Pages

NANO-NANO UJIAN TESIS

"As the facts change, change your thesis. Don't be a stubborn mule, or you'll get killed."
-Barry Sternlicht-


Dua puluh enam April 2017, saya resmi menyandang gelar M.Psi, Psikolog., di belakang nama. Sama seperti tahun 2012 lalu, ujian skripsi berlangsung di bulan April dan sekarang tesis pun demikian, di bulan April juga.

Saya benar-benar cengeng. Setelah ujian selesai dan menunggu pengumuman sampai dipanggil masuk kembali ke dalam ruang ujian, saya menangis di depan dosen pembimbing dan penguji. Kenapa saya menangis? Beginilah ceritanya...

Selasa sore saat baru bangun tidur, handphone jadul saya berdering. Salah satu petugas Tata Usaha Pasca menelepon untuk memberitahukan bahwa besok yaitu hari Rabu pagi jam 08.00. Malam harinya saya belajar membaca kembali tesis yang sudah saya tulis. Keesokan harinya, saya berangkat dari rumah pukul 06.40. Kenapa pagi sekali? Karena rumah saya jauh dari kampus. Sebagai seorang pengendara yang nggak berani ngebut di jalan, saya harus menempuh waktu sekitar kurang lebih 30-40 menit untuk tiba di kampus. Rumah saya di Sawojajar dan kampus saya, UMM terletak di Jalan Tlogomas yang sedikit lagi menuju kota Batu (tapi bukan di Batu ya).

Saya langsung masuk ke ruang Workshop yang ada di dalam ruang Tata Usaha. Saya kemudian menyiapkan laptop dan menyalakan LCD Proyektor. Saya duduk sambil membaca bahan presentasi saya agar tidak gugup nantinya. Pagi itu entah kenapa saya tidak merasa panik ataupun gundah gulana. Saya tampak begitu santai, tidak ada deg-degan sama sekali.

Dosen-dosen pembimbing sudah datang, disusul oleh salah satu dosen penguji. Jam sudah menunjukkan pukul 07.53 namun satu dosen penguji lainnya belum juga datang. Salah satu pembimbing saya menelepon ibu penguji itu dan ternyata si penguji itu lupa, dikiranya ujian berlangsung pukul 08.30 padahal harusnya pukul 08.00. Molor lah sekitar 15-20 menit baru pembimbing membuka ujian.

Saya diminta untuk berdoa lalu mempresentasikan hasil penelitian selama 15 menit namun saya rasa tidak sampai 15 menit juga kok saya presentasi. Alhamdulillah lancar, apa yang saya sampaikan menurut saya cukup bisa dipahami.

Setelah itu lanjut pada sesi pengujian. Dosen penguji pertama (si ibu dosen yang telat datang tadi) memberikan banyak sekali pertanyaan. Ya, namanya juga diuji gitu ya. Namun, saya sempat kesal karena beliau bertanya bertubi-tubi sebelum saya benar-benar menuntaskan jawaban dari satu pertanyaan. Beliau juga tidak menampakkan raut senyum, wajahnya benar-benar kaku. Ya, kami semua tahu background beliau yang cukup menyita perhatian jadi wajar saja bila beliau tidak memiliki sifat keibuan. Akhirnya, saya sempat down dan lelah menjawabnya, lebih banyak diam dan mengiyakan. Apa saja yang ditanyakan. Ya mulai dari teori, konteks, konsep dan definisi dari variabel, alat ukur, metode, sampai penulisan kalimat. Yaa semuanya dari awal sampai akhir lembar tesis ditanyakan. 

Lalu dosen penguji kedua (laki-laki), beliau cukup humoris sehingga saya terhibur dan perasaan down saya luntur pelan-pelan. Saya mendapat banyak masukan dan perbaikan dari penguji kedua. Sungguh kontras dengan penguji pertama, yang hanya bertanya namun tidak memberi pelurusan atas jawaban saya, apakah sudah tepat atau perlu dibenahi.

Ada satu hal yang saya sesali dan itu hanya masalah teknis dari tesis ini. Saya pun dinyatakan tidak mengulang a.k.a lulus ujian namun dengan catatan revisi yang cukup banyak. Sempat berharap dan yakin bisa dapat nilai A, namun harapan itu tampaknya luruh seketika setelah saya menangis pada saat pengumuman.

Saya menangis karena pertama, saya terharu dan memang kebiasaan saya setiap sedang ada sesuatu, pasti akan menangis terlepas dari apakah itu sedih atau senang tapi bukan masalah sedih atau senang. Air mata saya memang cukup mudah keluar, itulah kenapa saya mudah nangis. Teman-teman saya pun tahu dan sudah mengerti dengan kondisi saya yang seperti itu. Kedua, saya menangis karena merasa tampaknya saya gagal mendapatkan nilai A dengan kesalahan teknis di akhir yang bagi saya ya kenapa tidak saya cek sebelum pengumpulan dan seharusnya saya tidak patuh dengan aturan format itu.

Saat menangis, dosen pembimbing bertanya bagaimana perasaan saya selama tesis ini. Saya sebenarnya ingin bercerita panjang namun saya juga malu bila harus curhat di depan dosen. Saya hanya mengatakan apa yang pertama kali tersirat di pikiran yaitu saya cukup senang dan lega karena sudah menyelesaikan tesis tersebut walaupun hasilnya ternyata tidak sesuai dengan teori sebelumnya namun hal itu bisa jadi bahan pembelajaran bagi penelitian selanjutnya bila ada yang ingin meneliti tentang apa yang sudah saya angkat.

Dan, setelah teman saya pun selesai ujian, siangnya, ada satu teman geng saya yang datang membawakan bunga. Itu kali pertama saya mendapatkan bunga mawar setelah ujian dan diberi selamat langsung pasca ujian. Kami bertiga pun berfoto untuk kenang-kenangan lalu pulang setelahnya ke rumah masing-masing (tidak sempat makan siang bareng karena teman geng saya harus pulang sebab ada anak dan suami yang harus dia urus).

Begitulah cerita pas saya ujian tesis. Saat ini sisa menunggu wisuda kemudian menunggu jadwal sumpah profesi berikutnya untuk mendapatkan Surat Izin Praktik Psikologi. Yap, I'm officially being a psychologist.

NGOMONG SENDIRI, PERLU GAK SIH

"Self-talk reflects your innermost feelings" 
-Asa Don Brown-


Apakah berbicara pada diri sendiri selalu dicap abnormal? Tentu tidak. Berbicara pada diri sendiri atau yang dalam bahasa Inggris disebut self-talk ini memiliki beberapa manfaat. Berbicara sendiri yang dilakukan oleh orang dengan gangguan psikotik dan self-talk yang saya maksud itu berbeda ya.


Menurut Professor Psikologi, Gary Lupyan dari Universitas Wisconsin, self-talk bukanlah perilaku abnormal. Seorang psikolog di bidang pertanian yaitu Anne Wilson Schaef dan psikolog dari Universitas Michigan yaitu Ethan Kross menambahkan bahwa berbicara pada diri sendiri atau self-talk yang semisal dilakukan oleh seseorang di depan cermin, bisa memberikan manfaat. Manfaat tersebut antara lain membantu seseorang menguatkan memorinya mengenai hal yang dibicarakan. Kok bisa? Saya yakin kita semua pernah melakukannya, sadar atau tidak. Seperti saat hendak berdiri di panggung untuk melakukan sebuah pidato, sebagian orang ada yang memilih untuk menghapalkan naskah pidatonya dengan cara self-talk, berdiri di depan cermin kemudian melihat apa yang telah ditulisnya di kertas lalu menghapalkannya sedikit demi sedikit. Teknik seperti ini cukup membantunya untuk memahami serta mengingat apa saja poin-poin penting atau isi yang ingin disampaikan melalui pidatonya. 

Self-talk ini membuat kita bisa mengorganisir dan memfilter mana hal-hal yang prioritas, mana yang penting namun bisa ditunda dan mana yang benar-benar tidak penting. Melalui self-talk, kita bisa memahami dan menguasai diri sendiri. Ketika kita baru saja mengalami kegagalan atau melakukan kesalahan, pasti akan berpikir bagaimana cara untuk menghindari agar tidak gagal/salah kedua kalinya, menerima dan mengakui kesalahan itu dengan jujur, memaafkan diri, membuat planning dan memberi motivasi untuk teguh mewujudkan planning tersebut ke dalam perbuatan nyata bahkan menciptakan produk kreatif yang mungkin bisa memberi manfaat bagi orang lain juga. Kita pun bisa menemukan hal mengejutkan terjadi pada diri kita apabila konsisten dan commit melakukan berbagai perbaikan diri dan itu semua bermula hanya dari self-talk.

Manfaat lainnya adalah menenangkan seseorang sehingga dapat mengontrol emosinya ketika akan atau tengah menghadapi bahaya. Nah, ini biasanya yang paling sering terjadi. Saat kita dalam keadaan under pressure atau sedang dalam situasi tertekan, cemas berlebihan maka tidak jarang akan keluar kalimat-kalimat tertentu dari bibir kita. Ada yang bersumpah serapah sampai mulutnya penuh dengan kebun binatang dan ada pula yang memilih kalimat-kalimat positif seperti, "sabar", "kuat, "aku pasti bisa", "semangat" dan sebagainya. Iya, nggak? Kalimat-kalimat positif dalam self-talk yang kita lakukan ini bisa memantik rasa percaya diri seseorang sehingga mampu menghadapi situasi tekanan tersebut.

Self-talk ini juga merupakan salah satu teknik dari psikoterapi dengan pendekatan perilaku atau behaviorisme dan ini sering digunakan oleh para ahli ataupun psikolog kepada kliennya. 

Self-talk bisa dilakukan kapan dan di mana saja. Tidak harus menunggu ada situasi penuh tekanan dulu kok. Setiap malam sebelum tidur, saya pribadi pun sangat sering melakukan self-talk. Bukan karena mentang-mentang saya tidur di kamar sendiri tapi saya memang orang yang cukup sering berbicara pada diri sendiri sebagai sebuah bagian dari proses introspeksi, refleksi, atau kontemplasi atas kesalahan, kegagalan, keberhasilan dan apapun yang terjadi pada hari itu. Ya, pikir saya, tidak perlu menunggu orang lain untuk memberi pujian atau menyemangati diri kita. Kitalah yang sangat paham terhadap diri kita dan kita pulalah yang terlebih dahulu harus menyemangati diri sendiri.

Sudahkah kita self-talk?