terima. Satu aja sih yang berusaha saya jaga, untuk commit memberi kabar. Kadang, kalau saya benar-benar sibuk, saya jadi amnesia sendiri. Saya masih seperti itu dan masih berusaha untuk beradaptasi. Kalau saya pribadi benar-benar sibuk harus wira-wiri ke mana-mana, mengurusi banyak hal, biasanya saya cenderung menelantarkan hape dalam waktu yang bisa sebentar, bisa juga lama. Seperti halnya dua hari sebelum wisuda, ada banyak kendala saat mengurus administrasi dan perlengkapan di kampus. Sampai akhirnya, saya lupa mengabarinya dan dia pun menghubungi saya sambil kesel gitu. Saya memang sibuk dan hape sempat saya non aktifkan lama. Malam ramah tamah baru saya aktifkan. Dia agak kesal dan terjadilah kesalahpahaman lagi. Sungguh tidak ada maksud untuk tidak mengabari. Hanya saja, saya sering autis sendiri. Maaf ya mijn, aku nggak maksud untuk menghilang kok, aku masih belajar untuk nggak tiba-tiba autis saat sibuk. Kami sebenarnya punya kemiripan sih saat sibuk. Dia, kalau sibuk biasanya akan lebih banyak diam dan ketika di-chat misalnya, hanya di-read dan baru akan dibalas beberapa waktu kemudian. Saya pun sering seperti itu, bahkan lebih parah lagi mungkin dengan menelantarkan hape. Lah kok jadi curcol... :D .... back to the topic...


Yap, meksipun lingkar pertemanan menjadi semakin kecil dan sempit seiring bertambahnya usia, namun saya yakin kualitas pertemanan akan lebih meningkat. Punya banyak link dan teman itu bagus sih, tapi bukan berarti tidak menjadi selektif. Kalau dibilang pemilih, akhirnya, saya berkata yes. Saya memilih hanya orang-orang yang satu frekuensi dengan saya dan bisa memahami satu sama lain. Bukan orang yang bagus dan nyata di depan namun fake di belakang. Yah, say goodbye deh buat orang-orang yang berteman karena punya maksud yang tidak baik atau yang hanya ingin memanfaatkanmu, persis seperti lagu di bawah ini...

Satu lirik lagu unik lagi yang berjudul Panjat Sosial, begini bunyinya...

Hati-hati jaman sekarang
Banyak orang berteman punya maksud tujuan
Mengumbar kedekatan dapetin keuntungan
Abis manis lo dibuang

-----------
Kalaupun ada teman yang awalnya akrab karena suatu keperluan/urusan dan pernah saya jadikan tempat curhat, namun jika mereka tidak open-minded dan tidak satu frekuensi dalam beberapa hal dengan saya, maka mereka tetap bukanlah termasuk dalam inner circle saya. Mereka teman tapi hanya sebatas itu. Teman cerita maybe, tapi tidak untuk menceritakan hal-hal yang sangat privasi.

Literally, saya pun come back ke teman-teman yang membuat saya benar-benar nyaman, yang mana dengan mereka saya tak perlu berubah menjadi orang lain, tetap jadi diri sendiri. Tidak perlu berpura-pura ketika bersama mereka. Mereka yang mau bareng dan tetap ingat kala susah maupun senang dan pastinya mereka tidak berganti rupa di belakang. Jadi, saat ada masalah, bisa terang-terangan, jujur-jujuran walau menyakitkan, habis itu balik lagi deh, tidak bisa pisah, marahnya hilang, keselnya hilang, itu karena mereka sudah melebur dengan saya, saya pun begitu sudah melebur dengan jiwa mereka, kami sudah satu frekuensi, satu radar.

Soal ini, saya jadi tersentuh mendengar sebuah lagu via Radio ketika menuliskan ini. Saya kurang tahu judulnya apa dan siapa penyanyinya. Liriknya begini...

Ku ini penyendiri
Yang tak butuh keramaian
Yang kubutuh satu teman
Tempat berbagi cerita
....

Cuman butuh the special one, tempat berbagi semuanya, termasuk berbagi kehidupan hehehe and this is you,  my superman.