Pages

MISI BUKU UNTUK CALON PSIKOLOG

Tadi siang, saya sama salah satu sahabat lagi chat di BBM. Moon, begitu deh saya manggil dia. Saya nanya-nanya ke dia mengenai ide saya untuk buku kelima. Euumm memang udah lama banget saya simpan tapi belum nemu prolog untuk memulai.

Ketika saya menyampaikan ide ini pada Moon, eeh..nggak tahunya kemaren dia sempat kepikiran juga mengenai tema serupa. Waah tampaknya saya dan Moon sehati dan sepemikiran.

Jadi, saya itu pengeeeeeen banget bikin buku kayak konsepnya Bang Ferdiriva Hamzah. Bedanya, saya mau bikin untuk calon psikolog atau yang mau kuliah di psikologi. Ini juga udah lama terinspirasi dari banyaknya komentar yang saya peroleh di link cerita saya mengenai nasib para alumni psikologi. Belum lagi banyak juga anak-anak SMA yang pada ngirim email nanya tentang psikologi. Ada juga yang ngalamin nasib buruk di mana pilihannya untuk masuk psikologi justru dianggap remeh sama temennya.

Dalam proses penulisannya nanti, saya pastinya harus menyusun misi. Apakah misi yang akan saya lakukan? Saya akan coba mengontak beberapa teman yang murni kuliah di psikologi. Bukan cuman di 1 kampus, tapi di universitas lain. Saya berharap bisa ada perwakilan dari beberapa universitas di Indonesia. Ini semacam riset atau survey pendapat+pengalaman gitu kali ya. Saya juga mau survey ke temen-temen yang pure ngambil jurusan magister profesi psikologi dan yang bekerja di bidang psikologi. Untuk mereka yang basicly psikologi tapi justru nggak terjun dalam lapangan pekerjaan yang berkaitan murni dengan psikologi, itu saya skip, mungkin hanya saya pakai untuk pembeda aja, eumm semacam alasan mengapa mereka malah nyasar ke bidang kerja non psikologi pada akhirnya.


InsyaAllah, dalam buku ini, saya pengen bahas biar orang-orang awam paham kalau psikolog itu bukan peramal. Soalnya masih banyak juga para pengirim email yang sering nge-judge psikolog itu bisa baca pikiran bahkan dari jarak jauh. Ou em ji.. No! Psikologi itu adalah science. Untuk dapat menilai dan memahami karakter seseorang, semua pakai ilmu dan dijelaskan secara ilmiah. Jadi, nggak ada tuh kalimat perdukunan di sini ya. Trus, saya juga pengen, dari buku ini nanti, setidaknya bisa ngasih support buat temen-temen yang udah stay anteng di psikologi tapi bingung is it their passion, isn't it? Atau mereka milih psikologi justru karena keterpaksaan atau kenapa. Jadi, dari niat awal itu, setidaknya mereka nanti bisa punya gambaran mau dibawa ke manakah nasib dan jejak langkah mereka? Trus, saya juga mo ngasih tahu melalui buku itu bahwa untuk menjadi psikolog yang punya kewenangan buka praktek konseling harus punya beberapa basic lagi dan tentunya wajib ngelanjutin pendidikan yang linier. Linier di sini bukan Sains psikologi tapi yang lulus S1 psikologi dan ngambil S2 Profesi psikologi. Okey, jadi mau ngejelasin gitu bedanya yang ngambil Sains psikologi sama yang Profesi dan yang ngambil S2 Sains tapi bukan berasal dari S1 psikologi.
Trus, masih banyak. Nanti akan ada ihwal apa saja yang harus dimiliki sebagai seorang calon psikolog biar bisa profesional. 

Sebagian besar isinya akan didominasi oleh pengalaman-pengalaman dari temen-temen yang udah saya survey nantinya. Euum...mohon doanya yaa semoga ada timing yang pas buat nyusun ini sampai selesai. Yang jelas, tahun ini mau nyoba kontak temen-temen dulu sama kenalan-kenalan yang ada di email dulu. Mudah-mudahan mereka bersedia ikut serta dalam survey ini. Biar lebih memudahkan, untuk awalnya, saya bakal kontak temen-temen sekampus dulu. Lumayan banyaak kan tuh dari kelas A sampai F bahkan sampai kelas G sekarang. Nanti selebihnya mau nyari sampel dari universitas lain. Mudah-mudahan dapet yaa.

Euum...atau...mungkin ada yang baca ini sekarang dan berminat nyeritain pengalamannya selama kuliah di psikologi? Monggo pinarak aja ya, langsung email ke emmakim28@gmail.com.

Buku ini udah lama banget saya impikan. Paling nggak tujuannya sebagai sarana sosialisasi aja bagi yang mau daftar masuk ke psikologi atau yang tertarik sama psikologi. Sama aja sih sebenernya sama jurusan lain, tapi ada hal yang menjadi alasan kenapa saat-saat tertentu belajar psikologi itu terasa berat, melelahkan tapi perjuangan itu terbayar dengan ilmu yang indah.

Eum, jika sempat, saya pengen masukin juga tentang psikologi Islam yang tahun-tahun ini sedang booming.

Wish me luck yaaa
Semoga kesampean nerbitin buku ini
Mudah-mudahan bisa nembus lagi di penerbit aamiin

GURU BAGI BUAH HATI

Hari ini karena lagi halangan, udah beberes-beres trus bosan mau ngapain. Akhirnya baca-baca aja. Meskipun dalam bentuk ebook, tapi saya udah baca berkali-kali. Niatnya sih bisa memetik ilmu sekaligus mudah-mudahan ada yang nancep gitu di hati dan pikiran biar kelak bisa mengamalkan.

Buku yang saya baca adalah Parenting Nabawiyah karya Ust. Budi Ashari, Lc (Host Khilafah Trans7). Salah satu bagian penting yang membuat saya tertarik untuk menulisnya adalah poin mengenai anak. Ini bagian yang udah pernah saya baca tapi saya lupa, jadi saya baca lagi dan baru saya ngeh. Saya baru menyadari apa yang saya baca ini secara kebetulan sama dengan salah satu misi rahasia yang pernah saya tulis.

Apakah misi saya itu? Salah satu misi saya ketika berkeluarga nanti adalah ingin menciptakan generasi cinta Al-Qur'an. Ini pas banget sama kisah Umar bin Abdul Aziz yang saya baca itu. Gini ceritanya....

Pada Jumat dini hari, sebelum masyarakat datang berkunjung, seperti biasa Umar bin Abdul Aziz mengumpulkan semua anaknya. Sekadar informasi, beliau itu punya empat istri dan anaknya berjumlah 17 orang. Duuh masyaallah sweet seventeen gitu ya jumlahnya hehe. Ketujuh belas anaknya itu pun berkumpul bersama Umar. Ada Ishaq, Ya'qub, Musa, Abdullah, Bakar, Ummu Amar, Ibrahim, Abdul Malik, Walid, Ashim, Abdullah, Abdul Aziz, Yazid, Zayyan, Aminah dan Ummu Abdullah. 

Setelah semuanya berkumpul, Umar pun memulai tadarrus Al-Qur'an. Dimulai dari anak tertua kemudian dilanjutkan oleh adik-adiknya. Jadi, semuanya membaca Al-Qur'an secara bergantian. Sementara itu, Umar menyimak bacaan Al-Qur'an dari anak-anaknya dengan khidmat, ta'dhim dan sungguh-sungguh.

Subhanallah ya punya ayah sekaligus suami seperti Umar bin Abdul Aziz. Udah tahu beliau kerjaannya banyak, agenda reformasinya dan kiprahnya dalam pemerintahan juga sangat banyak. Walaupun demikian, Umar selalu nyempatin waktu bagi anak-anaknya. Selain itu, walaupun Umar juga sudah memilihkan guru-guru terhebat untuk mengajarkan keilmuan atau apapun, beliau justru tetap merasa sangat perlu terjun langsung, menciptakan waktu berkualitas untuk mendidik serta melihat perkembangan keilmuan sang anak.

Kenapa saya mengelu-elukan sosok Umar dalam cerita ini? Saya pikir, sudah jelas jawabannya dari uraian di atas. Anak menuntut ilmu itu penting untuk kelangsungan hidupnya, agar anak bisa mandiri. Memasukkan anak ke lembaga pendidikan, baik itu sekolah negeri, swasta, homeschooling, pesantren atau lainnya itu juga penting. Tapi, peran orangtua juga nggak kalah penting. Orangtua kudu memantau apa saja yang dipelajari anak. Kalau perlu, contohilah Umar. Beliau bukan hanya sekadar mengajari tapi juga mendidik dengan tetap tidak melepaskan unsur-unsur ruhaniyah di dalamnya. Salah satunya dengan mengajarkan anak untuk membiasakan diri mengkaji Al-Qur'an, memberikan pemahaman atas apa yang dipelajari dan mengajak anak untuk mengamalkannya di kehidupan sehari-hari. Alangkah indah bukan bila anak-anak kita nggak cuma cerdas soal ilmu pengetahuan umum, melainkan juga dalam ilmu ruhaniyah. Biar gimanapun, Al-Qur'an itu adalah pedoman hidup yang seharusnya kita pelajari dan tanamkan sejak dini pada anak-anak.

Hebat nggak tuh kalau kita punya anak yang hafidz dan hafidzah. Walaupun misal orangtuanya cuman bisa hapal 1 Juz, anak-anaknya harus bisa lebih dari itu. Bukan cuman itu. Efek jangka panjang dari penanaman cinta Al-Qur'an pada anak ini masih banyak, terutama dari segi akhlak. Pasti pada ngiri kan pengen punya anak yang udah pandai ngaji, pelajari Al-Qur'an lebih mendalam trus mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari,. Betapa indahnya melihat akhlak-akhlak shalih/shalihah anak-anak kita yang konsisten mempelajari Al-Qur'an. Minimal anak bisa belajar doa untuk ibu bapaknya aja, maka itu bisa jadi modal tertolongnya orangtua dari azab api neraka berkat doa dari anak-anaknya yang shalih/shalihah.

Agar bisa mewujudkan generasi Qur'ani, sejatinya emang harus menciptakan nuansa Al-Qur'an dari lingkungan keluarga itu sendiri. Kalau mau punya anak cinta Al-Qur'an, baiknya ibu bapaknya harus demikian lebih dulu. Kalau ibu bapaknya nggak bisa baca Qur'an, gimana bisa ngajarin anaknya mengaji, gimana bisa maksimal menanamkan ajaran Qur'an pada anak. Sekalipun menyewa guru ngaji handal, bukankah masih lebih baik bila ortunya yang mengajarkan?

Eum kalau dari cerita Umar bin Abdul Aziz di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa Umar adalah sosok yang bisa teladani oleh para suami sekaligus ayah di dunia yang menginginkan generasi cinta Al-Qur'an. Udah bukan zamannya seorang suami atau ayah gengsi ngajarin anaknya sendiri. Kalau perlu, ayah harus lebih pinter daripada guru anaknya di sekolah.

Sebagai penutupnya, Abdullah bin Umar memberi pesan untuk kita, "Kamu harus bersama Al-Qur'an, pelajari Al-Qur'an itu dan ajari anak-anakmu, karena sesungguhnya kamu kelak akan ditanya tentang Al-Qur'anmu dan dengannya kamu akan mendapat pahala, dan cukuplah Al-Qur'an sebagai pemberi nasehat bagi orang yang berakal."

Gimana? Udah siapkah kita menjadi orangtua untuk anak-anak unggulan, generasi pencinta Al-Qur'an? Yuk, kita mulai dari diri sendiri dulu. Selagi masih single, perbanyak belajar Al-Qur'an. Kalaupun nggak bisa mentafsirkan, minimal pandai dan rajin ngaji juga baca dan serap terjemahannya dulu lah ya. Kalau sudah, pelan-pelan apa yang kita serap tadi, diamalkan dengan tulus dalam kehidupan sehari-hari. Bila perlu, sampaikan apa yang kita pelajari itu kepada orang lain. Sampaikanlah walau hanya satu ayat.

Bismillah, semoga kita bisa meneladani sosok Umar bin Abdul Aziz. Bisa menjadi calon orangtua/orangtua yang mampu menjadi guru terbaik bagi buah hati. Aamiin.

*Jujur.. nulis ini, hati jadi ngerasa ada yang ngetuk. Berkaca lagi, perbaiki diri lagi, belajar lebih rajin dan lebih banyak lagi.

SMS ISENG

Ya Rabb...
Belakangan ini banyak sekali ujian menerpa.
Ujian hati

Desember lalu, saya mengirimkan sebuah paket hadiah GA. Satu paket alhamdulillah sampai. Tapi, sesampainya paket tersebut, ada kisah kurang menyenangkan di baliknya.

Yang menerima paket itu ternyata bukan si empunya hadiah. Karena si pemenang maunya dikirim lewat kantor, jadi saya turutin saja. Saat sampai, yang menerima rupanya seorang yang tidak saya kenal. Nomor telepon saya tercantum di kertas alamat tersebut dan dia mengirimkan sms pada saya. Dari kalimatnya, saya pikir itu saudara dari si pemenang, tapi bukan. Orang tersebut mengaku laki-laki dan berterima kasih atas kiriman paket itu lalu....

Sebentar. Pikir saya, ngapain juga dia berterima kasih sedangkan tidak punya hajat apapun dengan saya? Kembali saya telusuri sms-nya. Di akhir kalimat, ketahuan belangnya. Dia menyebutkan namanya dan tiba-tiba minta data saya. Nah loh maksudnya?? Bukankah sudah bisa dikatakan bahwa orang tersebut "tidak baik niatnya"?

Ya Rabb, nggak pernah saya belajar untuk su'udzan sama orang lain. Tapi, ada kalanya saya harus tetap waspada. Terlebih lagi pada pria.

Ahh lanjut. Saat itu saya langsung mengirim message kepada si empunya hadiah. Saya mengadukan rasa ketidaknyamanan it padanya. Berharap si empunya setidaknya bisa berbicara dengan baik ke orang tersebut. Setelah saya tanya juga, laki-laki yang tadinya mengaku staf salah satu radio, sebenarnya bukan staf kantor tapi seorang security. Poin kedua adalah kebohongan, bukan? Lengkap sudah intuisi saya benar bahwa ada yang tidak beres.

Hari demi hari berlalu. Rupanya laki-laki tadi terus saja mengganggu. Missed call berkali-kali. Gegara hal itu, saya terpaksa tidak mengaktifkan handphone simpati saya beberapa hari, bahkan mungkin ada seminggu tidak aktif.

Belum menyerah, dia kirim sms lagi. Bilang salam kenal disertai missed call. Astaghfirullah. Tetap tidak saya balas.

HP saya matikan lagi untuk beberapa hari sampai akhirnya HP saya yang lawas itu nge-blank. Pas nyala selalu minta update tanggal dan jam, belum lagi SIM-nya tidak terbaca padahal SIM itu masih baik-baik saja.

Kalau saya ganti nomor ponsel lagi, tentu hal itu bukan solusi terbaik. Dari dulu, saya sering ganti nomor ponsel cuma karena banyak sms iseng seperti itu. Toh, ada lagi... ada lagi. Saya juga nggak tega mengganti nomor ponsel simpati saya karena sudah sayang banget sama nomor itu. Itulah nomor ponsel yang bertahan paling lama di antara yang pernah saya pakai.

Jadi, tidak ada pilihan lain selain diam dan cuek. Diam adalah cara terbaik menurut saya. Kalau saya merespon sms apalagi sampai mengangkat teleponnya, yang ada malah kekacauan. Bukannya saya jahat.. bukaaan! Saya nggak mau jadi makhluk PHP apalagi merespon PHP orang untuk saya. 

Saya juga nggak mau menyakiti hati orang lain. Memberi respon pada orang yang salah itu bagi saya sama saja dengan menyakiti orang lain. Saya nggak mau hal itu terjadi.

Setidaknya, itu juga nggak bikin saya resah gelisah. Bersikap cuek pada hal-hal genting yang tidak bermanfaat seperti itu, menurut saya baik. Toh masih banyak hal lain dan lebih penting daripada orang-orang iseng itu.

Hmm...
Terakhir, aku cuma mau bilang
Semoga mereka lekas terbuka hatinya untuk meraup kebaikan-kebaikan
Semoga mereka lekas terbuka pikirannya untuk tidak mengulangi perbuatan sia-sia itu
Semoga mereka bisa belajar refleksi diri, bagaimana kalau seandainya mereka ada dalam posisi saya? Nggak nyaman kan? Itu pasti
Semoga mereka habis ini dibukakan jalannya oleh Tuhan untuk melakukan hal-hal yang lebih krusial dan bermanfaat, bukan hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain

Aamiin.

SINYAL BAIK DARI LANGIT

Setelah sekian lama, akhirnya bisa ikut giveaway lagi. Alhamdulillah, tepat hari ini usia saya genap seperempat abad. Dua puluh lima tahun meeeen... tapi mencoba untuk nggak berasa tua hehe. Alhamdulillah sejak tadi pagi, banyak ucapan selamat diiringi doa dari sahabat-sahabat tercinta. 

Alhamdulillah, sebagian besar resolusi tahun lalu terwujud, salah satunya bisa nembusin naskah ke penerbit. Tahun ini, saya mempunyai beberapa impian sakral yang berharap dapat terwujud (se-ridhanya Allah mau kabulkan tahun ini atau tahun depan).

Impian pertama adalah menikah. Bukan karena alasan usia atau apapun. Tapi, insya Allah, saya ingin menikah lillahi ta'ala, ingin menggenapkan separuh agama saya dan beribadah lebih banyak lagi tentunya dengan sang suami. Kenapa ini menjadi list pertama? Sebab, ada cerita panjang, misterius dan masih menyisakan debaran hingga detik ini. 



Beberapa hal mendebarkan ini mungkin saja sinyal yang dikirimkan Allah dari langit. Pertama, alhamdulillah orangtua sudah membolehkan berkenalan dengan lawan jenis ke arah serius (tapi bukan pacaran). Ortu pun pernah bilang, kalau seandainya sang jodoh datang sebelum saya lulus dari bangku magister ini, insya Allah itu nggak akan jadi masalah dan beliau berdua merestui. Kedua, yang tadinya semua ikhtiar itu saya fokuskan demi menjemput jodoh, justru saya merasa ada satu hal yang nggak bisa saya jelaskan karena ini hanya bisa saya rasakan dari hati kecil saja. Apa itu? Mungkin ini semacam mendapat tetesan cinta dari-Nya. Bukan esensi alasan demi dapat jodoh lagi yang saya rasakan, melainkan saya sangat berharap lebih bisa mencintai dan dicintai oleh Allah. Dari perasaan abstrak nan indah melalui istikharah panjang ini, saya sering menemukan sinyal-sinyal baik. Mungkin saja ini sinyal ataukah ujian tapi saya berusaha berbaik sangka pada-Nya. Semoga ikhtiar perbaikan dan pemantasan diri ini bisa berujung pada karunia jodoh terbaik dari-Nya.


Langkah-langkah yang sudah saya lakukan alhamdulillah banyak. Antara lain belajar menata akhlak. Kalau tahun-tahun sebelumnya masih susah ngendaliin emosi (terlebih pada saat PMS), alhamdulillah tahun ini bisa sedikit demi sedikit mulai mengendalikan diri. Trus, kedua adalah hafalan Al-Qur'an. Jujur saja, masih stagnan di juz 30, itupun masih ada beberapa surat yang akan susah dihapal kalau nggak muraja'ah. Meskipun masih 1 juz, semoga bisa terus ingat dan kalau perlu, semoga bisa diamalkan aamiin. Ketiga, udah nyoba disiplin sama waktu, belajar masak, alhamdulillah udah ikhtiar merutinkan shalat tepat waktu, shalat sunnah, shalat malam, Dhuha, tilawah setiap hari dan lain-lainnya yang berhubungan dengan ketauhidan. Alhamdulillah sekarang juga lagi belajar ilmu-ilmu pernikahan, biar ada bekal ketika impian menikah ini terwujud. Terakhir, perbaiki halumminannas. Ini adalah ujian paling sulit. Kadang suka salah paham sama ortu soal hal sepele, tapi walaupun kita kadang ribut-ributan di rumah, itu juga nggak lama, nggak nyampe setengah hari udah baikan lagi. Tapi jujur aja, saya sayaaang banget sama orangtua dan adik-adik. Semoga ikhtiar ini bisa mengantarkan saya untuk dapat jodoh terbaik dari-Nya, aamiin.

Impian kedua adalah istiqamah. Istiqamah di sini dalam beberapa hal penting. Pertama, istiqamah dalam berjilbab (kalau bisa di rumah juga). Sejak ortu membuka toko sembako di rumah, saya jadi sering pakai jilbab di rumah. Kadang kalau di dalam rumah masih saya lepas tapi tetap pakai baju panjang dan baru saya pakai lagi ketika ada pembeli yang datang, terutama pembeli laki-laki. Mudah-mudahan setelah menikah nanti, saya bisa istiqamah berjilbab di dalam maupun di luar rumah. Kedua,  berharap semoga bisa istiqamah dengan dua passion saya: menjadi penulis dan psikolog. Semoga gelar profesi psikolog yang nanti saya peroleh (insya Allah lulus 2016 besok) bisa bermanfaat bagi saya, keluarga, agama, bangsa dan negara. Semoga saya juga bisa terus konsisten menulis dan melahirkan buku-buku yang lebih orisinil, lebih berkualitas dan lebih inspiratif/bermanfaat dari sebelum-sebelumnya. Karena tahun ini sangat padat sehingga mungkin saja belum sempat nulis draft buku kelimat. Jadi, insya Allah semoga 2016 besok bisa nulis buku lagi. Langkah-langkah untuk mewujudkannya banyaak sekali, di antaranya semakin merajinkan diri untuk membaca banyak hal, rajin nangkap inspirasi dan nangkap kesempatan (lowongan menulis) di sekitar dan rajin-rajin evaluasi dari setiap hasil karya yang udah ditulis.

Tentang istiqamah di atas, saya jadi ingat sama kata-kata penulis favorit saya, Paul Coelho berikut, "If what you are following is the path of your dreams, commit yourself to it. Don't leave the back door open with excuses: "This still is not quite what I wanted." Kata yang saya tebalkan itu menandakan bahwa ketika berani bermimpi dan sudah yakin berada di atas jalan menuju impian itu, maka kita pun harus berani berkomitmen. Komitmen dibutuhkan agar kita bisa memperbesar usaha untuk mewujudkannya. Komitmen juga dibutuhkan agar impian tersebut bukan hanya tinggal angan belaka.

Itulah dua deret impian saya untuk 2015 (dan nyerempet-nyerempet ke tahun-tahun berikutnya). 

Saya merasa dua impian inilah yang saya yakini sebagai suatu pertanda/sinyal baik dari langit. Semoga Allah mudahkan, ridhai dan lancarkan hingga hari di mana impian tersebut benar-benar datang menghampiri. Saya yakin, sekecil apapun ikhtiar yang dilakukan, Allah akan melihat dan membalasnya dengan hal yang lebih baik. Saya hanya meminta yang terbaik dari-Nya karena saya hanya manusia yang punya kacamata kekurangan. Jadi, jika ada beberapa hal yang saya minta namun Allah memberikan yang lain, itu pertanda, Allah Maha baik. Saya percaya. Dia terkadang memberikan sesuatu di luar dugaan kita bukan karena apa yang kita impikan itu tak baik. Justru, selalu ada hal yang lebih indah, yang tidak akan pernah kita duga dari kebaikan rezeki dari-Nya.




SAYANG

Mengenalmu adalah suatu hal yang lebih dari sekadar menakjubkan bagiku. Apakah kau percaya akan hal itu? Oke. Aku pikir, kamu sudah sangat percaya.

Aku tidak sedang merayu apalagi menggodamu. Tanpa merayumu, aku pun tahu kamu juga menginginkanku. Bukankah pernyataan ini benar adanya? Tentu saja. Kamu pasti mengangguk sekarang.

Bagiku, kamu sudah lebih dari segalanya. Layak untuk dicintai, disayangi, dicium dan dipeluk. Sepanjang hidup bersamamu, bukankah aku telah memberikan keempat hal itu padamu? Kamu juga tidak pernah menolaknya. Justru, kamu membalasnya lebih dari itu.

Sayang, sejak pertama bertemu, mata ini langsung tertuju padamu. Bukankah cinta juga terjadi dari energi yang tersalurkan melalui sebuah pandangan? Dari pandangan pertama saja, aku sudah jatuh hati. Apalagi ketika hati mantap memilihmu untuk menemani hidupku.



Tahun demi tahun berlalu. Banyak hal yang telah kulalui bersamamu. Awalnya, kamu tampak seperti vasopresin yang mengandung misteri. Auramu pun agresif namun halus. Efek vasopresin itulah yang membuatku selalu ingin aktif menjalin hubungan denganmu. 

Sayang, kamu pun ibarat alopregnenolon. Gelenyar hangat dari pesonamu sungguh luar biasa. Membuatku tak dapat berpaling ke lainnya. Membiusku hingga terbang menuju ke dalam mimpi indah. Bahagia diriku karena kamu mampu menentramkan suasana hatiku ketika kacau. Kamu pun mampu menetralisir setiap stres yang melandaku. Namun di sisi lain, kamu juga selalu membuatku sedih. Ketika orang lain lebih membutuhkanmu, entah mengapa aku rak rela membiarkanmu pergi bersama mereka. Kepergianmu barang sekejap mata, membuat hari-hariku diterpa kejengkelan. Persis seperti sindrom pramesntruasi yang kualami setiap bulan.

Sayang, apapun yang kamu berikan, aku selalu menerimanya dengan lapang hati. Baik burukku saja bisa kamu terima. Aku pun demikian. Tangis, tawa, bengis dan kecewa pun sudah kita lalui bersama. Ini belum seberapa. Ya, perjalanan kita masih panjang. Masih banyak puzzle-puzzle penting yang belum kita rasa dalam kebersamaan kita ke depan.

Sayang, tenanglah! Jangan berpikir, aku akan meninggalkanmu. Aku juga tak ingin berprasangka karena yakin kamu akan setia bersamaku. Bukankah kepercayaan dan kejujuran adalah pedoman yang selalu kita jaga? 

Agar hatimu tenang, aku akan sampaikan ini. Kamulah yang kumau. Kamulah yang paling kuharap datang kala kesepian melanda. Kamulah yang mampu membuat mataku terbuka. Hanya kamulah yang mampu mengenalkanku pada dunia. Bagaimana? Kau sudah percaya? Kuharap iya. Jadi, mulai sekarang, mari kita memperlama jadwal kencan kita. Dengan demikian, kita bisa saling mengetahui lebih intensif. Rasa cinta kita pun akan turut mendalam dan tak terpisahkan.

Sayang, aku ingin selalu bersamamu.

Bersamamu, aku merasa lebih hidup, wahai buku-buku tebalku sayang.

QUOTES: CINTA DAN JODOH



"Tuhan mungkin sedang menguji kita dengan menghadirkan seseorang yang tidak tepat. Mungkin saja dia memang jalan hidayahmu tapi belum tentu dia akan menjadi pendamping hidup dunia akhiratmu."

"Cinta itu ada dua: mengambil kesempatan sbg bukti keberanian atau melepaskan sbg wujud pengorbanan."

"Jodoh itu seperti sepatu, nggak mungkin sebelah kirinya sepatu balet tp kanannya boots. Nggak bakal ketuker."

SURAT UNTUK KAYLILA

FROM GOOGLE


Pagi ini temanya nulis fiksi berbentuk surat

-----
To: Kaylila

Assalamu'alaikum Kaylila
Apa kabar? Semoga kamu dalam keadaan sehat. Maaf bila aku sudah lancang mengirimkan surat ini padamu. Sebelum kamu marah, mohon bacalah ini sampai habis. Eum, tidak. Mungkin, surat ini tak akan pernah sampai kepadamu. Tapi, izinkan aku tetap menulisnya untukmu. 

Tahukah kamu, Kaylila? Ada sejumput rasa yang telah lama kugembok dalam jeruji hati terdalam. Rasa yang telah membuntuti jiwaku semenjak pertama kali bertemu denganmu. Oh ya, apa kamu masih ingat kapan kali pertama kita bertemu? Ah, mungkin kamu akan ingat tempat itu tapi tak akan pernah ingat padaku.

Setahun yang lalu, kita bertemu di sebuah seminar pra nikah. Saat itu, kamu terlihat sangat manis dengan gamis hijau pupus dan jilbab panjang kuning muda. Hampir saja pandanganku tak mampu lepas darimu. Aku takut bila setan membisikkan hasrat untuk menghampirimu. Semua kutahan, tentunya dengan dzikir panjang. Aku memutuskan untuk pindah ke kursi paling depan. Maksud hati agar aku bisa lebih fokus mengikuti seminar itu karena tujuanku datang bukanlah untuk memandangmu. 

Kaylila, selepas mengikuti seminar itu, aku tak mendapati sosokmu di antara gerombolan peserta foto bersama. Mungkin kamu sudah pulang lebih dulu. Atau, mungkin saja kamu mulai merasa gusar karena aku sempat memperhatikanmu saat kursi kita masih saling berseberangan di awal masuk ruang ber-AC itu. 

Kaylila, sejak saat itu, aku mulai mencari tahu tentang dirimu melalui media sosial. Aku menemukan satu akunmu. Sayangnya, kamu bukanlah tipe orang yang suka menulis status tiap hari. Berandamu itu kamu biarkan terisi oleh berderet-deret status share dari beberapa page muslimah. Dari situ, Tak ada yang bisa kutemukan sehingga aku berkesimpulan bahwa kamu adalah gadis misterius.

Astaga, maaf. Sedari tadi aku mengoceh tanpa memperkenalkan diri. Perkenalkan. Aku adalah seorang pengagum yang bersembunyi di balik media sosial. Seseorang yang memantau dirimu dari belahan bumi berbeda. Aku juga lebih mirip seperti seorang bocah dua belas tahun yang sedang memandangi mobil mainan robot terbaru favoritku di balik etalase toko. Aku sangat ingin membelinya namun sadar itu terlalu mahal bagiku. Kira-kira seperti itu pula yang kurasakan saat mengagumimu.

Entah mengapa, aku merasa sangat sulit mendekatimu. Seolah ada tameng yang berusaha membatasi langkahku. Apakah kamu sempat menyadari keberadaanku saat kita pertama bertemu? Ah, mungkin tidak. Mana mungkin? Kita saja tak pernah berbincang dalam seminar itu. Bagaimana mungkin kamu tahu apalagi merasakan keberadaanku.

Kaylila, kini aku telah kembali ke tanah perantauanku, Jerman. Sementara kamu ada di Indonesia. Aku menempuh kuliah magister kesehatan di sini. Di sini aku selalu tergerak untuk belajar lebih baik. Awalnya, aku berharap setelah lulus nanti, aku akan pulang ke Indonesia lalu mencari dan melamarmu. Tapi, rasa takut jauh melebihi harapanku. Sudikah kamu menerima diriku? Aku memang tak tahu bagaimana kriteria laki-laki atau suami idamanmu. Walaupun demikian, sedikitnya aku paham bahwa seorang muslimah sepertimu tentu menginginkan pendamping yang sekufu terutama dalam hal agama. Aku pun seorang muslim, tapi kurasa... pengetahuan agamamu jauh lebih banyak daripada yang kupunya. Aku bukan seorang berjanggut tipis yang setiap hari rajin mengikuti pengajian. Aku juga bukan pemuda yang suka memakai baju koko yang rajin i'tikaf di masjid. Selama di Jerman, tidak mudah langkahku untuk mengakses masjid. Sangat jauh dari universitas tempatku belajar. Apakah kamu akan menerima pemuda seperti itu?

Ya ampun, ocehanku sudah terlalu berbelit-belit. Baiklah, sekarang aku tak ingin memperpanjang tulisan ini. Aku sadar tak mungkin bisa dengan mudah memilikimu. Aku pernah membaca sebuah hadits. Kini kupaham bahwa aku sudah terlalu banyak membuang waktu memikirkanmu. Aku pun paham bahwa apa yang kusukai, belum tentu baik bagiku. Bukan maksudnya kamu tak baik bagiku. Tapi, bisa saja Tuhan tidak meridai perasaan ini terhadapmu. Oleh karena itu, aku selalu memohon pada Tuhan agar Dia memudahkan aku untuk melepasmu dari dasar hatiku. Aku juga memohon agar Tuhan membiarkanku melupakan semua tentangmu. Dengan begitu, aku bisa lebih fokus mencintai Tuhan. Jangan sampai, rasa cinta padamu melebihi cinta pada Tuhanku. Jangan pula, rindu ini melampaui kerinduanku pada-Nya.

Kaylila, sekarang setidaknya aku sudah cukup bahagia. Bahagia dengan mengagumi seperti ini. Biarkanlah rasa ini dipimpin oleh Sang Pemilik cinta hingga pada akhirnya berlabuh di dermaga yang tepat. Jika dermaga itu adalah dirimu, aku yakin Tuhan akan memberi kemudahan dan kemurahan-Nya. Jika tidak, aku akan tetap bahagia karena yakin Tuhan akan memberikan cinta yang jauh lebih baik daripada dirimu semata.

Salam kenal,

Pengagum rahasiamu

KAMU

Aku ingat jelas ketika kamu menangis di hari penyatuan cinta kita. Diam-diam, kelenjar mataku menitikkan airnya usai mengucapkan ijab qabul. Bahagia luar biasa, itu yang kurasa ketika berhasil duduk sebagai pendamping hidupmu. Kulihat semburat cerah di wajahmu. Kamu mengangsurkan dahi untuk kucium lembut saat kita duduk berdua di pelaminan. Kamu tersenyum. Walaupun tak secantik putri Indonesia, bagiku kamu tetap istri tercantik di hatiku. Saat kubisikkan kata-kata lembut, kamu merajuk. "Gombal," itu katamu sambil menjawil pipiku.

Sebulan setelah menikah, kita menjalani hubungan jarak jauh. Tidak lama, hanya dua bulan. Ah, itu juga terasa lama bagiku. Setiap hari di sela bimbingan skripsi, kamu selalu menyempatkan waktu untuk meneleponku. Kadang pula aku lebih dulu menyapamu via BBM. Hari demi hari, kucoba berpuasa demi menahan rindu tak terbendung ini. Aku rindu memelukmu, mencium keningmu, menjawil pipi putihmu dan mengganggumu ketika sedang mencuci piring.


Dua bulan kemudian, kamu pun telah menyelesaikan studi S1mu. Kupikir, kamu akan menerima tawaran kerja sebagai dosen di kampus tempatmu kuliah dulu. Akan tetapi, kamu justru memilih untuk menyusulku ke Malang. Sehari sebelum kedatanganmu, aku meneleponku. Aku sempat mengetes keteguhan hatimu. Kamu pun menjawab, "Ke mana pun suami pergi, istri harus mengikutinya." Kalimat itu terasa sangat manis. Persis sepert tahi kucing rasa cokelat. Itulah yang pernah kukatakan ketika aku mulai jatuh cinta padamu. Jatuh cinta yang baru benar-benar muncul ketika kita melewati bulan madu berdua.

Walaupun rumah yang kubeli ini tidak besar dan mewah, kamu tetap bersyukur. Kamu membersihkan setiap pagi usai shalat subuh. Setelah itu, kamu menyeterikakan kemeja dan celana untuk kupakai bekerja. Kamu juga menyiapkan sarapan untukku. Aku tak terbiasa langsung makan nasi jadi kamu menyiapkan dua lembar roti isi selai kacang kesukaanku tiap pagi. Aku juga tak suka kopi dan teh, jadi kamu membuatkanku satu jar kecil jus jeruk. Setelah aku selesai mandi, aroma wangi pun menguar lembut dari seluruh penjuru rumah tipe 36 ini. Itu tandanya kamu telah selesai menyulap rumah ini menjadi istana. 

Sebelum aku memulai sarapan, kamu juga sudah berdandan rapi dan cantik. Setiap pagi, kamu selalu bertanya gamis dan jilbab apa yang menurutku bagus untuk kamu pakai. Aku selalu menjawab dengan kata terserah. Kamu selalu protes bila aku hanya mengatakan itu. Tapi, ujung-ujungnya kamu memilih gamis dan jilbab sesuai seleramu sendiri. Bagiku, tak usahlah menanyakan hal sesepele itu karena apapun yang kamu pakai, kamu tetap terlihat cantik. Asalkan, kamu tidak menggunakan daster batik. Aku akan membolehkannya ketika tidur saja. Kamu baru boleh mengenakan daster atau piyama model apapun ketika tidur.

Ada hal yang lebih genting ingin kutumpahkan. Kita pernah kebingungan karena keuangan kita sedang di ujung tanduk. Padahal, itu belum akhir bulan. Aku merasa sangat tertekan ketika usaha restoran yang kubangun mulai dari nol, terlalap oleh api karena kecerobohan seorang koki. Itu adalah masa di mana Tuhan sedang memperingatkan kita agar berhati-hati menggunakan uang. Untunglah kita masih punya simpanan. Aku tak tahu seberapa mampu uang tersebut menopang hidup kita. Paling tidak, cukup sampai akhir bulan depan. Begitu harapku. Namun, masalah tak hanya berhenti sampai di situ. Aku harus membayar gaji 20 orang karyawan sementara sisa uang kas tak cukup mengimbanginya. Sungguh menyakitkan. Lebih dari setengah jumlah karyawan memutuskan untuk berhenti karena telah memperoleh pekerjaan baru. Mau tak mau, aku harus merelakan kepergian mereka. Sisanya, hanya empat orang yang bertahan dan bersedia membantu kita. Aku sungguh malu pada mereka. Entah terbuat dari apa hati mereka sehingga bersedia mengalihkan gaji mereka untuk membayar sisa gaji karyawan lain yang belum terlunaskan.

Sebagai konsekuensinya, aku pun tak bisa memberikan uang belanja lebih untukmu. Anehnya, kamu tak pernah mengeluh. Aku tahu bahwa rasa kecewa itu ada, tapi kamu tak pernah menampakkannya. Entah bagaimana caraku berterima kasih atas seluruh kebaikan itu. Kebaikan yang membuatmu bertahan di sampingku. Kebaikan yang menawarkan penawar bagi kegamangan dan kesedihanku. 

Sejak peristiwa itu, kita sering makan hanya dengan lauk tahu, tempe dan telur secara bergantian. Setiap hari, kamu hanya sanggup belanja tiga lauk itu. Hanya jenis sayurnya saja yang berbeda. Kamu pun mengolah tiga lauk itu dengan cara berbeda. Kadang digoreng pakai tepung, ditumis dengan sambal atau diorak-arik. Sesekali, kamu memakai uang tabunganmu untuk membeli ikan segar atau seperempat potong ayam. Itu kamu lakukan semata-mata agar aku tidak jenuh dengan masakanmu. Apapun yang kamu masak, aku selalu menghabiskannya. Aku tahu, kamu berjuang keras untuk membahagiakanku termasuk lewat apa yang kamu masak.

Hari-hari di mana roda hidup kita bergelinding ke bawah, aku membutuhkan energi ekstra. Waktu itu, aku selalu berangkat pagi, mencari dan melamar pekerjaan ke mana saja. Ah, sungguh itu bukan kemauanku. Aku tak suka menjadi seorang karyawan. Aku tak bisa bekerja di bawah aturan orang lain. Tapi, untuk kali ini saja aku harus mengalahkan egoku. Aku punya kamu. Aku teringat akan kesusahan demi kesusahan yang kamu rasakan tiap hari. Kamu pernah bilang bahwa aku tak boleh patah semangat. Kamu selalu mendoakan agar kondisi kita pulih dan aku bisa kembali membangun usaha restoran seperti yang selama ini menjadi passionku. Dengan begitu, kamu tak perlu lagi mengikhlaskan tabungan pribadimu untuk kepentingan dapur. Kamu pun juga tak perlu lagi pusing melakukan diet ketat karena aku tak ingin melihatmu kurus. Aku ingin kamu tetap sehat, bukan hanya aku.

Tiga bulan berjalan, aku belum mendapatkan pekerjaan. Semua lamaran yang kumasukkan, tak ada yang tembus. Tak ada yang mau menerimaku. Alasannya sungguh tidak masuk akal. Sebagian besar dari mereka menjadikan kebakaran restoranku sebagai satu-satunya kekurangan fatal yang membuatku di-black list dari daftar lowongan. Mereka menilai itu akibat kelalaianku yang kurang bertanggung jawab. Mereka juga bilang, aku tidak cermat mengamati karyawan. Sakit dada ini mendengarnya. 

Setelah keliling kota hanya untuk mendengarkan omelan ketus para pimpinan HRD tersebut, aku memutuskan untuk pulang. Pasrah. Pesimis. Itu bukanlah bagian dari sifatku, tapi aku merasakannya. Di tengah jalan, aku bertemu seorang pengemis. Kutengok kantong pantalonku. Hanya ada lima ribu rupiah. Itupun sebenarnya ongkos untuk pulang ke rumah. Akhirnya, kuberikan selembar lima ribu itu pada si pengemis setelah dia bilang belum makan apapun sejak kemarin. Melihat pengemis itu, aku tak ingin hal serupa dialami oleh kamu, istriku. Aku tak ingin kamu merasakan kelaparan dan kepayahan sebab tugas utamaku adalah memberimu nafkah. Betapa berdosa diri ini jika aku hanya memikirkan rasa sedih yang kian bergulir dalam dadaku.

Aku pun memutuskan untuk berjalan kaki dari perempatan Pizza Hut Ciliwung menuju Perumahan Taman Raya Sulfat. Sangat jauh memang, tapi kupaksakan diri. Aku tak ingin meninggalkanmu di rumah terlalu lama. Di sisi lain, ada kicauan sendu dalam sanubariku. Pantaskah aku pulang tanpa membawa kepastian padamu? Tak ada uang yang bisa kubawa pulang sementara sudah hampir seharian aku mencari pekerjaan ke mana-mana. Aku cemas bila nanti kamu sedih, marah dan... meninggalkanku.

Tak terasa, adzan maghrib pun berkumandang. Sebenarnya perjalananku sudah hampir sampai, tapi aku menepi di masjid sekitar Sulfat untuk shalat sejenak. Dalam doa, aku menyebut namamu. Aku menahan tangis di depan Rabb-ku. "Suami macam apa aku ini?" pekik batinku sambil tertunduk lesu dalam doa. Seusai shalat, aku pulang. Tidak lebih dari dua puluh menit, kakiku sudah berpijak di depan teras rumah. Kamu menyambutku dengan senyuman. Kamu meraih tasku, membukakan sepatuku lalu membawanya masuk. 

Hari itu cuaca sangat dingin menusuk tulang. Itulah sebabnya kamu menyiapkan air panas untukku mandi. Saat di dapur, kamu berdiri sambil tertegun di depan kompor. Tatapanmu fokus ke arah panci berisi air yang sebentar lagi mendidih. Aku datang menghampiri lalu memelukmu. Kamu terkejut dan membalas pelukanku dengan sapuan lembut tanganmu pada pipiku. Aku gemetar ketika ingin menyampaikan bahwa belum ada satupun perusahaan yang mau menerimaku. Tapi ternyata kamu sudah lebih dulu menebaknya. Mungkin karena kita sudah punya ikatan batin satu sama lain sehingga apapun yang kurasakan, kamu juga bisa merabanya.

Kupikir kamu akan benar-benar marah, tapi tidak. Kamu tidak marah padaku. Kamu justru memberi pelukan hangat dan mengusap punggungku yang penat. Kamu tersenyum sambil berbisik, "Sayang, aku bersyukur telah memilikimu." Ya Rabb, bulu romaku bergidik mendengarnya. Malaikat macam apa yang diberikan Tuhan padaku? Kamu masih bisa bersyukur di tengah kemirisin hidup yang kita jalani waktu itu. Ketika kutanya mengapa, kamu memberiku sebuah ayat dari surat Ibrahim dalam Al-Qur'an. Kamu menarik kesimpulan bahwa apapun keadaannya, kita harus bisa bersyukur. Aku pun membalasnya dengan menyebutkan sebuah ayat dari surat Al-Anfal yang semakin meyakinkanku bahwa Allah akan memberikan pertolongan lebih dari yang kita duga. Jika kita mau berusaha dan bersabar, Allah akan memberikan pertolongan yang sangat besar sebagai penyenang dan penenang hati untuk kita berdua.

"Mas, aku bersyukur menjadi istrimu. Apapun kondisi kita sekarang, aku percaya kita mampu melewatinya. Aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kita berdua," ujarmu setelah mematikan kompor waktu itu.

"Benarkah?" tanyaku dengan mata berbinar.

"Iya. Insyaallah," jawabmu lalu beranjak ke kamar mandi sambil menggotong sepanci air panas untuk dicampur dengan air dingin dalam bath up.

Aku juga masih ingat. Pagi hari setelah itu, tepat pukul tujuh, ponselku berdering. Sederet nomor asing mengusik waktu sarapanku. Kamu memintaku untuk mengangkatnya sambil bertutur, "Barangkali yang menelepon itu adalah perantara rezeki kita, Mas." Kubersihkan tanganku dengan serbet lalu mengangkat telepon itu.

"Betul ini dengan Bapak Fandi?" Di seberang sana, terdengar suara perempuan.

Aku menjawab dengan terbata sekaligus menduga-duga, "I-iya betul. Maaf, ini dari siapa ya?"

"Bapak Fandi dimohon untuk datang ke kantor karena Bapak diterima bekerja di perusahaan kami. Kebetulan kami sangat membutuhkan manajer baru."

Aku berbunga-bunga. Setelah perempuan yang mengaku HRD tadi menyebut sebuah nama perusahaan swasta, aku baru ingat ternyata pernah mengirimkan lamaran kerja ke tempat itu juga. Selepas memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kamu mendekatiku. Kamu sangat bahagia mendengar kabar ini. Aku tahu, ini pasti berkat doa-doa yang kamu panjatkan dalam tahajjudmu. Sejak saat itulah, kehidupan kita mulai membaik. Gajiku memang tak sebanyak bayaran yang diterima seorang manajer perusahaan milik negeri. Tapi setidaknya, aku bisa kembali menabung untuk membangun restoran kita. Aku juga bisa memberikan modal untuk membuka butik sendiri seperti impianmu. Lebih dari itu, kamu pun hamil. Mungkin, Tuhan baru mempercayakan titipannya ketika kondisi kita sudah pulih.

Sekarang, sepuluh tahun berlalu. Putra pertama kita--Farras--tumbuh besar. Kita juga sudah punya tiga anak. Dua tahun setelah kamu melepas ASI untuk Farras, kamu hamil. Kembar identik perempuan. Kita sepakat memberinya nama Aisyah dan Asiyah. Dua-duanya merupakan nama yang dimuliakan oleh Allah. Nama-nama para bidadari penghuni surga. Kita pun berharap seperti itu. Aduhai, ini benar-benar nikmat yang semakin hari semakin bertambah!  Benar katamu bahwa ketika kita sabar, Allah akan membantu. Selain itu, restoran kita juga sudah berdiri tegak lagi. Sejak itulah, aku memutuskan untuk resign dari posisi manajer dan fokus pada passionku. Tak henti-hentinya kumengucap syukur karena aku yakin ini semua berkat kamu, istriku. Ya, semua berkat doa-doa yang tak putus dari bibir mungilmu.

Malam ini, makan malam dengan seorang perempuan. Dia sangat cantik meskipun tidak berhijab rapat sepertimu. Hijab yang dikenakannya lebih modern dan glamour. Dia juga sangat cerdas, seksi dan mempesona. Dia adalah mantanku waktu SMA. Aku memang pernah pacaran sekali. Kamu pun tahu itu. Tapi, aku tidak menceritakannya padamu tentang pertemuanku dengannya. Ini sudah pertemuan yang entah ke berapa kali. Aku menyembunyikannya karena tak ingin kamu menuduhku selingkuh. 

Beberapa minggu sejak pertemuanku dengan Vina, ada getaran rasa yang mencuat kembali. Mungkin ini yang disebut CLBK. Dia menawarkan kerja sama padaku. Passion kami memang sama, di bidang kuliner. Dia juga punya restoran, bahkan lebih banyak dariku. Itulah mengapa aku kembali tertarik padanya. Aku merasa menemukan teman berbincang yang sejalan. 

Aku dan sang mantan sering jalan bersama. Lagi-lagi, aku tak pernah menceritakan ini padamu, istriku. Anehnya, kamu tak sedikitpun menaruh curiga. Sebegitu besarkah kepercayaanmu padaku? Hampir tiap hari aku pulang malam sebab membincangkan persoalan kerja sama itu sekaligus... memintal kembali rasa yang pernah menggelora.

Di tengah makan malam romantis bersama Vina tadi, aku melihat dua orang pasangan suami istri di restoran yang sama. Mereka sudah tampak renta. Istrinya duduk di kursi roda sementara yang mendorong adalah sang suami. Mereka sedang makan malam bersama anak dan cucu. Ramai sekali. Melihat pemandangan pasangan renta itu, aku teringat akan kamu, istriku. Aku terngiang-ngiang dengan perkataanmu. Kamu pernah bilang, jika aku kelak tak mampu berjalan lagi, kamu berjanji akan merawatku. Aku juga ingat tentang cerita jika kita menua nanti, kita akan merasakan momen berkumpul dengan cucu-cucu kita. Kita akan menceritakan pengalaman manis dan pahit hidup ini sebagai bekal untuk rumah tangga mereka kelak.

Sekarang, aku tersadar. Aku mengingat perjuangan kita berdua melalui ujian demi ujian rumah tangga. Aku pun ingat betapa sabarnya dirimu ketika si kembar Aisyah dan Asiyah harus mendekam tiga minggu di rumah sakit karena terserang demam berdarah. Sementara saat itu, aku justru menikmati liburanku dengan Vina dan beberapa kawan lainnya ke Bali. Kembali suara kecil dalam hatiku berbisik, "Suami macam apa aku ini?" 

Malam ini, mungkin kamu tertidur di sofa ruang tamu sambil menanti kepulanganku. Sudah beberapa hari ini, kamu seperti itu. Kadang, kamu melek hingga tengah malam demi menungguku pulang padahal aku sudah meminta untuk tidak ditunggu. Kamu terus menolak dan yakin bahwa aku akan pulang. Pernah juga sekali aku tak sengaja menyebut nama Vina di tengah rentetan alasanku sering pulang malam. Tapi, kamu masih saja percaya padaku. Kamu percaya bahwa aku bukanlah seorang lelaki yang suka mempermainkan wanita. Kamu percaya bahwa aku tak akan pernah membagi cinta ini untuk orang selain dirimu dan anak-anak kita. Inilah yang membuat mendadak rindu padamu.

Setelah meneguk air mineral lamat-lamat, aku buru-buru pamit pada Vina. Aku menolak untuk meneruskan kerja sama dengannya karena kutahu niatnya sudah tidak baik sedari awal. Dia hanya ingin melampiaskan kesepiannya karena baru saja diceraikan oleh suami keduanya. Ya, Vina sudah menikah dua kali. Setelah kupikir-pikir, betapa bodohnya aku bila termakan bujuk rayu seorang wanita macam dia. Aku juga sadar, secantik apapun Vina, dia tak sebaik dan semulia kamu, Fany. 

"Fany sayang, aku pulang sekarang. Aku tak mau pergi dan pulang malam lagi. Aku janji akan selalu bersamamu, menjaga cinta yang telah kamu beri untukku."



CURHAT ANAK MAPRO PSIKOLOGI: QUALITY TIME

Libur belum tiba
Libur belum tiba
(Nggak) hore
(Nggak) hore....

Seluruh mahasiswa strata satu udah pada libur. Kampus putih jadi sepi, hanya ada kerumunan dosen, para staf dan pegawai. Satu golongan lagi yang belum libur: mahasiswa magister profesi. Saya nggak tahu pasti magister jurusan lain libur apa nggak, tapi untuk magister psikologi bilangnya "nggak libur".

Sebagian besar teman-teman yang berasal dari luar Jawa ataupun luar Malang, pada sebel karena udah homesick. Alhamdulillah, saya nggak ngerasain hal yang sama karena udah pindah dan menetap di Malang. Kalau dulu waktu S1, saya juga jarang pulang (pas masih tinggal di Parepare). Homesick itu pasti, tapi tiap libur kadang ortu yang jengukin ke sini sekaligus mereka pulang kampung. Kalau nggak gitu, saya yang berlibur ke Madiun (di daerah perbatasan Madiun sama Magetan sih sebenarnya), ke rumah Mbah (ortu Mama). Yaah..kebayang lah yaa gimana rasanya merindukan kampung halaman. Meskipun saya sendiri nggak bener-bener native from Parepare, sekarang kerinduan di dada ini makin membuncah. Ya iyalah rindu, orang saya lahir di sana.


Libur yang belum jelas kapan datangnya ini, membuat kami membetahkan diri untuk mengerjakan setumpuk laporan praktikum alat tes. 

Ahh sudah cukup intermezzo soal libur nggak liburnya.

Sekarang lanjut bahas quality time. Quality time yang saya maksud adalah kapan waktu terbaik kita untuk melakukan sesuatu yang bermakna dan bertujuan. Nggak tahu kenapa, saya jadi makin percaya kalau quality time saya itu adalah sore hari. Sejak kuliah, saya sering mengerjakan tugas atau menulis apapun itu pada sore hari. Kalau pagi hari terbiasa dihabiskan dengan agenda bersih-bersih, kadang bantuin masak, nyuci, nonton televisi buat nyari inspirasi dan seringnya juga sambil buka laptop baca-baca e-book atau informasi apapun melalui jejaring internet.

Seperti sekarang-sekarang ini nih. Sejak kuliah lagi, inspirasi untuk menulis laporan itu tuh selalu datang dengan lancar waktu sore. Jadi, sebelum ngerjain tugas, paginya saya browsing baca-baca dulu. Kalau nggak ada buku cetak yang bisa dibeli, saya lebih milih baca buku di internet di google books dulu pagi harinya. Setelah itu tidur siang untuk memulihkan energi. Kalau misal tugasnya bejibun gitu, biasanya saya cicil yang ringan-ringan paginya. Nah, untuk bagian tugas yang bener-bener rumit, butuh pemikiran ekstra baru deh dikerjain pas sore (tapi sebelumnya shalat ashar dulu terus mandi) sampai maghrib. Emang sih sore itu nggak sepanjang pagi apalagi malam. Kalau otak masih bisa kompromi, kadang saya bisa ngerjain sampe paling mentok jam 9 malam. Lewat dari itu, pikiran udah nggak bagus. Kalau dipaksakan, tugas yang dikerjakan nggak bakal bagus hasilnya. Begitupun dengan rutinitas menulis buku, selalu dimulai waktu sore.

Dengan waktu yang terbatas di sore hari, saya juga kadang ngebatasin jadwal menulis/mengerjakan tugas. Biasanya dua-tiga jam. Itu udah berkualitas banget, ide untuk ngerjain tugas bener-bener ngalir dengan enteng. Lebih dari tiga jam, saya suka jenuh. Jadi, untuk mengatasinya saya tutup laptop, istirahat atau ngelakuin hal lain.

Kalau kalian sendiri, kapan quality time kalian? Apa aja yang kalian lakukan di waktu tersebut? Apakah sudah diisi dengan kegiatan bermakna?



HINDARI MENGATUR BERLEBIHAN & MEMBENTAK ANAK

by catatanistri.com
Sekedar intermezzo mengenai gambar di atas, saya peroleh ketika membaca status teman Facebook. Saya sedih melihat ekspresi anak yang menggemaskan itu.
------
Selama praktikum ini, ada banyak sekali kasus-kasus yang bertebaran. Walaupun mayoritas kasusnya masih dalam ranah "problem psikologis" dan nyaris nggak ada yang nemu kasus "disorder", tapi bila diinterpretasikan ke masa depan, problem-problem psikologis yang ada sekarang ini lama-kelamaan akan menjadi gunung es di kemudian hari.

Berbicara soal masalah psikologis pada anak, banyak sekali memang. Ujung-ujungnya, kalau lagi bahas masalah pada anak, pasti kami akan selalu mempertanyakan, "Orangtuanya itu gimana?"

Sebagai contoh, ada 2 kasus pada anak. Satunya problem psikologis, satunya lagi udah dalam taraf gangguan. 
Sebut saja A. Setelah dites, anak bernama A ini memiliki IQ di atas rata-rata. Namun, selama pengetesan IQ, banyak kejanggalan yang terjadi ketika menjawab pertanyaan dari tester. Dengan usia yang telah menginjak 8 tahun, semestinya si A sudah bisa berpikir abstrak (walau masih taraf belajar) dan seharusnya si A juga bisa lebih kreatif karena mengingat IQ-nya di atas rata-rata tadi. Namun, hal tersebut tak ditemukan dalam diri si A. Sebagai contoh, si A sukar menjawab soal pengulangan deret angka dari belakang. A hanya bisa mengerjakan soal pengulangan deret angka dari depan. Kemudian, pada beberapa subtes verbal, si A seringkali memberikan pola-pola jawaban yang dangkal dan kurang mampu meramunya menjadi kalimat-kalimat yang lebih kreatif.

Setelah ditelusuri, menurut sang tester, rupanya di rumah, anak tersebut memang sudah di-setting oleh orangtuanya. Maksudnya, sejak kecil, si A ini bener-bener ditata untuk menjadi seperti apa yang diinginkan oleh orangtuanya. Si A diberi makanan yang bergizi tinggi, kemudian selalu ditata agar menjadi anak yang penurut. Orangtua si A juga sering mengatur-atur si A, harus begini dan begitu tanpa memberikan kesempatan bagi si A untuk melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Akibatnya, si A tumbuh menjadi anak laki-laki yang sangat sistematis, tidak akan mau melakukan sesuatu tanpa disertai aturan yang pasti, kaku dan   kreativitasnya tidak terasah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan antara skor IQ dengan fakta keseharian si anak. Malah beberapa di antara teman kami yang menyimak analisis kasus tersebut sampai menginterpretasi, "Nanti kalau udah gede, bisa gawat apalagi anak cowok. Kalau diatur-atur kayak gitu terus, bisa-bisa si anak jadi suami-suami takut istri lagi." Hahaha... interpretasi yang terlalu jauh tapi masuk akal juga sih hehe.

Kemudian, masalah kedua masih pada anak. Sebut saja B. Dia adalah anak tunggal dari ibu dan bapak yang pendidikannya sama-sama lulusan magister. Sayangnya, si B harus dijebloskan ke dalam RSJ karena terdapat tanda-tanda psikotik yang mengarah pada gangguan skizofrenia. Setelah ditelusuri, ternyata si anak ini selalu dipaksa dan diatur oleh orangtua agar menjadi sesuai keinginan orangtua. Si anak harus mengikuti sejumlah les-les privat akselerasi yang sangat tidak masuk akal. Orangtuanya saat ini sangat menyesal melihat keadaan si B yang makin parah dari hari ke hari.

Dari kedua ilustrasi kasus di atas, mengapa sih tidak boleh mengatur-atur anak disertai paksaan?
Eum, sebenarnya wajar bila orangtua menginginkan agar anaknya tumbuh menjadi sosok terbaik nan membanggakan. Namun, tidak semuanya harus serba diatur. 

Anak juga butuh solitude time (ini istilah pribadi saya aja sih hehe). Dalam solitude time ini, biarkanlah si anak untuk belajar melakukan atau memutuskan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkannya. Dengan begitu, si anak juga akan belajar konsekuensi dan tanggung jawab dari apa yang sudah dilakukan. Selain itu, orangtua yang notabene pengetahuannya sudah tentu lebih luas daripada sang anak juga sebaiknya mengarahkan anak agar bisa berpikir abstrak, bukan hanya berpikir konkret terutama dalam proses belajar problem solving.

Selain mengatur-atur secara berlebihan, hal lain yang sering dilakukan orangtua terhadap anak adalah membentak. Tindakan membentak anak juga dapat berpengaruh buruk bagi kesehatan fisiknya. Sebuah studi internasional dari Amerika pernah mengadakan penelitian dan telah membuktikan bahwa detak jantung seseorang akan cenderung meningkat ketika menerima atau mendengar suara bernada tinggi. Ketika seseorang kerap mendengar suara-suara bernada tinggi atau yang bernada sentakan, lama-kelamaan denyut jantungnya akan menjadi lebih cepat sehingga menyebabkan jantung gampang lelah.

Selain itu, masih ingatkah kita dengan salah satu bait dalam sebuah petuah lama. Eum, kalau tidak salah intinya itu melarang kita mengasuh anak dengan kemarahan karena ia akan belajar untuk memaki, berontak dan bermusuhan (hehe saya lupa kalimatnya apa).

Dampak secara psikologisnya, si anak yang sering mendapat respon negatif seperti teriakan, amarah dan bentakan akan memicu kegagalan pada fungsi kepribadiannya kelak. Si anak akan tumbuh menjadi individu yang suka minder, tidak percaya diri, pemarah dan pemberontak.

Secara umum memang nggak mudah gitu ya menghadapi anak ketika ia berbuat salah. Banyak orangtua langsung merespon dengan memarahi dan membentak. Sebagai contoh yang pernah saya saksikan pada sepasang suami istri yang menikah muda. Ketika si anak bermain lalu tanpa sengaja menghilangkan barang/benda permainan yang sudah diberikan oleh ibunya, Sebenarnya si ibu bermaksud baik, ingin menasehati agar si anak tidak mengulangi kecerobohannya. Setelah saya tanya diam-diam, rupanya si anak yang masih SD ini mengaku bahwa ia memang sedikit ceroboh dan setiap melakukan kesalahan, si ibu pasti mengomelinya. Si ibu marah-marah dan si anak mundur hingga mepet ke tembok dengan ekspresi takut. Si anak cemas dan berlari pada saya saat itu. Sementara si bapaknya justru diam, hanya bertindak sebagai penonton, nggak ada upaya untuk melerai atau menahan amarah istri. Yaaah... akhirnya, saya secara diam-diam ikut menasehati anak tersebut secara baik-baik. Saya pun mengajaknya bermain agar melupakan kesedihan dan kecemasannya. Setidaknya, saya salut dengan anak tersebut. Masih kecil tapi sudah pandai mengoreksi kesalahannya. Dia juga tergolong cerdas karena secara insidental, saya sudah mengujinya melalui tes-tes psikologi sederhana hingga yang rumit. Anak tersebut juga penurut, mau berubah menjadi lebih baik. Heuuum... entah dari siapa dia mempelajari hal tersebut, tapi dari situ saya melihat ada potensi baik yang akan sayang sekali bila orangtua tidak membantu mengoptimalkannya melalui hal-hal positif.

Nggak mudah memang ya jadi figur ortu yang baik. Tapi, bukan berarti dari sekarang kita nggak mau belajar kan? Untuk mengasah keterampilan dan kesiapanmu menjadi seorang ibu, coba aja deh sekali-kali gitu bergaul dan bermain sama anak kecil. Hehehe... saya sendiri sering bermain sama anak kecil. Di kompleks tempat tinggal baru kami, rata-rata dihuni oleh pasangan suami istri yang udah berumur 30-40 tahun tapi baru dikaruniai anak. Jadi, banyak anak kecil di kompleks rumah kami yang sekarang dan yang tertua di daerah RT 05 ini juga nggak banyak. Mungkin satu dua, termasuk Bapak dan Mama saya yang udah punya anak segede-gede gaban ini heheh.

Saya juga punya ponakan (anak dari sepupu yang nikah muda). Ponakan dari suami tante saya juga punya anak kembar yang masih di bawah tiga tahun. Gemeees banget soalnya kembar cewek cowok. Jadi, kadang kalau ada waktu free, saya mampir ke rumah tante saya (rumah mbakku yang ini berdempetan sama rumah tante di belakang kampus). Tiap ke sana, cuma ada anak-anak kecil jadi bergaulnya sama mereka. Main sama mereka. Kalau sama si kembar, saya lebih akrab sama si little Kenzo. Kenzo sangat aktif, murah senyum dan lebih mudah beradaptasi dengan orang lain. Kalau sama si Keyla, nggak begitu. Keyla malah malu dan agak nggak mau deket-deket saya, kelihatan sih kalau Keyla itu tipenya nggak mudah percaya dan nggak gampang beradaptasi dengan orang lain. Tapi, kalau saya lagi shalat di rumah Mbak gitu, si Keyla sering diam-diam ngintip dan bilang pada ibunya kalau saya lagi shalat. Hehehe lucu...lucu.

Loh kok malah jadi saya yang curhat hehehe.

Begitulah postingan saya kali ini (Sebenarnya ini late post, udah saya jadikan draft sejak bulan Desember lalu tapi baru sempat ngedit lagi pagi ini).

Semoga bermanfaat

Semangat pagi ^___^

BERKAH DARI BELAJAR DAGANG

Alhamdulillah.. Belum lama ini, sekitar Agustus 2014 lalu mulai mencoba untuk berbisnis kecil-kecilan. Yaaah, meski masih tergolong reseller dan marketer tapi karena kedua job ini menyenangkan dan it's about syar'i fashion jadinya happy aja ngejalaninnya.

Dengan ngebuka nama olshop Griya Qafisha, saya jadi belajar banyak hal. Pas awal-awal jualan, saya sempat pesimis karena nggak pernah mengampu pelajaran bisnis dan sama sekali nggak punya skill handal dalam berbisnis. Tapi, karena niatnya emang pengen belajar biar kelak ada pegangan, akhirnya sedikit demi sedikit jadi banyak hal yang saya tahu.


Awal-awal jualan jilbab tuh, yang ngantre beli adalah teman-teman kelas. Belinya nggak cuman satu orang, tapi beberapa. Mulanya, biar ada yang tertarik, saya juga memakai produk yang saya jual agar lebih meyakinkan. Nah, semenjak pakai produk-produk tersebut sendiri dan dilihat sama teman-teman kelas, akhirnya yang lain pada tertarik mau beli. Entah itu karena warnanya yang menarik atau karena dari mereka emang bener-bener pengen berhijab syar'i. Jadi, pas matrikulasi September lalu, saya ke kampus sambil bawa barang dagangan. Nggak cuman jilbab, tapi juga gamis. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit bisa belajar untuk berdagang. 

Sampai-sampai nih si ketua kelas kami, si Mamat sama semua teman-teman cewek di kelas terkekeh dan tersepona (terpesona) tiap saya paparkan jenis-jenis kain dari gamis dan jilbab yang saya jual. Selama ini, mereka cuman tahunya beli, tapi nggak tahu nama bahannya apa. Jadi, kalau mereka membeli barang yang saya jual, saya juga ngasih tahu nama kainnya jenis ini, enak apa nggaknya, sifatnya gini gitu dan segala macam. Nah, setidaknya nambah pengetahuan di saya juga para konsumen sehingga kesannya nggak buta soal fashion lah.

Saya juga bersyukur, berkat belajar berbisnis ini, saya sedikit demi sedikit bisa ngebedain mana bahan (kain) yang bagus dan berkualitas dan mana yang nggak. Saya juga udah nyoba membeli beberapa sampel dari barang yang "punya nama". Di antara barang homemade/branded lokal tersebut, rupanya ada yang cuman menang di pamor nama aja tapi aslinya bahan yang dipakai masih kalah jauh sama yang harganya justru lebih murah dari itu. Makanya ukhtina, kita sebagai konsumen juga kudu pinter milih. Jangan mentang-mentang namanya terkenal. Si pemilik yang personal brandingnya melejit itu belum tentu menang dengan homemade yang namanya nggak terkenal banget-banget loh.

Kalau terhitung sampai sekarang, kira-kira udah 5 bulan lah ya saya jualan. Alhamdulillah barang yang saya order dari owner laris semua jadi untungnya juga banyak. Tapi, saya langsung menggunakan keuntungan tersebut untuk biaya kuliah sih soalnya keuangan saya lagi menipis. Euuung... nah ini mungkin bisa saya masukkan sebagai list kelemahan. Saya sih awalnya mikir, sebaiknya keuntungan dari hasil penjualan bisa saya tabung dan nggak langsung dipakai. Tapi karena kebutuhan kuliah sangat membludak, saya belum mampu deh nahan godaan untuk nggak langsung memakai keuntungan tersebut.

Untuk orderan selanjutnya, saya juga mix sama modal yang dikasih Mama. Tapi, kalau misalkan barang tersebut laku terjual, modal+untungnya yaa saya kasih ke Mama. Ada sih sekali aja saya minta untungnya soalnya waktu itu juga Mama yang nawarin. Rezeki masa' ditolak, hehehe. Trus selanjutnya yaa saya kasih Mama aja.

Banyak deh hal yang saya peroleh dari belajar berdagang ini. Alhamdulillah juga, awal tahun 2015 ini banyak orderan yang datang yaa meski banyaknya belum sebanyak orderan olshop yang udah melanglang buana.  Harapan selanjutnya, semoga saya bisa menekuni proses belajar ini sampai seterusnya, sampai nanti udah nikah, udah punya anak. Kalau perlu, saya pengeeeen banget bisa bikin produk sendiri. Heum, karena nggak pinter desain, jadi cara untuk buat produk sendiri yaa nyari partner yang pinter desain. Saya punya teman baik yang pinter desain waktu kuliah cuman sayangnya dia udah balik ke Flores. Yaah... rencana ini mungkin akan saya pikirkan nanti ketika udah nikah. Sekarang, saya belajar sendiri dulu soalnya juga masih pemula, masih banyak ilmu dan skill yang harus saya tempa.

Saya juga ngucapin banyak terima kasih buat mbak-mbak partner saya sekaligus para owner yang punya barang, udah baiiiiik banget. Udah beberapa kali order, makin banyak dikasih diskon, pelayanannya juga ramah dan sigap. Semoga nanti saya bisa menjadi seperti mereka hihi aamiin ^^.

Makasih juga buat para pelanggan yang udah belanja di Griya Qafisha. Oiya, Griya Qafisha lebih aktif via bbm. Jadi, bila ada yang mau berbelanja, silakan invite pin bb kami ya 736afa60. Orderannya saya alihkan ke bbm karena mumpung always on wifi di rumah dan kampus jadi dimanfaatin bener dah tuh nikmat Allah :D.