Pages

HOW TO HANDLE WORKPLACE CONFLICT

"Speaking without Thinking is like Shooting without Aiming." 
-Ancient Proverb- 


Long time no see...
Thanks for all my silent reader in here..
Sudah memasuki bulan Mei. So excited soalnya Mei itu adalah momennya si blog ini ulang tahun. Blog ini sejak Mei 2011 mulai beroperasi (tsaah... kek mau launching mobil aja ya pake kata beroperasi). Sekarang udah 2018 jadi udah 7 tahun. Wow... 7 tahun saya ngeblog meskipun dengan time schedule yang berantakan, maksud saya, udah mulai jarang-jarang ngeblognya karena harus multi-tasking.



Alhamdulillah tepat di bulan blog anniversary ini, saya juga udah dua bulan lebih bekerja di kampus. Kampus mana? UMM lagi cuy. Hahaha... Kalo ada yang bilang, kok di situ-situ aja sih? Kok nggak nyoba ke luar aja sih? Udah gans, tapi ya untuk saat ini rejekinya berlabuh di kampus sendiri. Yaa.. untuk saat ini saya berkiprah di sini dulu sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih saya kepada salah satu dosen saya (yang udah nawarin saya pekerjaan ini walaupun bukan dia pimpinan langsungnya). Alhamdulillah juga, status pekerjaan saya sekarang lumayan naik level dikit lah jadi instruktur lab psikologi dengan embel-embel universitas, which is setara dengan karyawan UMM pada umumnya. Karena masih baru, jadi SK-nya masih belum turun jadi belum bisa ngurus ID Card sama lainnya. But, it's seems..not bad lah, daripada saya luntang-lantung di rumah cuman ngerjain itu-itu aja.

Kok agak nggak nyambung sama judulnya ya.

Kembali ke topik yang mau kita bahas. Judul ini bukan semata-mata saya comot dari pikiran mentang-mentang karena saya udah dapat kerjaan, bukan juga pengen gibah karena ini lagi ramadhan (oya betewe, happy fasting ya) dan bukan juga karena saya mau sok-sok jadi pakar resolusi konflik. Bukan. Kepikiran buat nulis tentang topik ini karena... di mana pun kita kerja dan apapun pekerjaannya, pasti akan ada konflik. Konflik apakah itu? Pastinya berbeda tiap orang tiap lembaga tiap perusahaan.

Konflik adalah situasi dimana terdapat suatu ketidaknyamanan atau adanya tujuan, emosi atau kognisi yang tidak kompatibel di dalam sebuah perusahaan/lembaga/tempat kerja atau antara individu atau kelompok yang mengarah pada interaksi oposisi. Konflik bisa terjadi karena adanya ketidaksesuaian/pertentangan dengan pihak atau orang lain menyangkut kebutuhan. keinginan, persepsi, nilai, gagasan, sumber daya, minat, tujuan, kepribadian dan pendekatan dalam penyelesaian masalah. Dan... konflik adalah sesuatu yang normal terjadi sebagai bagian dari kehidupan berorganisasi, bekerja dan berinteraksi.

Di awal-awal semester genap ini, saya sudah menghadapi konflik. Sebagai instruktur yang tugasnya menjadi perantara dosen dengan mahasiswa, banyak hal yang bisa aja terjadi. Miskomunikasi terkait jadwal perkuliahan, RPS, hingga terkait cara mengajar dosen ditambah mahasiswa jaman now yang udah kalo ibarat Bon Cabe tuh mungkin udah di atas level 30. Why? Mahasiswa jaman now itu udah nyaris-nyaris setara aja sama seorang kritikus, apa-apa dikomen, dapat tugas dari dosen susah sedikit aja dikomenin, dikeluhin de es be de es be...Syukurlah mereka nggak kayak penyanyi dangdut yang ngomenin segala sesuatunya pake dilagukan. Padahal teknologi tu udah canggih. Antara instruktur, mahasiswa dan dosen udah diwadahi Grup Whatsapp. Eh, tapi ada aja alasan mahasiswa nih, yang kalo buka WA saking udah panjang banget notifnya jadi males baca. Ya, salah siapa dong kalo ketinggalan info???

Di semester ini, saya kedapetan matkul Tes Psikologi Lanjut yang isinya adalah praktikum tes proyektif. Dua dosen yang saya dampingi pun mempunyai karakter/ciri khas mengajar yang sedikit berbeda dibanding dosen-dosen lain dalam jajaran pengampu matkul itu. Jadi, saya awalnya juga udah nggak shock karena udah tahu jam terbang dosen-dosen tersebut dan pola pikirnya dan lainnya. Yang jadi konflik adalah bagaimana memenej supaya meskipun ada dosen yang keurutan RPS berbeda dari dosen lainnya, mahasiswa tetap memperoleh tugas yang sama dan jadwal praktikum seperti kelas yang diampu dosen lain.

Overall, semua bisa saya atasi. Mahasiswa pun udah paham, dan saya juga sering berpesan dan mengabarkan kepada dosen pengampu bahwa ketika mereka nggak masuk dan saya yang mengisi materi, saya selalu minta untuk dikoreksi apabila ada penjelasan saya yang nggak match atau menyimpang banget. Alhamdulillah dosen-dosen tersebut pun juga memahami bahwa meskipun saya udah S2 tapi nggak menutup kemungkinan kesalahan dalam penyampaian maksud dan tujuan iu muncul karena berbagai sebab.

Selain konflik terkait perkuliahan, saya pun juga merasakan (mungkin orang lain juga pernah merasakan hal serupa dengan saya) satu problem. I mean, problem antar pribadi. Sebenarnya nggak ada konflik yang gimana-gimana banget sih dengan rekan sekerja. Cuman secara personal dan di luar teknis pekerjaan, ada values dan persepsi yang mana saya nggak bisa match dengan rekan. Apakah itu? Berhubung saat ini badan saya masih kurus, jadi saya kerap mendapatkan "bualan" tentang body shamming di tempat kerja. Saya pribadi sih udah terbiasa dipanggil kurus, karena toh in fact, i'm thin. Namun, satu yang cukup saya pahami bukan berarti saya membenarkan "bualan" atau candaan dari orang lain adalah komponen kata yang dirangkai membentuk sebuah persepsi. Persepsi itulah yang membuat saya gerah. Iya, karena sungguh, saya juga pengen banget kok gemuk. Saya juga nggak tahu kenapa track record BMI saya jadi menurun meski udah makan dan ngemil banyak dan hepi aja. Mungkin karena riwayat kesehatan saya dulu yang buruk jadi efeknya baru terasa ketika saya benar-benar berubah jadi kurus.

Saya nggak bisa terima saat mereka berkata bahwa saya "memelihara cacing". Note it, tiap tahun saya minum obat cacing loh ya. Dan ada timing dimana saya memperbanyak buah-buahan bervitamin tinggi agar imun saya bisa terjaga sekalipun saya sedang sakit-sakitnya.


Saya juga nggak bisa terima saat mereka berkata bahwa saya "nggak doyan makan", "nggak doyan ngemil". What? Bahkan kalian boleh kok liat sendiri porsi saya sekali makan itu jauh lebih banyak dibanding orang gendut kalo lagi makan. Toh, mereka nggak tiap 24 jam penuh melihat saya kan, jadi di luar jam kerja, mereka juga nggak tahu kan saya makan apa aja dan berapa banyak.


Tapi lama-lama saya mencoba untuk "bodo amat" dengan persepsi mereka yang kayak gitu. Dalam hal ini saya mencoba sejenak berpikir pragmatis demi well-being saya sendiri. What? Saya mencoba untuk berpikir positif bahwa lagi-lagi setiap orang punya "warna" nya sendiri-sendiri dan buat saya, kebahagiaan saya nggak boleh dicarut-marutkan hanya karena dan oleh omongan sarkas dan sinisme dari orang lain. Ya know mereka ingin juga menyampaikan maksud di baliknya semacam ada sisipan bahwa rumput tetangga (read: berat badan) orang lain jauh lebih hijau (read: ideal/bagus/bohai) daripada rumput sendiri. Tapi, kalo saya terus-terusan berpatokan pada hal itu, lalu saya nggak bahagia hanya gara-gara omongan itu, kapan saya mau hidup tenang? Iya nggak sih?

Saya bahkan selalu menampik dengan ujaran pujian untuk menghargai diri sendiri sambil berceloteh begini, "Ah, iya sekarang aku kan lagi latihan jadi girl band ala-ala korea gitu deh, yang BBnya sama semua."

Ada masanya bunga itu bersemi dan daun meranggas. Ada masanya pula kok saya bisa gemuk. Ya, saya yakin. Bisa gemuk suatu hari nanti dan nggak perlulah saya mengucap mereka akan terkesima melihat saya in the future. Hahahah... kepedean gueh.. Ini hanya menggurau aja kok supaya intimidasi tersebut nggak bakal ngefek ke persepsi saya terhadap diri sendiri. Atau dengan kata lain, saya nggak ingin membiarkan persepsi orang lain kemudian membuat saya benci pada diri sendiri.


Next, how to handle when workplace conflict exist?

Coba deh kalian baca salah satu buku terbitan McGraw-Hill tentang sumber dan resolusi konflik. Atau, kalo kalian pernah baca Five Conflict Management Style yang diidentifikasi oleh Thoman dan Kilmann, maka mungkin kalian bisa mencobanya tuh.


Conflict Management Styles | Michelle Bañuelos | Pulse | LinkedIn


Jadi, menurut Thoman dan Kilmann, gaya manajemen konflik itu ada 5 tipe. Nah, melalui 5 tipe tadi, kita juga bisa mengidentifikasi orang ini nih termasuk asertif ataukah kooperatif dalam memenej konflik (seperti gambar di atas tuh. Mau dibahas satu-satu nggak? Okke, kita bahas deh ya.

  1. Accomodating, Orang dengan tipe ini persis seperti slogan, mendahulukan kepentingan kelompok daripada kepentingan pribadi. Dibilang ngalahan, nggak juga sih. Cuman lebih bisa membangun emosi yang positif dengan lebih mendengarkan apa yang dibutuhkan orang lain dan perusahaan, percaya bahwa relasi itu adalah hal penting daripada hal lainnya, dan pendekatan accomodating ini dalam penyelesaian masalah akan efektif apabila pihak lain sudah mempunyai solusi terbaik sehingga bisa beradaptasi dengan keputusan atau solusi yang disepakati bersama.
  2. Avoiding, tipe pendekatan dimana seseorang dengan ciri seperti ini tidak ingin terlibat dalam konflik apapun. Bagi mereka, saat ada konflik, mereka membiarkan orang lain yang memutuskan dengan catatan asalkan diri mereka nggak disangkutpautkan dengan masalah yang terjadi. Orang kayak gini juga cenderung mengutamakan keuntungan pribadi atas solusi yang ditetapkan oleh orang lain namun dirinya sendiri nggak mau berkontribusi.
  3. Collaborating, orang dengan tipe pendekatan ini adalah mereka yang tidak berparadigma win and lose, buat mereka saat ada masalah, nggak ada yang untung atau rugi dan nggak ada yang menang dan kalah. Bagi mereka, bekerja/berusaha mencapai tujuan bersama dan "menang" bersama merupakan hal pokok. Orang kayak gini juga pandai mencari solusi yang dapat disepakati atau dapat bermanfaat bagi kepentingan bersama, mampu memantai ketika ada kres dalam relasi antar individu atau kelompok dan mampu berpikir kreatif dalam memecahkan masalah.
  4. Competing, orang dengan tipe pendekatan ini adalah mereka yang menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang banyak. Mereka ingin didengarkan dan dipenuhi kehendaknya tanpa memikirkan orang lain, nggak bisa diajak kooperatif alias keras kepala banget, mudah mengacaukan suasana dan relasi dan paradigma win and lose itu kepake banget. Tapi sebenarnya pendekatan ini akan berguna jika memang outcomenya sangat penting dan memang ada dalam situasi sangat mendesak alias harus mengambil keputusan dalam waktu singkat.
  5. Compromising, ini merupakan level pendekatan yang moderate, nggak yang asertif tapi juga nggak kooperatif. Orang seperti ini menganut paham bahwa ketika berada dalam situasi mencekam dan solusi yang diputuskan tidak cukup baik, maka semua orang mau nggak mau harus ngerasain "ketidakbaikan" atas konsekuensi dari solusi itu nantinya. Dengan kata lain, apapun solusinya dan konsekuensinya, akhirnya kudu sama-sama impas dah daripada nggak sama sekali.


Nah, apapun pendekatan manajemen konflik yang digunakan, semua pasti ada sisi positif dan negatifnya. Tinggal kita aja yang siap apa nggak menghadapi dan memutuskan.


Oke, sekian dulu ya, semoga bermanfaat.