Pages

KANGEN

Kadang, aku kangen kamu.
Aku tidak perlu menjadi siapa-siapa yang bukan diriku, tidak perlu berpura-pura terlihat lebih pintar seperti Emma Watson ketika ada di sampingmu.

Kadang, aku kangen kamu.
Sekilas, kamu kadang kurang memperhatikan saat aku mengatakan satu atau dua hal saat kamu menelepon.
Tapi, di lain kesempatan, dugaanku keliru.
Rupanya kamu juga sering sekadar memberi feedback atau bertanya ulang mengenai hal yang tadinya menurutku tak kamu hiraukan.

Kadang, aku kangen kamu.
Kangen meluangkan waktu bersama, apalagi saat hujan turun, semakin deras, tak juga reda.
Entah kamu berpura-pura menahan agar aku tak menyudahi pertemuan kita atau memang kamu sengaja menahan karena ingin kita menyisihkan waktu lebih lama.

Fase kadang aku kangen kamu kini berganti dengan frekuensi sering.

Sering, aku kangen kamu.
Menggambar absurd bin alay yang mana seolah gambar itu merefleksikan tentang kita
Mengirimimu kartun-kartun lucu
Mengganggu kala kamu sedang sibuk.
Menggerutu bila kamu makin tak kunjung menoleh ke arahku.
Sering, aku menggunakan cara komunikasi yang kurang baik, semakin sibuk, semakin kusesaki dengan sejumlah pesan singkat.
Maafkan aku ya
Aku hanya ingin menunjukkan bahwa kangen itu sungguh tak kubuat-buat

Tapi yang membuatku makin cinta karena selepas kusampaikan rasa rindu, teleponmu berdering nyaring.
Yang membuatku terheran,
kala kamu bilang kamu jahat.
Jahat karena memangkas menit telekomunikasi antara kita.
Belum juga rinduku benar-benar terobati, kamu sudah menutup telepon.
Ah, itu bukan jahat.
Hanya saja aku memahami bahwa duniamu bukan hanya tentangku
Ada keluarga, teman, pekerjaan, pikiran-pikiran tentang impian, dan lainnya yang membutuhkan eksistensialismemu.

Melihatmu bertumbuh
Semoga selalu ke arah yang lebih baik
Ku pun ingin bertumbuh
Kadang, kamu memarahiku
Tidak jarang pula nasehatmu memenuhi dinding telinga dan hatiku
Nasehat agar aku terus berprogres
Agar tak gampang menyerah, walau kutahu di sana kamu kadang merasa lelah dengan kesibukanmu
Agar aku bisa menambah keterampilanku, hingga bisa memberdayakan sesuatu
Sering aku kangen kamu
Terlebih saat kutersadar, satu tahun telah berlalu dan kita belum kunjung bertemu melepas rindu

Sering aku kangen kamu
Tidak jarang rasa bosan itu datang
Bosan karena rutinitas masing-masing

Sering aku kangen kamu
Menggebu dan makin mendesak saat kamu mulai menghilang
Menghilang untuk sekadar menetralkan pikiran akibat tekanan yang kamu hadapi di sana
Berapa banyak teori yang sudah kubaca
Bahwa saat seseorang sedang memilih untuk sendiri maka berikanlah ia waktu untuk sendiri, menghibur dan melipur laranya sebelum bersua lagi
Aku tak butuh teori

Sering pun aku kangen kamu
Kangen saat kamu marah besar
Membentak
Salah paham
Malas
Dan sejenisnya
Namun, yang membuatku makin cinta
itu tak berlangsung lama
Kamu pun lekas pulih dan kembali normal

Sering aku kangen kamu
Cepatlah kemari

IT IS OKAY NOT TO BE OK

Sumber: Pixabay


Emang sih udah banyak teori dan penelitiannya kalo Positive emotion menjadi salah satu faktor yang bisa mempengaruhi atau meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang. Ya memang kita selama ini udah terdoktrin dengan kalimat, "Don't worry, just be happy." Tapi kan gak setiap hari dan setiap saat orang itu punya emosi positif, gak setiap hari kita itu hanya dicekoki oleh situasi atau peristiwa yang membuat hati berbunga-bunga. Pasti ada juga kan peristiwa atau situasi dimana mau gak mau emang kita harus ngerasain bad mood, sedih, sebel, marah, jijik, atau kecewa. Emosi negatif yang kayak gini amat sangat adaptif dan occasional yang kita kadang gak bisa kontrol kapan datang dan perginya, tapi emang harus dihadapi.


Alhamdulillah saya sendiri belum pernah mengalami depresi, I mean clinical depression. Dan.. jangan sampai deh. Tapi kalo ditanya berapa kali merasakan kesedihan khusus tahun 2017 ini? Eumm...really do not know sih frekuensinya berapa banyak kejadian yang bikin saya sedih, tapi yang pasti ada. 

Yang namanya kesedihan itu, semua orang pasti ngerasain lah. Gak mungkin ada orang yang gak pernah sedih seumur hidupnya, yakan? Entah sedih karena meninggalnya orang terdekat atau keluarga, sedih karena patah hati, sedih karena dipecat dari tempat kerja, sedih karena gak dapat nilai baik saat ujian sekolah, sedih karena gagal masuk universitas yang dipengenin, sedih karena gak punya duit buat beli popok bayi, atau sedih karena karena lainnya.

Sedih itu adalah hal yang wajar. Sebenarnya, orang yang sedih itu mula-mulanya kebingungan juga apa yang harus dia lakukan agar kesedihannya berkurang? Apa yang dapat mereka lakuin supaya mereka "sejenak lupa" pada permasalahan yang memicu kesedihan mereka? Apakah dengan baca buku, nonton film, piknik, atau lainnya? Orang yang sedih juga cenderung pengen dibiarin sendirian. Kenapa? Kenapa bisa begitu? Soalnya pas seseorang tu lagi sedih-sedihnya, di dalam hati mereka masih ada pergolakan. Iya, hati dan pikirannya lagi berperang melawan perasaannya. 

Psikolog klinis bernama Robin Dee Post, Ph.D mengungkapkan bahwa kesedihan atau sadness itu seringkali dianggap orang-orang sebagai emosi yang negatif padahal sebenarnya sadness itu merupakan perasaan yang adaptif. Hal ini berarti being sad is totally normal, with sadness, we deal ourselves to the painful experiences.


Biasanya, rasa sedih itu terjadinya gak lama-lama. Orang yang sedih gak butuh waktu lama buat move up. Namun, kalo kesedihannya udah berlangsung selama dua minggu bahkan lebih maka waspada ya akan gejala depresi.

Baca: Depresi

Beda lagi dengan grief. Grief kerap dimaknai sebagai kedukaan. Bahkan rasa duka ini bisa jauh lebih lama menetap dalam diri seseorang bahkan lebih lama dari rasa sedih orang yang depresi. Kedukaan ini biasanya identik dengan masalah kehilangan sesuatu atau seseorang yang amat berharga bagi seseorang/atau bagi kita.

Eum, saya pernah baca sih kalo ternyata grief itu punya tahapannya loh. Tadi kan kalo sadness itu dirasainnya gak lama, tapi kalo udah kelamaan bisa aja berkembang menjadi grief. . Orang pertama yang merumuskan tahapan bagaimana sih seseorang merespon kedukaan itu adalah Elisabeth Kubler-Ross. Kubler-Ross ini pernah menuliskannya di dalam bukunya yang berjudul On Death and Dying pada tahun 1969. Di dalam buku itu ada 5 tahapan respon terhadap kedukaan.

FIRST, Adalah Tahap Denial. Tahap ini tuh merupakan tahap short defense yang dirasakan atau dilakuin oleh orang yang lagi sedih. Pada tahapan ini, orang yang lagi berduka atau sedih bakalan menolak kenyataan atau peristiwa yang menimpanya. "Kenapa sih kok jadi begini?" "Ini seharusnya gak terjadi!" Mereka masih berada di fase menolak semua hal yang menyebabkan ia sedih. Gak jarang juga sih ada yang sampai ngelimpahin kesalahan ke orang lain sebagai penyebab kesedihannya. Buat yang sering kena semprot ya, maklumi lah ya hehehe. Orang ini tuh masih belum bisa menerima alias masih dalam proses memupuk kesadarannya terhadap kejadian atau peristiwa yang dialami.

SECOND, Anger. Pada tahap ini seseorang akan merasa sangt marah dan melampiaskan kemarahannya dengan sumpah serapah atau dalam bentuk nyalahin dirinya, nyalahin orang lain dan ada juga yang kadang sampai nyalahin Tuhan. Mereka yang ada di tahap ini bakalan bilang, "Why me?" "Siapa yang harusnya disalahkan sih?", "Ini pasti gara-gara dia nih jadi gini!"

THIRD, Bargaining. "I'll do anything to repair it if I have once more time..." Pada fase ini, orang yang lagi sedih udah mulai slow down dikiit. Mereka udah mulai membangun negosiasi-negosiasi baik pada dirinya sendiri ataupun pada orang yang udah bikin dia sedih. Penawaran ini mereka lakuin karena dalam lubuk hati yang paling dalam, mereka masih berharap semua bisa diperbaiki. Saat mereka tahu udah kehilangan orang yang dicintai karena kematian atau perpisahan, mereka cenderung masih memendam harapan kalo suatu hari bakal balik ke semula lagi andai mereka ngelakuin A atau B atau C.

FOURTH, Depression. Karena belum tahu dan belum nemuin solusi atas kesedihannya, orang yang lagi sedih bisa jadi makin sedih dan terus-menerus berpusat pada dirinya. Orang yang depresi, malah makin menarik diri dari lingkungan, gak mau keluar rumah, gak mau ketemu orang dulu, lagi pengen sendirian dulu katanya sampai-sampai belain cuti beberapa hari dari kerja buat nenangin dirinya, maybe. Makin hari, kesendirian yang dilakuin makin buat orang yang ada dalam tahap ini tuh jadi makin pusing, gak bisa mikir, nangis terus, merasa seolah dirinya lah yang paling menderita karena masalahnya dan mulai terdiskoneksi dari lingkungan sekitar.

FIFTH, Acceptance. Beda orang tentu beda juga ya berapa waktu yang dia butuhin buat sampai ke fase akhir. Fase dimana dia udah mau menerima kenyataan. Menerima. Itu gak gampang loh apalagi buat yang sedihnya bukan sedih ecek-ecek. Gimana dia udah ngelewatin proses berperang dengan hati dan pikiran, gimana dia udah kehabisan suara karena marah-marah teriak gak jelas, dia udah ngelewatin fase dimana dia masih berandai-andai buat balik ke hari kemarin sebelum peristiwa menyedihkan itu terjadi. Fase menerima itu sangat gak mudah. Selain itu juga karena di fase ini, orang yang sedih udah mulai membuka hati dan pikiran buat maafin dirinya, maafin orang lain dan memaafkan kondisi dan juga mulai meminta ampun karena udah nyalahin Tuhan. Just say, "Everything's gonna be OK right now."

Kubler-Ross kemudian bilang dalam bukunya itu sih kalo sebenarnya kelima stages di atas itu gak mesti semuanya dialami oleh orang yang sedih dan gak mesti urut dari denial sampe acceptance. Kesedihan itu kan perasaan yang sangat personal jadi masing-masing orang berproses ke healing juga beda-beda. Tapi yang pasti prosesnya gak jauh dari lima fase itu atau mungkin ada fase dalam bentuk lain, mungkin.

Lalu gimana sih caranya supaya kesedihan atau kedukaan itu bisa berkurang? Accept and tolerate it, not escape from it.  Jonathan M. Adler, seorang Psikolog dari Franklin W. Ollin College of Engineering mengatakan bahwa menerima kompleksitas hidup adalah cara yang bermanfaat untuk memperoleh kesejahteraan psikologis.


Sebel sih emang karena emosi negatif bisa membuat kita bak sedang naik roller coaster. Perasaan jadi gak menentu, pengennya ya sedih, ya marah juga. Tapi penting untuk kita ingat bahwa ternyata memang benar, udah banyak banget penelitian psikologis bahwa ada emosi-emosi negatif yang justru mempunyai dampak positif buat diri kita.

Nah ini, satu lagi pernyataan Joseph F. Forgas (seorang psikolog sosial dari University of New South Wales Australia) bahwa mood yang jelek itu bisa loh mempertajam ingatan jangka pendek, memperbaiki kemampuan komunikasi dan meningkatkan perhatian terhadap hal-hal detail.

Pada tahun 2009, Forgas juga pernah melakukan penelitian kepada 120 pria dan wanita. Seluruh responden itu dibagi ke dalam dua kelompok. Ada kelompok yang diminta menonton film sedih dan juga disuruh mengingat-ingat kenangan buruk dan satu kelompok lagi diminta menonton dan mengingat film serta kenangan yang positif. Hasilnya, kelompok responden yang menonton film sedih dan mengingat kenangan buruk jauh lebih bagus performanya dalam mengungkap dan membongkar kepalsuan mitos perkotaan.

Kok bisa ya hasilnya gitu? Mencengangkan kan? Kenapa bisa begitu, sebab menurut Forgas, status mood itu merupakan sinyal atau radar paling peka dan paling evolusioner yang berguna untuk memudahkan seseorang merespon secara tepat terhadap situasi lingkungan. Nah, kalo emosi kita positif, kita udah pasti bakal mikir yang positif-positif emang ya, tapi beda kalo emosi kita lagi gak bagus, kita justru lebih peka untuk mengungkap banyak fakta dan informasi dan juga jadi lebih perhatian pada hal-hal kecil yang mungkin orang lain gak bisa paham apa itu. Bener banget ini yakan?



So, embrace our sadness dan semoga ke depannya dengan kesedihan itu, kita bisa berproses lebih baik lagi. Biar gimanapun, kesedihan itu kan bagian dari hidup. Jadi, nikmatilah kesedihan itu sebelum nantinya kebalik, orang lain yang sedih karena kita udah berpulang.