Pages

Q AND A SEPUTAR PSIKOLOGI UMM

Hai,
Belakangan ini nggak tahu kenapa gitu ya saya jadi hobi banget kepoin Youtube ketimbang nonton drama Korea. Banyak tayangan dari beberapa vlogger yang bikin saya amazed and inspired. Haha...
Dan, beberapa waktu ini saya sering banget nonton vlogger yang bikin semacam Q & A a.k.a. Questions and Answers gitu deh. Jadi, saya pengen aja gitu ya bikin yang serupa cuman ini bedanya via Blog. Gapapa ya, saya juga nggak punya channel Ytube.

Q and A kali ini saya ambil dari beberapa email yang pernah masuk ke saya. Q and A ini khusus membahas tentang email-email seputar kuliah di psikologi ataupun yang pernah nanya tempat saya kuliah. Semoga bisa membantu. Mungkin ini gak semua sih, saya coba posting yang saya ingat dan masih saya simpan aja ya.


  • RV: saya pengen nanya soal ujian masuk mapro psikologi UMM dan jadwal pendaftarannya kapan ya mbak? Saya juga tertarik sama mapro klinis anak, ada tips dan tricks buat FGD dan wawancara?
Jadwal pendaftaran mapro ngikutin jadwal pendaftaran maba di kampus/universitas terkait ya. Kalau di UMM, jadwal daftar maba itu dibagi menjadi 3 gelombang, gelombang pertama itu sekitar bulan Maret, gelombang kedua bulan Mei dan gelombang ketiga bulan Juli/Agustus.

Ujian masuk mapro nggak jauh beda sama ujian pas masuk jadi maba, kalau di mapro tesnya ada tes TPA (potensi akademik), tes pengetahuan seputar psikologi, wawancara, tes kepribadian, dan untuk FGD itu optional sih, kalau saya dulu nggak pake FGD, nggak tahu deh kalau jaman sekarang, pakai apa nggak.

Tips wawancara, nggak ada deh kayaknya. Hahaha... tapi yang pasti nanti ditanyain kenapa pilih mapro, ada biaya nggak buat kuliah mapro, apa siap keluar dari pekerjaan kalau kuliah mapro. Kalau saya dulu, karena saya juga alumni UMM S1, jadi pas wawancara nggak ditanyain aneh2, cuman ngobrol-ngobrol ringan soal aktivitas sehari-hari aja.
  • QP: Untuk biaya SPP di UMM berapa ya mba sekarang? Dan untuk persiapan tes masuknya kira-kira seperti apa saja tesnya mbak?
SPP di UMM untuk psikologi S1 berapa ya, hahaha... soal angka i'm not sure... lupa sih.. Coba aja langsung tanya ke bagian pendaftaran, nanti dikasih brosur yang isinya ada list biaya per fakultas. Kalau tes S1 sama aja kayak tes-tes SMPB atau yang setara dengan itu ya.
  • NCN: Biasanya banyak ya mbak yang daftar di UMM dan tesnya apa saja?
Hahaha... buanyak gengs... Bisa sampai ribuan. Tesnya seperti tes SPMB pada umumnya, tes pengetahuan umum, tes psikotes de el el..
  • DP: Di UMM untuk profesinya khusus klinis ya dan untuk magister psikologinya khusus apa saja? Apa ada pendidikan?
Iya, di UMM khusus klinis karena ingin beradaptasi menyetarakan dengan standar APA (American Psychological Association) yang menyebutkan bahwa profesi psikolog itu adalah psikolog klinis. Kalau untuk konsentrasi yang lain untuk mapro nggak ada, cuman klinis aja. Kalau pengen pelajari banyak konsentrasi/minat lain, bisa ambil magister sains psikologi ya.
  • FD: Saya baca opini publik tuh begini, ngapain ambil jurusan psikologi, 10-15 tahun ke depan bakal serba robot, trus gunanya psikolog apa dong. Opini yang membuat saya bertanya-tanya apakah benar atau tidak. Kalau menurut Kakak bagaimana?
Ya, itu kan opini. Tiap orang punya pandangan/pendapat masing-masing. Kalau kita bergerak hanya karena "nurutin opini" orang lain terus, lalu kapan bisa ambil keputusan dong?! Coba deh baca, sekarang ini bukan hanya penyakit fisik saja yang makin bervariasi, tapi gangguan/sakit mental pun mulai menjadi bahan perbincangan sekaligus perhatian dunia terutama dari WHO. Udah tahu kan kalau tiap tahun ada digelar Hari Kesehatan Mental Sedunia? Gunanya psikolog ya untuk membantu mereka-mereka yang mengalami gangguan mental atau minimal mengedukasi masyarakat yang masih awal mengenai gangguan psikologis supaya bisa ditegakkan fungsi preventif sedini mungkin.
  • AF: Saya ingin tau Kak bagaimana jurusan psikologi itu? motivasi kak, saya kelas 12 bentar lagi mau kuliah.
Jurusan psikologi bagaimana? Gimana-gimananya, mending dijalanin sendiri deh, nanti bakal tahu kuliahnya kayak gimana.. Hehehe.. kalau saya ngejelasin, nanti jadinya subjektif.
  • RP: Kalau di UMM itu psikologinya untuk IPA bukan? Soalnya pas aku baca blog kakak kayaknya IPA gitu, koreksi kalau salah ya. Oh ya, aku juga pernah denger kalo psikolog anak itu masuk ke klinis, bener nggak? Tapi di sisi lain aku juga ingin masuk ke jurusan neuroscience and psychology. Aku tahu jurusan ini karena unsur ketidaksengajaan.
Kalau di UMM, gak mesti IPA, IPS atau lainnya. Mau kamu dari jurusan Bahasa pun nggak masalah. Oh, kalau pernah baca blog saya, emang saya ini dulunya SMA jurusan IPA jadi mungkin yang saya tampilkan di postingan lebih banyak tulisan-tulisan yang mengarah ke klinis ya.. heheh ya itu karena saya memang ambil klinis dan sejak S1 saya memang meminati bidang klinis.

Neuroscience, bagus tuh, dan masih jarang banget yang menguasai bidang itu. Saya pernah denger di Universitas Brawijaya Malang ada mata kuliah sekaligus dosen yang khusus mengajarkan tentang neurosains.
  • AD: Saya baru mau masuk di UMM juga jadi belajar tesnya pada waktu matrikulasi? Tapi ada yang bilang kalau matrikulasi itu isinya perkuliahan umum saja seperti pengenalan iptek dan lain-lain. Selain itu perkuliahan nanti belajar apa saja mbak? Dan apakah kalau selesai nanti ada ujian untuk mendapatkan gelar psikolognya sendiri?
Belajar tes waktu matrikulasi, what do you mean? Nggak paham nih sama pertanyaannya. Matrikulasi pas mapro itu (khusus mapro UMM ya) kita belajar perdalam penguasaan alat-alat tes, administrasinya, skoring dan interpretasinya ditambah belajar pengetahuan umum seperti bahasa inggris dan aplikasi internet.

Di perkuliahan belajar apa aja? Waduh banyak, hahaha... kayaknya nggak mungkin deh saya sebutin semua. Supaya lebih greget mending langsung eksekusi, daftar aja ya dan nikmati sensasinya hehehe...

Ujian untuk mendapatkan gelar psikolog, ada. Namanya ujian HIMPSI tapi sebelumnya, saya mau ngejelasin rentetannya. Pas semester tiga dan empat, sudah mulai PKPP (Praktek Kerja Profesi Psikologi) di tiga tempat yang diacak secara random meliputi Sekolah/SLB atau Lapas, RSJ dan terakhir di Puskesmas (ini untuk klinis ya, karena di UMM klinis, kalau di univ lain mungkin berbeda karena peminatannya beragam juga). Nah selama tiga putaran PKPP itu akan ada ujian kasus. Ujian kasusnya banyak, ada ujian Internal setiap dua minggu, ada ujian Komprehensif untuk menguji kelayakan tujuh kasus, dan terakhir ujian HIMPSI untuk menguji apakah layak/tidak dinyatakan sebagai psikolog dengan seluruh arsip pengalaman PKPP yang dijalankan itu. Baru setelah itu lanjut ngerjain Tesis untuk dapatin gelar M.Psinya. Jadi pas lulus nanti, akan ada Sumpah Profesi Psikolog. Dari prosesi sumpah, kita diberikan Sertifikat Sebutan Psikolog atau SSP dan Surat Izin Praktek Psikologi atau SIPP.
  • FF: Kak, apakah kalau ingin menjadi psikolog harus S1 dan S2 profesi? Kalau misal S1nya dari jurusan non psikologi, apa boleh nanti kuliah S2 ambil psikologi?
Iyap, harus linier. S1 psikologi dan S2 Profesi Psikologi untuk menjadi Psikolog. Kalau S1 non psikologi boleh kok ambil S2 Sains Psikologi tapi bukan untuk menjadi profesi psikolog ya, tapi jadi ilmuwan psikologi.

TEMAN YANG COMPASSIONATE ITU PENTING



Mainstream memang saat kita dengar orang bilang, "Kalau berteman itu jangan pilih-pilih."
Ada benarnya tapi bagi sebagian orang yang lain mungkin menerapkan prinsip berbeda, maksud saya sebagian orang yang lain mungkin lebih selektif dalam memilih teman dan ada juga sih orang yang memilih berteman sama si anu atau si inu karena punya "level" yang sama. Level yang saya maksud di sini adalah level status sosial, harta, jabatan/kedudukan, pendidikan dan sejenisnya.


Saya pribadi, untuk inner circle, saya memang selektif memilih teman, teman dalam artian yang benar-benar akrab atau biasa disebut sebagai sahabat. Tapi, kalau cuman teman se-perkenalan doang, saya tidak menerapkan standar harus begini begitu. Kenalan dengan siapa saja, tapi teman yang benar-benar saya anggap teman dan yang tahu/paham saya mungkin hanya sedikit.


Despite of that, saya nggak menyeleksi inner circle pertemanan berdasarkan hal-hal yang bersifat fisikal atau artifisial seperti status, profesi, pendidikan dan sejenisnya itu. Di dalam inner circle saya adalah mereka, orang-orang yang sangat berharga bagi saya.

Kenapa mereka so precious for me? Karena mereka bisa berempati dan paham bagaimana cara berempati. Sebagian yang lain menurut saya juga ada yang sudah masuk dalam tahap compassionate friend. Jadi, bukan sekadar empati, melainkan mereka tahu bagaimana memperlakukan orang lain dengan tepat. Tepat dalam artian memenuhi komponen compassion yang sesungguhnya.

Ya, intinya, kenapa punya teman yang compassionate itu penting dan kenapa menjadi orang compassionate itu baik? Berikut ya saya jelasin apa itu compassion.

Before that, saya mau cerita dulu. Kemarin saya emang nulis tesis yang mana salah satu variabelnya adalah self-compassion. Sebenernya, self-compassion ini tuh berasal dari filosofi Buddhism atau Buddha. Kok saya ngambil itu, mau belajar Buddha kah? Heheh pertanyaan ini se-frontal pertanyaan dosen pembimbing II saya saat itu yang mempertanyakan kenapa sih pilih variabel yang menurutnya berseberangan. You know what I mean, tapi literally, variabel ini loh umum, udah banyak penelitian yang pakai variabel itu tapi belum banyak yang mengaitkannya dengan variabel lain, include self-care ability.

Sekilas terlihat sama namun sebenernya self-compassion dan self-care ability itu beda loh ya dan memang sejauh ini belum saya temuin penelitian yang bener-bener ngungkap hubungan keduanya. Ya karena saya pakai variabel terikat Life satisfaction (terutama pada lanjut usia) jadi variabel self-compassion saya posisikan sebagai moderator, soalnya kalau sebagai variabel bebas biasa, saya nggak nemuin jurnal pendukungnya dengan self-care.

Memang saya suka dengan hal-hal yang menurut saya masih awam atau minimal belum banyak yang pakai di lingkungan kampus, gitu aja lah. Dan, ternyata variabel self-compassion (mungkin) belum familiar di kampus saya, kecuali pernah satu dosen saya zaman S1 dulu, ada tuh penelitiannya mengenai compassion yang dikaitkan dengan variabel lain atau mungkin ada mahasiswa yang pernah neliti cuman saya aja yang nggak tahu.

Dari penelitian saya ini, saya banyak belajar dari variabel compassion or self-compassion. Beyond our empathy, ternyata compassion is further than that. Ternyata, setelah saya baca, empati itu semacam gateaway to compassion, semacam pondasi awal sebelum akhirnya orang bisa atau layak mencapai tahap yang disebut dengan compassionate. Keren kah ih istilahnya, ketjeh parah gimana gitu, hahah...

Compassionate is study-able. Sangat bisa dipelajari atau diasah. Ya, dengan banyak-banyak dan sering-sering berempati, sama diri sendiri juga kepada orang lain. Oiya, selain itu, compassion ini juga bisa diasah dengan cara meditasi. Iya, meditasi. Kalau nggak ngerti apa itu meditasi, coba deh baca-baca tentang Adjie Silarus, dia itu salah satu pakar meditasi di Indonesia loh dan udah banyak memberikan training kepada orang maupun instansi.

Meditasi itu memberikan manfaat yang sangat baik gengs. Salah satunya adalah mendatangkan kedamaian di hati. Nah, orang-orang yang compassionate itu cenderung tenang, nggak neko-neko, cinta damai, segala sesuatu berusaha dipikirkan dengan tenang dan matang.

Baca: Meditasi Oleh Adjie Silarus

Jadi, empati itu adalah how we feel what someone feel by imagine their position, their problems. 

Tapi, compassion jauh dari itu lagi.

Compassion is we know what others feel, we accept it, we holding it, and we realize that we all want or pass the same things out of this world. Jadi, compassion itu terdiri atas tiga komponen pembentuknya. Memperlakukan diri dengan baik atau penuh kasih sayang dan begitu pula memperlakukan orang lain (Self-Kindness); Menerima bahwa permasalahan, penderitaan, kesulitan, musibah/bencana, ujian yang terjadi merupakan salah satu bagian dari kehidupan dan dialami juga oleh orang lain. Hal inilah yang membuat kita bisa merasakan kasih sayang kepada sesama. Inilah yang dinamakan Common Humanity; serta menyadari dan menerima berbagai peristiwa yang terjadi juga menerima pikiran dan perasaan positif maupun negatif yang muncul tanpa menghakimi, menyangkal atau melebih-lebihkan/over-identifikasi (Mindfulness).

Udah jelas kan kira-kira, compassion itu seperti apa?

Right!!

Teman yang compassionate itu nggak mesti kok berasal dari background pendidikan yang tinggi, nggak harus dia itu orang yang berpenampilan rapi, nggak mesti kok dia itu orang yang berasal dari keluarga terpandang atau punya status sosial dan profesi di tempatnya. NGGAK MESTI.

Sometimes, kita justru menemukan teman atau orang-orang compassionate yang hidup atau penampilannya sederhana, atau mungkin dia yang diberi label "nakal" tapi di belakang layar dia banyak melakukan hal-hal yang bermanfaat buat orang-orang sekitarnya meski orang lain nggak pernah tahu atau melihat kehidupannya dengan dekat. Who knows ya.

Seseorang yang compassionate bisa mengerti cara berpikir dan perasaan orang lain. Lebih dari sekadar empati. Dia juga memahami bahwa menghakimi orang lain atau hidup orang lain secara sepihak itu bukanlah hal yang baik. Karena setiap orang pasti mengalami fase dimana hidupnya berada di "atas" maupun di "bawah", terpuruk maupun bahagia, menjadi buruk maupun menjadi baik. Dia meyakini bahwa itu semua adalah proses yang pasti dialami oleh semua manusia di dunia namun hanya saja beragam bentuk permasalahan dalam hidupnya. Orang yang compassionate juga bisa mengerti bahwa setiap orang punya hak untuk diterima, hak untuk dicintai, hak untuk diperlakukan secara adil, hak untuk diberi kebebasan dan hak-hak lainnya.

Teman yang compassionate kira-kira kayak gitu deh. Sekilas mungkin definisinya tampak sempurna, tapi yang namanya manusia nggak ada yang bisa sesempurna itu tanpa cacat. Tapi setidaknya, teman yang compassionate nggak akan dengan mudah menghakimi. Ketika kita terjatuh atau sedang mengalami kesulitan atau sedang menghadapi masalah besar, dia nggak akan mempertanyakan seolah nggak percaya kalau kita benar-benar kesulitan. Dia nggak akan banyak nanya, tapi justru merangkul dan memberikan penguatan atau dorongan supaya kita bisa menghadapi situasi serta mengambil keputusan dengan baik tanpa dia perlu ikut campur atau tanpa dia bilang "Nggak mau tahu."

Terutama teman untuk si keras kepala. Seseorang yang keras kepala cenderung punya pendirian yang teguh, sekali A tetap A sekalipun sudah dibilangi atau dilarang, tetap saja dia gaspol. Ketika ada temannya yang berkata "Nggak mau tahu" atau "Terserah" atau mungkin mengatakan sesuatu yang mencerminkan pemaksaan kehendak, kemungkinan temannya itu belum bisa menjadi teman yang baik untuk si keras kepala ini. Semua orang memang bebas untuk melakukan atau memutuskan apapun tapi ya mungkin kalimat yang harusnya dikatakan oleh si teman ini alangkah baiknya diproses dulu. Ada beberapa orang yang nggak tahan mendengar kalimat negatif, tapi ada juga yang kuat-kuat aja. Kalau dia memang betul-betul temannya si keras kepala ini, seharusnya dia nggak berkata kayak gitu. Kalau memang dia nggak mau ikut campur, seharusnya nggak berkata-kata seperti itu. Ya, tapi orang mah terserah lah ya, mulut-mulutnya... Cuman itu aja sih, kita boleh-boleh aja punya ciri khas frontal tapi kalau mau frontal, liat dulu siapa orang yang kita hadapi, nggak semua orang bakal bisa menerima kefrontalan kita loh dan begitu pula sebaliknya nggak semua orang juga bisa menerima kejujuran kita. Intinya, lagi-lagi berhati-hati jugalah dalam "berucap".

Yap, teman yang compassionate itu tahu cara menempatkan ucapan dan tindakannya pada timing yang tepat.

Nah, gimana kalau contohnya kita berhadapan dengan teman yang lagi kesusahan. Susah dalam hal finansial contohnya. Kemudian, misalnya kita ngajak dia hangout atau ikut acara tertentu yang berbayar. Kemudian teman kita yang lagi susah ini menolak karena memang lagi susah. Pantas nggak kalau kita ngomong, "Emang seberapa mahal sih cuman bayar segitu aja?" Gimana kalau kita ada di posisinya lalu dikatain kayak gitu, apa nggak mikir kalau teman kita ini bakalan tersinggung.

Kata-kata tadi "Cuman bayar segitu aja." seolah-olah sok nganggap semua orang yang ada di dalam lingkup kita adalah orang yang sama. Mungkin, mungkin pendidikan atau profesi sama, tapi bukan berarti harus disama-samain dalam beberapa hal lainnya. Kita nggak tahu kan, barangkali dia lagi susah karena sedang banyak keperluan, sedang mendapat musibah, sedang kehabisan tabungan, atau lainnya. Apakah akal kita sependek itu untuk langsung men-judge kayak tadi? Toh, bukan kita yang dirugikan kan? Memangnya, dengan ngomong kayak gitu, kita mau bayarin dia? Sudi kah? Belum tentu kan? Jadi, udah deh ah, santai aja gitu loh, toh hidup-hidup orang jangan sampai segitunya dicampurin.

Sekalipun misal kita sama dia ini satu profesi, sependidikan, kita nggak bisa dong ya pukul rata bahwa semua orang yang ada di sekitar kita punya "standar" dan "kondisi" yang sama atau "harus disama-samain". Jadi, mending pikir dulu deh sebelum ngomong kayak gitu. 

Dan satu hal lagi, teman yang compassionate itu bukan teman yang tukang gosip. Saya juga pernah sih dikasih petuah atau lebih tepatnya larangan atau alarm atau reminder dari si abang superman.

He said, "Usst... jangan suka gosip, nggak baik, jangan ulangi lagi ya." Yap, he always teach me some good things and I feel grateful." 

Jadi, kalaupun saya mau curhat sama dia, saya udah jarang bahkan mungkin hampir nggak pernah lagi sih curhat atau cerita-cerita gosip yang gajebo yang nggak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Ya, ya, ya... kalau dia tahu saya nulis macam terima kasih ke dia, pasti dia bakal besar kepala (emang kepalanya gede).. haha.. canda ding, But, itu emang bener. Sejauh ini, dengan apa yang udah terjadi, dia udah banyak ngajarin ini itu. Kadang kalau saya lagi bersikap annoying, dia ngajarinnya ekstrem, dibalas nggak baik kayak semacam proyeksiin apa yang saya lakukan, HAHAHA...but it works on me! 

Mungkin bukan pure ngebalas, cuman mau mencerminkan aja perilaku saya yang jelek itu yang udah bikin kesel itu kayak gimana supaya saya sadar dan nggak ngulangi lagi. Aiiih, okay deh. Gracias, Mijn.

Udah ya, segitu aja dulu tulisan dari saya. Heehehe... peace...