Pages

KEKURANGAN VITAMIN INI BISA MEMICU DEPRESI

Welcome back dear,




Udah lama gak posting hal tentang psikologi. Postingan ini sebenarnya udah saya draft kemarin, sisa di-publish aja. Kemarin saya scroll ke akun Flipboard dan menemukan topik menarik seputar depresi dan kaitannya dengan nutrisi.

Kalo kekurangan vitamin tertentu bikin kita jadi lemes, kurang darah, kurang tenaga, itu sih udah mainstream kita denger. Tapi, pernah gak sih kalian kepikiran bahwa saat kekurangan konsumsi vitamin-vitamin ini, maka itu artinya sama aja dengan sedang ngebukain pintu supaya kedatangan gangguan psikologis.

Bagi yang pernah tahu, congrate deh, itu artinya kalian emang suka baca dan melek terhadap pengetahuan baru. Bagi yang belum pernah tahu, sini deh merapat, kita bincang bareng. Berhubung juga di blog ini banyakan silent reader-nya ketimbang yang aktif komen (entah mungkin malu, takut, sungkan atau lainnya), gak papa. Tapi next biar lebih asyik, tinggalin komennya juga yah, itung-itung kita tukar pikiran/opini juga.


Depresi. Bagi yang selalu ngikutin tulisan di blog ini pasti udah pernah baca postingan saya tentang gangguan depresi. Depresi itu merupakan salah satu gangguan mood yang rentan dialami oleh orang banyak. Bukan hanya pada orang dewasa, depresi juga bisa dialami oleh remaja.


Kita udah sering denger dan baca kalo depresi itu cenderung lebih banyak disebabkan oleh faktor sosial dan genetika. Namun, belum banyak dari kita yang familiar dengan faktor biologis sebagai salah satu faktor penyebab depresi.

Apa aja sih faktor biologis yang dapat memicu depresi? Adalah karena adanya gangguan sistem regulasi dan/atau perubahan keseimbangan hormon di dalam tubuh seseorang bisa menyebabkan timbulnya depresi. Gangguan atau ketidakstabilan hormon ini, jika kita tarik dalam lingkup bahasa lebih luas, banyak lagi penyebabnya. Salah satunya adalah akibat kekurangan vitamin. Yap, kurangnya konsumsi vitamin tertentu bisa menyebabkan ketidakseimbangan produksi hormon bahkan defisit hormon di dalam tubuh. Bahaya juga ya ternyata.

Vitamin apa aja yang saat kekurangan itu bisa lead us to depression?

VITAMIN D

Kurangnya asupan vitamin D (ketidakcukupan vitamin D sebesar 20-30 nanogram/mililiter) bisa memicu timbulnya gangguan psikologis dan penyakit fisik seperti  kanker, osteoporosis, penyakit kardiovaskuler, diabetes, depresi dan gangguan mental lainnya (). 

Vitamin D ini merupakan vitamin yang paling banyak dibutuhkan oleh tubuh daripada vitamin lainnya. Vitamin D juga sangat berperan penting dalam meregulasi hormon-hormon lain. Nah, kekurangan vitamin D ini nih bisa menyebabkan tubuh turut kekurangan hormon-hormon penting  seperti testosteron pada pria dan progesteron serta estrogen pada wanita. Ketiga hormon ini merupakan bagian dari hormon yang diperlukan untuk mengatur keseimbangan suasana hati. Kalo kita kekurangan progesteron, estrogen dan testosteron maka bisa memicu timbulnya depresi dan gangguan mood lainnya.

Jadi nih, vitamin D itu gak hanya berfungsi untuk mengatur kalsium dan fosfor buat tulang supaya gak osteoporosis, melainkan juga punya fungsi sebagai pengikat vitamin lain dan pengatur hormon supaya meminimalisir gangguan psikologis. Menarik sih ya, ternyata emang fisik dan psikis itu saling berdampingan satu sama lain.

Apa yang harus dilakukan atau adakah makanan yang harus dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan vitamin D?

Sun and light exposure alias bertemulah dengan cahaya/matahari. Paparan sinar matahari yang baik itu saat pagi hari sebelum jam 10. Saya jadi teringat dengan ibu-ibu yang selalu bilang kenapa bayi itu harus dijemur, saya pikir cuma ritual mitos aja, tapi ternyata ada manfaatnya juga. Bukan cuma bayi atau jemuran loh ya, kita pun memerlukan cahaya matahari. Keluar rumah dan berjemur sekitar 20-30 menit di bawah cahaya matahari pagi itu sangat baik supaya senyawa-senyawa tertentu dalam tubuh bisa dikonversi menjadi vitamin D. Nah, beruntunglah ya buat kalian yang tinggal di daerah tropis.

Paparan sinar matahari ini ternyata membantu menstimulasi tubuh untuk memproduksi vitamin D. Nah, daripada beli vitamin bentuk suplemen dengan harga yang mahal, mending pake yang gratis aja, hahaha... Kalo bisa, rumah kita dicat pake warna yang terang dan kudu punya ventilasi yang memadai supaya cahaya bisa tetep masuk ke dalam rumah ya.

Buat kalian yang mau gak mau tinggal di area atau kawasan rumah yang gelap/minim cahaya matahari seperti di daerah pegunungan dengan cuaca dingin yang ekstrim, kalo menurut penelitian psikologi sih, orang-orangnya cenderung lebih mudah mengalami Seasonal Affective Disorder.

Mengkonsumsi beberapa makanan sumber vitamin D. Menurut Holick (2007), sumber makanan yang baik untuk dikonsumsi guna mencukupi kebutuhan vitamin D antara lain berasal dari sumber makanan alami yakni ikan berlemak seperti salmon, tuna, sarden, mackarel, minyak ikan kod, jamur shitake dan jamur kancing, dan telur. Kemudian dari sumber makanan fortifikasi antara lain jus jeruk, susu formula bayi, yoghurt, susu, mentega, margarin, keju dan sereal.


VITAMIN B6 DAN B12

Dilansir dari artikel terpublish Weill Cornell Medical College (2010), vitamin B6 dan B12 sangat dibutuhkan guna membentuk neurotransmitter. Neurotransmitter berupa senyawa dopamin dan serotonin ini berperan penting dalam meregulasi afeksi atau mood pada otak.

Nah, buat penderita depresi atau gangguan psikotik dan mood lainnya biasanya dikasih obat antidepresan kan ya. Obat-obat antidepresan itu kan mahal. Buat orang-orang yang gak punya dan harus tergantung sama obat itu dalam jangka panjang, belinya pasti mahal. Bukan berarti lantas gak mau konsumsi obat sih, karena memang udah takdir mereka harus minum obat terus. Tapi, sebagai pelengkapnya, mereka juga baiknya diberikan makanan sehat yang kaya akan vitamin supaya proses pemulihan (dalam arti bisa sehat, segar bugar) lebih cepat.

Apa aja sih, sumber makanan yang bisa dikonsumsi untuk memenuhi kecukupan vitamin B6 dan B12?

☺ Makanan sebagai sumber vitamin B6: Gandum utuh, buncis, kentang panggang, jus, pisang, bayam, dada ayam, daging sapi, cabe.

☺ Makanan sebagai sumber vitamin B12: Kerang, keju lembut, daging kambing, ikan, kepiting, yoghurt, milk, gandum, dan daging sapi.



Nah, ettss, bentar dulu ya, trus dari artikel tadi nih, ada saran dari Food & Fitness Advisornya loh. Apa aja sih sarannya?
  • Sumber makanan bervitamin baiknya dimasak dengan cara yang tepat. Supaya kandungan vitaminnya gak hilang, masaklah dengan cara direbus atau dikukus, dan dipanggang. Hindari memasak makanan dengan cara digoreng yang mana makanan berminyak dari hasil menggoreng itu hanya akan menambah lemak jenuh yang bisa menimbulkan kolesterol dan gak baik buat yang lagi diet.
  • Pilihlah makanan yang rendah lemak
  • Sebelum mengkonsumsi sayur-sayuran, hendaknya dicuci sampai bersih supaya zat-zat sodium yang kurang baik dan pestisidanya tereliminasi.
  • Buat yang vegetarian, sebaiknya penuhi asupan dengan meminum suplemen dalam bentuk tablet atau kapsul vitamin.
Gimana dear, mantap kan pengetahuan kali ini. Semoga bermanfaat yah.


UNEMPLOYED: SABAR DAN TERUS USAHA


------------------------ 
"You'll be fine. You are 25. Feeling (unsure) and lost is part of your path. Don't avoid it. See what those feelings are showing you and use it. Take a breath. You'll be okay, even if you don't feel okay all the time"
-Louis CK-


Sumber: Pixabay

Usia 20-30 tahun  adalah masa-masa produktif seseorang. Gak jarang juga orang dengan usia segitu mengalami banyak permasalahan. Salah satunya karir. Giliran udah wisuda jadi fresh graduate, tapi belum dapat kerja. Ada yang udah dapat kerja, tapi harus resign karena lagi hamil dan repot ngurusin anak. Ada juga yang rela bertahan di tempat kerja meski gak sesuai sama minatnya (bukan passion-nya) dan karena takut gak berpenghasilan lagi kalo sampe resign. 

Dua puluh tujuh menjelang 28 pada Januari tahun depan, saya masih begini-begini aja. Udah lima bulan saya nganggur pasca wisuda Mei lalu. Banyak lamaran pekerjaan yang udah saya apply, tapi belum ada yang kunjung memanggil untuk tes dan wawancara. Yang ada saya malah mendapat penolakan lantaran pernah apply ke salah satu perusahaan televisi swasta namun kualifikasi pendidikan saya dianggap ketinggian (karena saya pakai ijazah S2 sementara yang dicari minimal S1 tapi job desc-nya itu lebih pantas dikerjakan oleh lulusan S2 profesi). Ya udin lah. Mungkin emang bukan rejeki saya kerja di pertelevisian.




Satu dua bulan ngerasain nganggur sih masih biasa-biasa aja. Tapi lama-kelamaan, saya pun jenuh. Jenuh karena lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan rutinitas yang gak ada bedanya dengan hari-hari kemarin. Nyapu, ngepel, masak (kadang), nyuci, makan, tidur, main hape, baca-baca, liat youtube, anter Mama ke pasar. On repeat. Again and again.

Pernah sih berkunjung ke kampus pas ada job kilat dari salah satu dosen. Saya diminta bantuin revisiin jurnal beliau dan dari itu saya dapat sangu. Lumayan lah buat dipake beli kebutuhan pribadi. Jadi, lumayan juga buat ngendaliin diri gak minta duit ke Mama. Malu lah. Gini-gini saya juga tahu diri. Sebagai anak pertama, masa harus minta melulu. 

Di saat-saat nganggur gini, selain dapat ujian "sulitnya mencari pekerjaan", kesabaran hati pun diuji. Beberapa waktu lalu, salah seorang teman chat. Tumben-tumben juga sih dia nge-chat duluan. Saya pikir dia mau ngundang acara, tapi ternyata niatnya pengen silaturahmi. Awalnya sih saya nanya, apa aja kesibukannya. Lama gak denger kabar, rupanya dia lumayan memperlebar sayap. Dia banyak ikut event psikologi dan pekerjaan sosial. Trus si deseu ngomong kalo dia sebenarnya pengen ngajak saya untuk nimbrung di acara psikologi-psikologi gitu tapi deseu takut ngasih tahu karena dikiranya saya cuma mau ikut kalo kerjaan itu menghasilkan duit. Ya Allah... gak segitunya juga kali. Realistis emang perlu. Gimanapun kita butuh uang untuk melanjutkan hidup, buat makan biar ada energi untuk beraktivitas. Tapi sesekali bekerja untuk masyarakat juga perlu supaya kita tahu cara menghargai hidup, tahu gimana itu hidup susah, bisa ngerti posisi orang lain, sekaligus ngajarin diri gimana cara ngabdi dengan ngaplikasiin ilmu secara lebih efektif ke masyarakat meski tanpa fee.


Balik lagi soal kesabaran yang diuji. Saya juga gak mau munafik tapi juga gak mau iri hati. Saya pun juga manusia yang kadang saat melihat manusia lainnya bisa lebih berkembang, saya jadi ngerasa minder dengan diri saya yang justru belum apa-apa. Saya belum juga dapat kerja, mereka udah punya kerjaan. Mereka bisa dengan mudahnya ikut event namun saya... saya pun sebenarnya pengen ikutan tapi uang dari mana? Gak lucu kalo saya harus minta lagi dan lagi ke Mama. Pas saya lagi ada uangpun, saya bela-belain untuk disimpan lebihnya supaya saya bisa beli sabun, skincare dan barang kebutuhan pribadi lainnya tanpa harus minta ke Mama. Ya, kadang sih kalo pas saya bener-bener gak ada uang, Mama beliin saya pembalut atau apalah itu yang sifatnya personal.

Melihat teman udah selangkah menuju sukses, membuat saya gak lantas langsung iri, melainkan jadi bikin saya banyak mikir. Mikir kira-kira waktu yang sangat luang ini saya gunakan untuk apa ya. Saya pun udah nyoba ngirim beberapa tulisan ke situs online cuman mungkin gak bisa seterusnya karena gak ada perjanjian yang solid untuk jadi kontributor di situ sih. Belum lagi, uang dari hasil buku (yang saya tulis sendiri) udah gak sebanyak dulu bahkan sering juga sih gak dapat bayaran. Saya juga pernah hanya sekali dibayar oleh salah satu penerbit dan setelah tahun berganti, saya gak pernah lagi dapat bayaran atau minimal laporan penjualan (ada penjualan atau gaknya) dari penerbit yang bersangkutan. 

Dari empat buku yang saya pernah tulis, ada tiga penerbit berbeda yang menaungi saya. Penerbit pertama dan kedua transparan tapi penerbit yang saya titipin satu buku saya ini, seolah raib, udah gak pernah ngasih laporan apapun ke saya dan kurang respect entah kenapa sih kalo ditanyain gitu. Jadi, ya udah deh, saya maafin. Anggap aja, mungkin buku saya di penerbit itu udah gak laku sama sekali, jadi semuanya dihibahkan, mungkin ya mungkin tapi gak tahu lagi. Saya juga cukup tercekik dengan besarnya pajak royalti dari menulis buku dan jadi mikir, mau nulis lagi apa gak ya habis ini? 

Dengan pajak yang sangat besar (yang persoalan ini pernah diangkat oleh Bang Tere Liye di akun sosmednya), penulis cuman dapat sedikit. Kalo saya bilang sih dikit banget. Selebihnya royalti itu dibayar ke penerbit, buat pajak di tokonya juga, biaya produksi dan lain-lain. Kalo ditanya fair gak? Gak tahu juga sih harus jawab iya atau gak. Cuman yaa... ambil positifnya aja. Tiap pekerjaan  dan sistem kerja samanya itu pasti ada plus dan minusnya.


Supaya semangat gak down, saya kadang baca-baca biografi orang-orang sukses. Banyak sih menurut saya, orang-orang yang dulunya dipecat dari kerjaannya, resign bahkan menganggur dalam waktu lama. Tapi, mereka bisa memanfaatkan waktu luangnya itu dengan menciptakan sebuah pemikiran dan produk baru yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Contohnya aja si Bapak Suiciro Honda. Beliau dulunya dipecat dari tempatnya bekerja kemudian mendirikan perusahaan otomotifnya sendiri. Beliau sangat meminati dunia otomotif dan waktu nganggurnya digunakan dengan sangat baik. Si Bapak Honda sampe bikin skuter, bikin velg, dan alat-alat lain. Banyak banget gagasan baru yang langsung dieksekusi oleh Bapak Honda. Belum lagi, beliau juga punya skill marketing yang hebat sehingga bisa mengantarkan dia pada kesuksesan memasarkan produk-produk ciptaannya itu. Beliau juga pernah kok ngerasain masalah finansial sampe bangkrut tapi setelah itu dia bangkit lagi dan memperlebar karirnya hingga terjun ke Formula 1. Produk-produknya pun sampai sekarang masih bisa kita pakai. Yap, motor dan sparepart-nya dengan atas namanya itu.

Meski nganggur, emang harus tetap produktif. Produktif dalam arti mencari dan mewujudkan ide-ide kreatif nan segar, berani menantang diri untuk melakukan hal berbeda dari waktu ke waktu. Contoh kecilnya aja, kalo sebelum-sebelumnya gak pernah bikin kue (kayak saya), biar gak bosen ngelakuin itu-itu doang, coba sesekali eksperimen bikin kue. Failed sih pasti ada, tapi nanti lama-lama juga pasti bisa.

Saya juga kembali nekuni menulis karena udah lama dianggurin juga blog ini. Gapapa lah berbagi cerita dan pengetahuan ya.

Saya juga gak lupa berterima kasih buat orang-orang yang senantiasa nyemangatin dan gak ninggalin saya walau saat ini saya belum jadi apa-apa. Buat si doi, makasih ya udah selalu ngasih support, saat saya gagal ikut tes kemarin, dia juga berusaha nyemangatin, bilang anggap aja itu pengalaman buat ke depan. Kalo saya panik, dia juga sering ingetin supaya saya bisa slow down. Makasih yah. Doain saya lah ya supaya bisa cepet dapat kerja juga. Saya kan juga pengen gitu bantu cari duit buat bekal kita nikah nanti gitu. Amin.

Makasih juga buat dua sahabat yang selalu ngasih wejangan dan motivasi walau raga kita berjauhan. Dua temen SMA ini ngebuat saya jadi merasa punya kakak dan sahabat. Mereka berdua adalah orang yang sampe detik ini masih kontak saya. Saya juga bersyukur punya mereka dalam hidup saya. Makasih ya. Semoga kalian di sana sukses juga. Amin.

Buat kita-kita yang masih nganggur, tetep semangat, sabar, usaha dan doa. Gak ada yang gak mungkin kok kalo kita terus usaha. Seperti kata Bapak Honda, "Kesuksesan itu dihasilkan dari 99% kegagalan dan 1% usaha."

Bismillah semoga someday, saya bisa kerja, di mana pun itu, semoga gak lama lagi saya udah bisa kerja. Uppss.. lebih tepatnya semoga bisa berkarir dan berpenghasilan. Bisa nabung buat masa depan. Bisa investasi. Bisa buka usaha mewujudkan impian lainnya. Amin.

MATEMATIKA: YAY OR NAY

"Do not worry about your difficulties in Mathematics. I can assure you mine are still greater."
-Albert Einstein-

Saya pikir, tidak ada mata pelajaran/mata kuliah yang mengajarkan hal buruk pada manusia. Namun, gak semua mata pelajaran atau mata kuliah bakal disenangi oleh semua orang, kan? 

Gimana dengan Matematika? Mata pelajaran satu ini pasti bakal kita temui di mana pun, bahkan mulai dari TK hingga kuliah, kita pasti bakal ketemu sama pelajaran satu itu. Ya kan? Kalian yang udah kuliah pun pasti bakal ketemu Matematika dalam bentuk Statistik meskipun kuliahnya di jurusan yang berhubungan dengan ilmu sosial.





Flashback ketika masih sekolah dulu. Waktu TK hingga SD, saya suka banget belajar berhitung, ya penambahan, ya pengurangan, perkalian sampai pembagian. Senang aja gitu rasanya pas belajar Matematika, apalagi waktu guru ngasih pertanyaan, siapa yang bisa jawab harus ngacungin tangan supaya bisa dapat nilai. Saya juga masih ingat pas kelas 4 SD, saking semangatnya, saya sampai dimarahin guru karena angkat tangan terus pas guru saya ngasih pertanyaan. Kok yang jawab, saya mulu, yang ngacung pertama saya mulu, yang lain ke mana??? Sian deh gueeh.. Kok ya lagi semangat-semangatnya mau jawab pertanyaan di saat semua murid lagi malas, eh malah kena marah. Ya udin deh ah ya, saya diam aja habis itu.

Tapi, pas masuk SMP, saya merasa pelajaran Matematikanya kok ya makin rumit ya. Gimanapun juga, mau gak mau saya harus lebih giat belajar Matematika karena saat itu saya terpilih sebagai wakil sekolah untuk mengikuti ajang pemilihan siswa dan siswi teladan. Tiada hari tanpa briefing dan pengayaan. Tiap pulang sekolah, saat semua teman udah pada pulang, saya dan satu teman saya yang jadi wakil untuk siswa (laki-laki) gak bisa langsung pulang karena masih harus ikut pengayaan, belajar materi-materi soal yang akan diujikan saat perlombaan. Kebayang malas dan capeknya otak ini Tuhan digenjot tiap hari. Tapi, udah lumayan sih pas terpilih jadi juara III murid teladan bareng temen saya yang cowok itu. Seneng sih iya, cuman sayangnya saya jadi ketinggalan banyak pelajaran di kelas karena setiap minggu, gak pasti hari apa, pasti bakal diijinin cabut dari kelas buat ikut briefing,  pengayaan, dan lomba. Lombanya waktu itupun memakan waktu berpekan-pekan. Yah, kebayang dah rasanya sekolah, masuk cuman bentar habis itu disuruh ke kantor depdiknas, habis itu disuruh balik sekolah lagi ikut pengayaan di saat yang lain udah pada pulang ke rumah.

Saya juga masih ingat waktu kelas VIII atau II SMP, saya pernah mendapat penghargaan karena terpilih sebagai siswi dengan peringkat I umum sekolah. Sontak, temen-temen pada lingak-linguk heran, kaget, speechless, sisanya ikut seneng, sisanya lagi gengges bin gempar gak terima saya dapat rangking I umum. Bahkan temen sekelas yang merasa saya rebut kedudukannya juga sempat gak terima kenapa saya rangking I??? Zzz.... okay, sabar aja ya. Pikir saya, di mana pun sekolahnya, di mana pun berada, pasti ada kok orang yang suka dan gak suka sama diri kita.

Horornya, pernah saya dihadang salah seorang yang fans berat sama temen saya yang selalu rangking I di sekolah itu. Nah, pas giliran sehabis pengumuman, dia tahu rangking I umum itu jatuh ke tangan saya, dia gak terima. Dia sampe gak tanggung-tanggung ngehadang saya pas pulang sekolah terus nodong saya pake sejumlah pertanyaan. Bahkan parahnya lagi, dia menuduh saya pakai jampi-jampi dan itu dia pake acara teriak-teriak di depan umum. DI DEPAN UMUM, DI DEPAN ORANG BANYAK LO YA, dia teriak, EHHHH EMMA PAKE JAMPI-JAMPI, MUSTAHIL DIA RANGKING SATU. ITU FITNAH!!!

Ya, yang namanya manusia, saya kezel dong ya. Yang bikin saya makin kezel adalah dia itu laki-laki (tapi rada bences) yang mirip kayak lambe turah. Gak habis pikir, gimana ekspresi dan reaksi orang-orang sekitar ketika dia dengan heboh dan garingnya ngata-ngatain saya kayak gitu. Dia udah mempermalukan dan memfitnah saya di depan murid-murid seantero sekolah. Tapi, temen-temen saya yang baik pada saya bilang ke saya untuk gak usah ngehirauin apa kata orang. Mereka meyakinkan bahwa pemilihan itu sifatnya fair dan gak ada satupun yang berhak merasa dirugikan.



Semenjak itu, saya jadi mulai malas belajar Matematika. Malas lantaran beberapa minggu setelah pergantian semester, ada beberapa orang yang menyebarkan isu gak benar mengenai pemilihan peringkat umum sebelumnya. Beberapa teman ada pula yang ikut termakan isu itu sampai meragukan kemampuan saya. Saya hampir berada pada titik tersudutkan, terpojokkan. Bayangin aja, pagi-pagi baru tiba di sekolah, beberapa murid udah kongkow di depan kelas sambil bisik-bisik tapi matanya sinis ke saya. Bodohnya, saya merasa semakin ngenes. Gimana gak ngenes karena teman saya yang selalu rangking dulu itu adalah kelompok belajar saya di kelas (dulu kami sistemnya di kelas adalah duduk berkelompok-kelompok mulai awal hingga akhir semester). Acapkali dia masih mecucu bin mendelik yang kemudian membuat saya ingin saja tukaran kelompok. Tapi, teman-teman yang lain senantiasa nguatin saya diam-diam, minta saya untuk gak nyerah gitu aja dan yakin pasti kelak si teman saya yang marah tadi bakal sadar bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh posisi terbaik di sekolah dengan kemampuan belajarnya yang mumpuni.

Saya ngangguk-ngangguk aja dan pasrah. Belum lagi, makin banyak tugas kelompok yang terbengkalai cuman gara-gara masalah "rangking". Yang tadinya si temen saya yang marah itu adalah ketua kelompok, mendadak mau ngundurin diri dari posisinya dan melimpahkan tugas presentasi ke saya. Saya cuman gak habis pikir kalo ternyata bersekolah pada masa itu sangat kompetitif dan gak mudah untuk bisa pertahanin posisi yang udah diraih mati-matian.

Kejadian beneran. Ketika tiba hari presentasi tugas kelompok Matematika, dengan langkah gontai, saya maju ke depan kelas. Bapak guru Matematika (yang mana beliau adalah mantan guru Mama sekaligus teman Mama jaman dulu) sempat menertawai saya yang bertingkah sok lemah lunglai pas presentasi. Pas kelompok lain mengajukan pertanyaan, saya sebagai ketua tentu punya rasa gengsi jika harus terus melimpahkan tugas menjawab pertanyaan ke teman-teman. Minimal sih saya harus menguasai bahan dan bisa menjawab dengan tegas. 

Namun, belum juga saya jawab, semangat saya langsung down ketika Bapak guru nyuruh saya untuk jawab semua pertanyaan tanpa harus minta persetujuan atau bantuan opsi jawaban dari anggota kelompok. MAMPUS gak sih? Udah diketawain guru, temen saya yang masih marah itu acuh gak acuh, belum lagi sorak-sorai dari kelompok lain yang nungguin jawaban dari saya. 

Dengan kekuatan bulan dan bintang bismillah, dengan kalimat terbata-bata, saya mencoba menjawab. Saya paham jika ada teman yang masih gak sreg sama jawaban yang saya kasih tapi alhamdulillahnya tanpa diminta, mereka mengerti posisi dan keluhan saya. Mereka ternyata udah tahu mengenai isu yang beredar tapi sebagian dari mereka justru memaklumi. Maklum jika saya gak bisa maksimal presentasi karena satu, saya gak expert untuk pelajaran Matematika, dua, saya masih terjebak dalam suasana tidak menyenangkan pasca pengumuman peringkat di semester lalu.


Sehabis presentasi, si Bapak guru nepuk pundak saya sambil ngasih wejangan. Wejangannya apa? Saya disuruh lebih gigih lagi belajar Matematika. Belum sempat saya mau ngucap syukur karena tadinya saya kira bakal dimarahin, eh gak taunya si Bapak guru bilang, "Yan, nanti kamu yang jadi wakil di lomba Olimpiade Matematika ya. Kamu harus ikut. Saya udah usulkan kamu." Errrfffgghh..... Entah harus sedih atau marah atau bahagia. Rasanya campur aduk aja perasaan kala itu. Belum lagi disuruh ikut Olimpiade Matematika. MATEMATIKA LAGI??? Padahal jauh-jauh hari, saya udah minta izin ke guru Biologi buat didaftarin Olimpiade Biologi. Saya udah persiapkan untuk Biologi, mati-matian belajar Biologi supaya nilai saya gak meragukan dan supaya bisa ikut sebagai wakil Olimpiade Biologi. Tapi, lagi-lagi, mengapa saya harus dipaksa untuk gak memilih? Mengapa harus Matematika lagi???

Saya cuman senyum dengan raut wajah yang jelas gak ikhlas sewaktu dengerin usulan si Bapak guru tadi. Pengen ngelus dada aja, Pak...

Berasa mimpi buruk tau gak sih. Pagi-pagi harus selesaiin tugas kelompok Matematika yang terbengkalai, harus presentasi dadakan, diketawain, dan disuruh ikut Olimpiade Matematika. Purrrrfeect...

Berjalannya waktu, saya jadi dapat pelajaran berharga. Saya udah pasti dan sangat jelas gagal maju ke babak final Olimpiade Matematika. Belum lagi nilai ulangan blok Matematika saya belakangan banyak yang hancur. Terang aja sih kondisi psikologis saya serasa goyah tak menentu. Bahasa hiperbolanya, seolah sedang berada di titik nadir. Gak tahu kudu semangat dengan cara apa lagi. 

Belum lagi, di ujian Bahasa Inggris, (bukannya sombong tapi ini cerita sebenarnya), kebetulan saya dapat nilai paling tinggi di antara seluruh kelas, dan kemudian guru meminta saya untuk ngajarin teman-teman yang membutuhkan, belum lagi saya kudu diminta pertahanin nilai itu hingga akhir sekolah. Belum lagi ada guru Bahasa Inggris satunya yang minta saya untuk gak pelit bagi ilmu. Apa Pak? Jadi, Bapak pikir saya pelit? Saya gak pelit Pak, cuman saya berusaha untuk gak memberikan contekan, sebisa mungkin supaya tetep fair dan saya juga berusaha untuk gak pernah mau nyontek lagi kalo ada ulangan Matematika (iya dulu saya sempat nyontek sih, tapi udah belajar ngendaliin diri). 

Inilah hidup, menjadi manusia yang sewaras mungkin menyadari bahwa hidup gak melulu harus optimis. Kadang, terlalu optimis itu juga gak baik. Kadang, apa yang kita harapkan ternyata gak kenyataan. Bukan karena salah kita yang gak memperbanyak usaha namun karena situasi yang mengharuskan kita untuk gak membuat banyak pilihan. Seperti halnya ketika saya harus terjebak mengikuti Olimpiade Matematika, harus memikul amanah rangking I umum, mendapatkan nilai Bahasa Inggris (yang kebetulan pada saat itu) nilainya sempurna di antara ratusan murid di sekolah dan masih banyak lagi peristiwa kurang menyenangkan yang bersinggungan dengan dunia akademis di sekolah saat itu.


Bersyukurnya, pas udah mau lulus SMP, teman saya udah gak marah lagi. Kami juga udah gak sekelas lagi karena yang masuk peringkat 10 besar diacak untuk menempati beberapa kelas. Saya waktu itu kedapatan masuk di kelas III.1 (waktu kelas III SMP). Saya merasa merindukan aroma kompetisi yang dulu karena terbukti di kelas tiga, saya teramat santai, sering dapat rangking 1 kelas, ngerasa kekurangan challenges. Ya, saya bersyukur aja sih punya teman-teman pintar dan pernah disinisin teman pintar. Itu berarti saya masih punya kemampuan dan saya menghargai kemampuan saya itu.

Saya pun sadar, mungkin saya gak suka sama pelajaran Matematika akibat pengalaman masa lalu yang gak banget terkait Matematika. Akhirnya, saya malas-malasan setiap ketemu dengan deretan angka yang banyak.

Buat kamu yang gak suka sama pelajaran Matematika, gak masalah kok. Hidupmu gak lantas bakal ending. Kamu masih bisa pelajari dan kembangkan potensi di subject lain yang kamu minati. Mungkin pada bidang ilmu sosial atau bahasa. Kamu juga gak mesti kok jadi anak IPA. Entah keajaiban apa waktu SMA saya bisa masuk kelas IPA. Jujur, saya sering dapat nilai bagus pada matpel Fisika dan Kimia kala itu tapi gak banget untuk Matematika. Nilai ilmu pengetahuan sosial saya pun jauh melambung tinggi namun saya harus mati-matian untuk tetap survive di kelas IPA.



Saya petik aja sebagai pelajaran. Kalo udah tahu saya lebih pintar di ilmu sosial, seandainya saya masuk kelas IPS dulu ya, mungkin saya akan selalu merasa puas, mungkin saya hanya bakal semakin terjebak dengan zona nyaman seperti waktu kelas III SMP. 

Pas masuk SMA kelas IPA, saya semakin kewalahan. Sempat dapat rangking III umum, tapi setelah itu makin menurun. Entah karena semangat yang juga kian surut atau hal lain.

Sekali lagi, saya katakan, gak masalah kamu gak suka Matematika. Tapi, ketika tiba waktunya kamu harus berhadapan lagi dengan subject itu, maka persiapkan diri, challenge dirimu sendiri sebagai ajang untuk menambah wawasan dan meningkatkan kualitas diri. Gak papa kok kalo nilai Matematika rendah. Yang penting ada niat untuk terus belajar.

Bila perlu, coba temukan metode belajar yang bisa membuat kalian betah dengan Matematika. Belajar kan gak harus selalu di dalam kelas. Bisa belajar dari objek-objek yang ditemuin di kehidupan sehari-hari, belajar bareng temen, belajar di internet atau lainnya. 

Kalo kamu pernah membaca artikel bahwa ada penelitian yang menyatakan anak yang gak pintar di Matematika itu karena kekurangan zat besi atau salah ibunya mengandung, stop, jangan terlalu terhasut oleh hasil penelitian. Sekalipun mungkin itu benar, jangan jadikan itu sebagai alasan untuk ogah belajar sama sekali.

Saya juga gitu. Sampai saat ini, saya masih terus belajar. Kadang iseng-iseng nyoba jawab soal-soal yang ada di internet. Itung-itung buat jaga-jaga aja barangkali someday saya dapat panggilan kerja, berharap bisa mendapatkan nilai lebih baik lagi pas ikut tes kerja.

Intinya, jangan pernah menyerah. Terus belajar tingkatkan kualitas diri, minimal dari diri dan untuk diri sendiri. Gak usah dengerin kata-kata orang yang menyudutkan. Tetap recharge diri sendiri dengan hal-hal yang positif dan optimislah dengan kadar sewajarnya.

Yap, sekian dulu ya cerita kali ini. Terima kasih udah nyimak.


KULIAH PSIKOLOGI, EMANG ENAK? (PART 1)



Banyak banget yang nanya ke saya, "Kak, kuliah di psikologi ya? Gimana suka duka kuliahnya? Enak ya Kak kuliah psikologi?"

Pertanyaan itu tuh seolah-olah kayak trending topic banget. Banyak banget yang bolak balik nanya kayak gitu.

Jadi, beneran enak nggak sih kuliah psikologi? Worth it kah? Suka dukanya apa? Ah, banyak banget.
Kalau saya ceritain semua mungkin nggak bakal cukup nih satu postingan doang. Tapi, saya cuman mau bilang, jangan kuliah kalau cuman ikut-ikutan atau hanya karena kamu menilai itu tuh jurusannya bagus, bergengsi atau banyak diminati orang lain. Jangan! Kuliah itu nggak kayak sesantai yang kalian lihat di sinetron-sinetron. Bahkan dulu saat SMP, saya pernah ditanyain temen, "Ma, nanti kamu mau kuliah atau langsung nikah?" Saya tentu jawab kuliah, terus temen saya itu bilang, "Ah, kuliah mah santai pasti, Ma. Coba kamu lihat di FTV, anak-anak kuliahannya begitu semua." Yee.. itu mah fiksi, namanya juga sinetron, film, nggak semua yang kita lihat itu adalah fakta.


Kuliah psikologi, mata kuliahnya ngebosenin nggak sih? Menarik nggak? Menarik nggaknya itu depend on banyak sebab. Mulai dari dosennya, isi dari mata kuliah itu, atmosfer di kelas dan masih banyak lagi. Saya pribadi dari awal lebih tertarik sama mata kuliah klinis. Mungkin karena dulunya saya pernah punya cita-cita masa kecil nggak kesampaian untuk jadi dokter. Karena keterbatasan biaya dan karena saya yang nggak jago Matematika dan karena karena lainnya, saya lepas impian itu.

Saya juga pernah ambil kelas tambahan PIO (Psikologi Industri dan Organisasi) yaitu Anajab (Analisa Jabatan). Saya nyasar ke kelas PIO karena semua kelas tambahan klinis sudah saya ambil dan nggak ada lagi yang baru. Temen saya yang lain banyak ambil kelas Perkembangan tapi saya aja yang menganggap kelas Perkembangan itu ngebosenin (buat saya sih, yang lain fine fine wae). Nyasarlah ke kelas PIO. Kesasaran saya itu bukan nggak membuahkan hasil sama sekali. Justru saya senang, bisa keluar sesekali dari zona klinis. Bertemu dengan teman-teman baru ya walaupun nggak baru-baru banget sih karena sebelumnya pun saya juga udah kenal dan tau hampir semua teman seangkatan. Di kelas itu saya berteman sama satu kakak tingkat dan akhirnya kami ngerjain project bareng. Itu mengantarkan saya pada seseorang yang juga sangat baik dan nilai tambahnya adalah ketemu orang cakep hahahah...wkwkwk.. Ya, mata nggak bisa bohon lah ya kalau ketemu orang cakep mah. Banyak subject baru yang saya pelajari di kelas itu deh pokoknya. Seenggaknya punya sedikit wawasan kalau-kalau saya semisalnya nanti bekerja di perusahaan. (Amin)

Sejak kuliah Psikologi, saya juga hobi ke perpus sendiri. Bolak-balik pinjam dan baca buku di perpus. Saya juga pernah sampai terkunci di perpus, nggak bisa keluar karena lagi break sholat Jumat, perpus dikunci untuk sementara waktu dan nggak akan bisa keluar kalau nggak ada petugas yang jagain. Bahkan.. hahaha.. saya juga heran sendiri ngelihat diri saya, kok saya sering banget gitu ya sok-sokan baca dan pinjam buku yang mana itu tuh English text semua. Ngaco banget. Tapi pikir saya, memang referensi atau buku psikologi yang bagus itu ya yang English version karena banyak yang langsung rekomendasi dari APA kan.

Trus, saya juga pernah nangis. Iya nangis pas praktikum. Oiya, Psikologi itu banyak praktikumnya. Jangan bermimpi untuk loncat S2 Profesi dulu deh ya. Bayangin aja dulu praktikum di masa S1 yang nggak kalah... melelahkan sekaligus menyenangkan. Saya pernah nangis hanya karena "dikerjain" sama kakak tingkat dengan alasan baju praktikum saya nggak appropriate padahal baju saya udah panjang, udah sesuai ukurannya, nggak press body. Jiah emang dasar saya aja yang gampang nangis, Tapi emang kakak tingkat itu super duper usil gak masuk akal memang, dan akhirnya pas saya mau nyusul praktikum, kakak tingkat itu dimarahin. KAPOOK LU! Maap ya, itulah siapa yang menabur pasti bakal menuai. Siapa yang ngerjain, bakal kena batunya bweek...

Trus kalo KKN (Kuliah Kerja Nyata) gimana? Kalo itu yang pasti mahasiswa/i ditempatkan di berbagai daerah tersebar yang udah ditentuin sama kampus, dan pastinya di daerah pelosok. Eum, kalau dulu sih, bagi yang lagi hamil dikasih keringanan bisa KKN Tematik, maksudnya bisa milih atau dipilihkan di tempat yang nggak jauh dari rumah atau tempat tinggalnya gitu. Ya, itu kembali disesuaikan dengan kebijakan masing-masing universitas yah.

Menariknya, kuliah di fakultas psikologi juga kita bisa "berbuat iseng" hahaha bisa sekali-kali pake jurus observasinya gitu. Haahaha... Kalau misal lihat orang lagi ngapain gitu ya, atau misal salah kostum gitu atau apalah yang bisa dianggap nyeleneh oleh mata, anak psikologi pasti bawaannya kepengen ngomen merhatiin dari atas sampai bawah. Kalau saya sih, ambil sisi positifnya aja. Anggap aja latihan buat observasi supaya bisa mendeskripsikan target dan peristiwa secara lebih detail. Tsaakeeeep! Wkkwkwk.. Hahaha, kalau orang atau target observasinya nyadar kamera alias nyadar kalau lagi diamati dan ngerasa awkward, saat itulah tugas kita buat cabuuuut dari tempat itu atau pura-pura nggak tahu kalau lagi dinyinyirin balik. Huhuhu.. habis gimana lagi, resiko kalau lagi nugas di lapangan, sudah pasti bersinggungan dengan subjek yang bernama manusia, jadi mau nggak mau harus siap semisal kita sebagai observer justru dinyinyirin balik atau misal lagi ngelakuin observasi non partisipan terus diperhatiin balik atau bahkan mungkin ditinggalin.. Jiaah, nyari subjek lain deh kan.

To be continue....