Pages

CURHAT MAPRO PSIKOLOGI: ANAK ABK, AHLI SURGA?

Lagi dan lagi kami memperoleh pelajaran berharga di kelas Intervensi Komunitas yang diampu oleh Pak La. Pokoknya ya, yang namanya diajar sama Pak La itu, bukan cuman bakal menghasilkan produk berupa jurnal, booklet atau produk akademik lain, melainkan juga kami bakal selalu membawa pulang sebuah hikmah dari cerita-cerita yang beliau sampaikan.

Kemarin, kami kuliah dari pagi kemudian dilanjutkan sore hari, sehari penuh bersama Pak La. Pada jam siang menjelang sore, kami membahas tugas dadakan tentang kasus psikologis yang kami cari (beberapa jam lalu) melalui koran disertai upaya preventifnya. Satu kelompok sudah maju mempresentasikan tugas mereka. Salah satu kasus yang mereka temukan di koran adalah kasus ABK. Kelompok saya juga nemu sih satu kasus ABK. Nah, usai kelompok satu presentasi, Pak La ngasih feedback dan evaluasi panjang lebar. Kemudian, sampailah pada cerita beliau mengenai ABK.

Pernah, Pak La bertemu dengan seorang psikolog di Malang. Psikolog tersebut pernah berkata, "Anak-anak yang terlahir down syndrome, cacat fisik ataupun cacat mental lainnya seperti Autis, ADHD dan lainnya itu sepertinya disebabkan oleh dosa-dosa dari orang tua mereka."

Sewaktu mendengar cerita itu, saya teringat dengan kisah-kisah yang ada di sinetron. Ya ampuun, kayaknya tuh psikolog suka nonton sinetron deh jadinya apa yang diomongkan tuh ngawur. Sampai sekarang, nggak ada bukti ilmiah/empiris (jurnal atau lainnya) yang menghasilkan pandangan bahwa anak-anak ABK/cacat adalah hasil dari dosa orang tuanya. Kalau berpikir logis, memang tampaknya juga nggak masuk akal sih omongan psikolog itu. Toh, kalaupun ada, nggak semua ABK seperti itu kan?

Pak La pun teringat dengan pengalamannya sewaktu ke Kelantan, Malaysia. Waktu itu bertepatan bulan April yang merupakan bulan perayaan hari Down Syndrome dunia. Pak La ikut ngumpul-ngumpul bareng peserta seminar lain dalam acara fun bike. Lalu, salah seorang peserta--yang bukan orang psikologi--berkata, "Anak-anak ABK itu adalah ahli surga karena mereka tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk disebabkan kecacatan mental yang dialami."

Mendengar celetukan orang tersebut, Pak La takjub. Beliau kagum pada kalimat orang itu. Pak La pun membandingkan omongan psikolog dengan omongan orang biasa tadi. Ada sebuah hikmah yang bisa kita tarik dari cerita Pak La itu.

Sebagai seorang terpelajar dan berpendidikan tinggi seharusnya tidak pantas langsung memberikan judgment dan menggeneralisir bahwa semua anak cacat disebabkan oleh dosa dari orang tua mereka. Pandangan tersebut tidak disertai dengan bukti empiris sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam ranah akademik. *Ini kita berbicara akademik loh ya, jangan nyampurin sama sudut pandang lain. Dari situ saya juga sempat berpikir, kalau saja waktu itu psikolog tersebut mengatakannya di hadapan orang tua yang punya anak ABK, apakah para ortu itu nggak sakit hati jadinya?

Lalu, Pak La juga menyampaikan pesan kepada kami dengan berkata, "Kalau ngambil pandangan dari orang non psikologi tadi, berarti psikolog, orang tua dan guru selaku pendidik justru harusnya bangga mendidik, merawat dan membimbing anak-anak ABK. Itu artinya, kita memberikan kontribusi dalam merawat calon-calon ahli surga. Hebat, kan?" 

Kami semua tersenyum dan Pak La pun sesumringah. Ya. Satu sih yang saya pahami juga. Anak ABK itu sebenarnya sama aja dengan manusia lain. Yang ngebedain cuman "hal spesial" yang dikaruniai Tuhan pada mereka. Siapapun yang memiliki atau mengasuh anak ABK, ujiannya nggak nanggung-nanggung beratnya dan pantaslah jika kelak orang-orang tersebut akan diberikan balasan berupa pahala yang besar karena telah merawat dan membimbing mereka dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Kata "ahli surga" itu mungkin cocok untuk disampaikan kepada mereka (ortu atau guru yang berhadapan dengan ABK) agar mereka tidak banyak mengeluh, mensyukuri anugerah berupa "anak spesial" titipan Tuhan, bisa bersabar mengurusnya dan merasa bahagia karena memiliki mindset unik yaitu mereka sedang merawat calon ahli surga.

Begitulah cerita kali ini
Kapan-kapan dilanjutin lagi.

NB: Insya Allah, semua cerita-cerita yang berhubungan dengan unsur-unsur psikologi dalam blog ini akan saya terbitkan menjadi buku jadi bila ada yang hendak meng-copy tulisan dalam blog ini, mohon disertai sumbernya yaitu link blog saya ini ya. Terima kasih.

PSIKOLOG HARUS KUASAI PSIKOPATOLOGI

Sabtu kemarin, kami mengikuti kuliah tambahan untuk praktikum Cognitive-Behavior Therapy (CBT). Sebelum ibunya ngejelasin tentang dasar-dasar CBT, beliau terlebih dulu memberikan feedback setelah melakukan review terhadap tugas laporan asesmen kami di semester kemarin. Kebetulan memang laporan asesmen integrasi klien beliaulah yang memeriksa dan memberikan bimbingan. Tidak disangka, pola laporan yang kami buat satu kelas sama semua padahal itu beda-beda kasus dan memang nggak ada yang bisa dicontek.

Ya ampun, ternyata pe-er kami masih banyak. Saya pribadi juga menyadari bahwa laporan asesmen kemarin masih jauh dari kata bagus. Ya, laporan asesmen yang isinya meliputi penegakan diagnosis serta menulis dinamika keluhan klien sampai kepada prognosis dan saran intervensi itu memang sangat tidak mudah. Itu butuh keterampilan menulis tingkat tinggi. Kakak tingkat kami pun banyak yang mengeluhkan soal ini. Bisa dikatakan tidak ada yang benar-benar mendekati bagus.


Sedih sih karena saya merasa kemampuan masih jauh banget. Kata ibunya pun, wajar jika memang kami semua belum mampu karena masih semester awal. Menulis laporan itu juga merupakan tugas untuk semester atas nanti jadi sangat...sangat wajar jika masih ada kesalahan. Laporan kemarin itu juga baru pemanasan.

Nah, yang mengherankannya, semua teman-teman termasuk saya menjelaskan dinamika keluhan klien menggunakan teori kepribadian. Kalau saya sendiri memang memiliki klien yang bermasalah pada fungsi kepribadiannya. Tidak ada satupun yang menggunakan literatur psikopatologi. Saya juga demikian. Hahaha... astaghfirullah... Padahal literatur psikopatologi itu adalah kuncinya yang wajib hadir dalam menulis dinamika. Pas bikin laporan itu juga mendadak sih jadi nggak sempat kepikiran untuk menggunakan buku psikopatologi jadi ngebahas satu teori utuhnya Adler saja untuk menjelaskan keluhan kompleks inferioritas klien.

Dari situlah, ibunya ngasih kita wejangan yang kemudian wajib ditulis dengan huruf tebal plus garis bawah.  

"Jika ingin menjadi seorang psikolog, kalian harus menguasai dan mendalami psikopatologi karena itu adalah kunci utamanya."

Kenapa psikopatologi itu sangat penting? Bukan hanya DSM saja yang menjadi kitab wajib yang harus dimiliki seorang psikolog. Kata ibunya, kami ini kan psikolog klinis jadi harus mendalami ilmu psikopatologi, harus mampu menarik benang merah mengapa keluhan bisa muncul pada klien, penyebab yang menjadikan masalah itu patologi tuh gimana. Ya, calon psikolog wajib rajin baca buku psikopatologi.

Selain itu, psikolog juga harus punya pengetahuan yang luas. Seorang psikolog industri organisasi (PIO) atau yang ngambil bidang perkembangan, pendidikan atau sosial, tidak begitu penting untuk mempelajari bidang klinis karena mereka mayoritas terus dihadapkan oleh tugas-tugas yang memang hanya berhubungan dengan bidang mereka. Tapi, seorang psikolog klinis kebalikannya. Psikolog klinis harus punya pengetahuan tentang industri organisasi, perkembangan, pendidikan, sosial, budaya dan lainnya. Sebab, ketika terjun ke lapangan, psikolog klinis akan menghadapi klien dari beragam latar belakang itu.

Sekarang ini, saya berani dah bilang bahwa menjadi psikolog itu nggak gampang. Bukan cuman nguras otak, tenaga dan duit, melainkan juga harus punya banyak keterampilan. Apalagi menulis laporan asesmen untuk kepentingan praktek, kita tentu saja akan memberikan laporan pada klien setelah mereka menjalani serangkaian asesmen (observasi, wawancara dan dengan bantuan alat tes psikologi). Kita tentu saja akan mengkomunikasikan apa sih masalah yang sebenarnya dialami oleh klien dan bagaimana dinamikanya. Laporan itulah yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan ketika memberikan intervensi. 

Kalau dokter salah mendiagnosis penyakit pasien dan salah ngasih obat, maka nyawa pasien akan terancam. Begitu pula psikolog. Salah mendiagnosis problem atau gangguan yang dialami klien, maka salah pula intervensi yang akan diberikan dan tamatlah hidup sang klien. Parahnya, kalau semua salah dari awal, rusaklah reputasi psikolog di mata masyarakat.

Oh My God.... Susah juga ya jadi psikolog itu. Nah, bagi yang mau kuliah di psikologi, (seperti yang pernah saya bilang), luruskan dulu niatnya dan tekunlah. Kalau nggak serius, mending nggak usah sekalian kuliah psikologi. Bukannya nakut-nakutin. Kuliah di jurusan manapun itu butuh komitmen. Tantangan setiap semester apalagi kalau udah ngambil profesi itu semakin tinggi dan beragam. Kalau nggak kuat untuk survive, bisa ketinggalan. Psikologi itu bukan cuman sekadar membaca karakter orang, bla bla bla.... Bukan! Tugas psikolog itu pertanggungjawabannya besar, di hadapan klien, masyarakat dan juga Tuhan. 

Nah buat yang udah kelelep di jurusan psikologi khususnya magister profesi, lanjutkanlah langkah itu. Hadapi tiap tantangan. Belajar lebih rajin dan membaca lebih banyak lagi. Kuasai psikopatologi secara mendalam. Intinya, jangan main-main!

Saya berharap banget, semoga semester ini sampai akhir, ada lah ya yang bisa saya kuasai dari sekian banyaknya konsep psikopatologi. Semoga nggak cuman bisa lulus cumlaude, tapi kelak bisa mempertanggungjawabkan tugas dan gelar psikolog ini di hadapan Tuhan. Aamiin...

Semangaaat!!!

PUSKESMAS BUTUH PSIKOLOG

pic by multiplesclerosis.net

Setiap kelas pak La, pasti kelas mapro '14 datang sebelum jam 8. Karena kalau udah lewat jam 8, bakal dikunciin pintu. Alhamdulillah, setidaknya temen-temen yang lain udah pada disiplin dengan jadwal. Terus hari ini, tadi, teman-teman yang tidak masuk minggu lalu, dapat tugas presentasi. Hehehe...rupanya apa yang mereka presentasikan tidak sesuai dengan tema mata kuliah. Bapaknya pun senyum-senyum nyindir gitu aja. 

Menarik sekali setiap masuk kelas Pak La. Beliau ngajar 2 kali seminggu. Satunya hari Senin, kelas Karya Ilmiah 2 dan satunya lagi kelas Intervensi Komunitas Jumat. Ada aja topik atau quotes menarik yang kami peroleh dari Bapaknya. Saya selalu nge-share di Facebook. Contohnya waktu ada kelas Intervensi Komunitas, begini deh kutipan omongan Bapaknya waktu itu yang udah saya tulis di FB pake kata-kata sendiri:

Intervensi itu memang harus diberikan oleh tenaga spesialis profesional. Meskipun di Indonesia ini misalkan dalam satu hari berhasil menelurkan 1000 psikolog, masalah kesehatan mental yang ada tidak akan cukup terselesaikan. Sebab, psikolog ada pula yang akan menjadi bagian dari masalah tersebut (artinya semua orang pasti punya masalah termasuk psikolog). Oleh karena itu, perlunya membangun kesadaran di lingkup masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan mental.

*Memang sih. Sempat baca juga di data WHO, ternyata jumlah psikolog khususnya di Indonesia sendiri masih jauh dari jumlah yg diharapkan. Berarti sampai detik ini masih ada kesenjangan rasio antara kebutuhan tenaga profesional dengan jumlah "kasus" kesehatan mental yg semakin hari semakin bertambah.Euum...selain itu, masyarakat perlu diberikan psikoedukasi mengenai kesehatan mental dan bagaimana mencegah terjadinya gangguan mental. Semakin tinggi tingkat pengetahuan masyarakat, maka semakin meningkat pula kesadaran untuk menjaga kesehatan (mental).

Lalu, kalau ada yg nanya, "Kalo semua orang tahu solusi preventifnya terus.. ntar psikolog jadi nggak laku dong?!"

Jawabannya, "Ooh tenang aja. Justru dengan begitu, akan semakin tinggi pula kebutuhan masyarakat terhadap tenaga spesialis profesional seperti psikolog. Nah, kalo ada yg gak sembuh-sembuh juga setelah diberi psikoedukasi kan bisa menghubungi psikolog untuk konsultasi atau terapi di tempat praktek."


Begitulah pelajaran di pengantar awal pembuka matkul IntKom. Jadi, Bapaknya itu ngasih semangat buat kami semua biar nggak menyesali jurusan yang dipilih. Toh, semua jurusan itu baik, tergantung bagaimana kita memandang dan menilainya.

Saya jadi ingat juga kata dosen (Bu Is) yang waktu itu pernah bercerita bahwa lulusan psikologi di Jogja sekarang enak banget. Jadi, salah satu kampus negeri di sana tuh udah ada link dengan pemerintah setempat. So, tiap ada mahasiswa profesi psikologi yang lulus, mereka akan rekomendasikan untuk bekerja di sebuah puskesmas. Waah..subhanallah, Setidaknya dikasih pilihan bidang pekerjaan dah buat psikolog. Kenapa dipilih puskesmas? Karena ternyata di Indonesia, tempat yang paling membutuhkan tenaga psikolog saat ini adalah puskesmas. 

Etts...jangan salah. Tiap mahasiswa program profesi psikologi yang kelak praktek profesi kerja juga akan digilir ke puskesmas. Jadi, nggak hanya praktek di RSJ, tapi juga puskesmas, lapas, dinsos dan sekolah. Dari tempat-tempat itulah, kami akan mencari dan mengumpulkan 7 kasus psikologi untuk akhirnya kami presentasikan sebagai bahan/salah satu syarat kelulusan. Jadi, nggak cuman ngerjain thesis. Kami pun juga akan menghadapi ujian di hadapan pihak HIMPSI.

Oya, mengenai pekerjaan atau praktek psikolog di puskesmas, nggak jauh beda juga sih sama dokter puskesmas. Yaaa... kalau ditanyain bayarannya berapa, tentu nggak sebanyak ketika bekerja di biro praktek sendiri, di perusahaan atau di rumah sakit. Kata dosen, tiap hari ada saja pasien yang datang konsultasi ke psikolog. Cuman, di puskesmas itu posisi psikolog lebih kepada pengabdian. Oh..oh..oh... Miris juga sih. Kalau pasien yang datang mampu, bisa aja narik bayaran. Apalagi kalau udah dikasih terapi, lumayan kan. Tapi, kalau nggak berpunya, yaa... kita harus pake jiwa sosial. Nggak papa juga sih. Yang namanya psikolog itu emang pekerjaan sosial. Nggak melulu nyari duit. Cuman kalau untuk mencari biaya hidup, tentunya harus nyari pekerjaan lain sebagai pendamping kalau mau bekerja di puskesmas. Tahu sendiri kan berapa gaji dokter puskesmas? Yaa nggak jauh beda lah sama mereka. Malah Bu Is sampai nyeletuk, "Yaa sebenernya miris juga sih kalau bahas masalah gaji di puskesmas. Cuman mau gimana lagi, sekarang ini memang puskesmas di beberapa titik di Indonesia sangat membutuhkan tenaga psikolog."

Selain itu, masyarakat menengah ke bawah juga masih perlu diberikan psikoedukasi mengenai kesehatan mental, bagaimana merawat dan mencegah terjadinya gangguan mental. Oya, anyway, psikoedukasi itu jangan dipikir semacam penyuluhan gitu ya. Sekarang, penyuluhan bin cerama itu nggak banyak guna. Psikoedukasi itu banyak macamnya, bisa dalam bentuk paling sederhana kayak brosur atau booklet dan lainnya. 

Pengetahuan masyarakat bawah mengenai psikologi dan embel-embel di dalamnya pun masih sangat minim. Belum lagi kasus pasung-memasung yang kerap kepergok karena pengetahuan mereka mengenai solusi terhadap pasien gangguan jiwa terutama skizofrenia yaa masih sempit banget. Seolah kembali ke zaman pre-scientific banget, di mana salah satu solusi dan perlakuan yang diberikan kepada orang dengan gangguan mental adalah pemasungan atau diisolir ke tempat terpencil yang jauh dari warga. 

Mereka takut dengan gejala-gejala orang dengan skizofrenia yang kerap disamaratakan--sama-sama suka menyerang. Padahal nggak semua orang dengan skizo begitu loh. Skizofrenia itu banyak tipenya. Jadi, pemasungan itu sangat jelas bukanlah solusi yang manusiawi. Kasihan banget kan, orang dengan skizofrenia di daerah terpencil masih saja dipasung dan malah lebih sadis lagi, ditempatkan di kandang. Biar gimanapun mereka itu manusia. Jadi, perlakuan yang diberikan juga harus sesuai dengan asas hak kemanusiaan. Nah, inilah salah satu pe-er bagi para calon psikolog. Setidaknya, mulai dari psikoedukasi itulah, kita bergerak memberikan informasi kepada masyarakat, khususnya kaum menengah ke bawah.

Yap, demikianlah curhat saya kali ini.
Nanti kalau ada topik menarik yang saya bawa dari kelas, akan saya share lagi di sini. Insya Allah. 
Semoga bermanfaat ^^