Pages

SALAHKAH MEMVONIS ORANG LAIN



Beberapa minggu yang lalu, saya menonton salah satu tayangan di televisi yang berbasis reality show. Ada scene dimana seorang ibu (dengan fisik kurang sempurna) ingin melaksanakan sholat di sebuah masjid. Saat ibu itu hendak memasuki masjid, tiba-tiba keluar seorang bapak-bapak yang kira-kira usianya nggak jauh beda lah sama ibu itu. Bapak itu mengangkat tangan kanannya dengan posisi ibu jari menunjuk ke depan wajah sang ibu tadi sambil melarang si ibu tadi sholat. Alasannya? Bapak itu dengan entengnya bilang karena ibu itu kotor (Bapak itu secara frontal bilang si ibu itu kotor karena melihat si ibu berjalan dengan tangan dan maaf memang nggak punya kaki).


Saya nontonnya aja pakai nangis segala loh, terus saya juga sempat share ke si abang dan dia lebih jengkel lagi sewaktu saya ceritain. Tahukah apa yang dia bilang? Si abang bilang terkadang orang yang menuduh seperti itu mau dikata paling suci padahal imannya bisa aja nol.

WOW!! Saya tercengang juga sih dia bilang gitu, but it's just opinion, don't take it personally ya.

Belum lagi di media sosial yang nggak dipungkiri kita bisa dengan sangat mudah menelusuri laman gosip hanya dengan sekali klik. Lebih-lebih lagi di Instagram.

Saya agak gerah juga sih membaca postingan akun-akun gosip... ya you know lah ya, nggak usah saya jabarin satu-satu di sini. Entah itu bahasan atau singgungan atau battle-an antara haters-nya si ini dan si itu yang katanya suaminya selingkuh (wallahu'alam), ataupun soal artis atau aktor yang salah kostum, tattoo-nya dikomenin atau yang ngubah bentuk hidungnya pakai injeksi filler de el el.. de el el...

VONIS?

Please, ini bukan lagi pengen posting soal hukum atau pengadilan. Kenapa saya pakai kata "Vonis"? Biar greget aja sih, hahaha...

Nggak gitu juga sih. Kata vonis ini agak mirip-mirip gitu sama kata "menghakimi" atau jugding. Berhubung bosan pakai kata judge terus jadi sekali-kali tak apalah yeu. *Alasan aja*

Ahh... sudahlah.

Actually, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, vonis berarti putusan hakim pada sidang pengadilan yang berkaitan dengan persengketaan di antara pihak yang maju ke pengadilan. Memvonis diartikan sebagai menuduh melakukan perbuatan melanggar hukum.

Jadi, biar ngebahasnya lebih enak, nyantai dan nyikologis sesuai tema blog ini, maka saya pakai terjemahan dari kata memvonis tersebut aja ya.

Siapapun kita, dari status sosial macam apapun dan usia berapapun, I believe many of us pernah lidahnya kepleset ngomentarin bahkan menuduh atau memvonis orang lain? Kayaknya nggak ada deh yang nggak pernah nuduh orang lain kecuali kalau orang itu memang malaikat yang turun ke bumi dan pura-pura menjelma jadi manusia. Halah apaan coba...

Sebelum kita ngobrol santai pakai contoh di kehidupan sehari-hari, coba deh kita sama-sama telaah dulu sebenarnya salah nggak sih kalau memvonis orang lain? 

Kapan vonis atau judging itu bisa dipakai dengan tanpa menyinggung orang lain? 

Apa ada yang namanya vonis positif? Judgment positif?

Terus, apa bedanya ya judging dengan assess dan evaluating dalam ranah profesionalisme?

Pada penasaran kan.. Penasaran kaaan?

Iya saya juga sih. Makanya, saya juga sempat kepoin akun-akun Psychology Today dan beberapa akun lain yang pernah membahas tentang itu demi mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas.

Kata vonis tadi sudah saya paparkan ya definisinya. Jadi, kata vonis itu lebih sering digunakan dalam ranah hukum. Saya nggak tahu apa-apa soal hukum jadi CMIIW ya. Cuman, menurut saya, vonis dalam ranah hukum ini sifatnya profesionalisme dan ada syaratnya sehingga ya bisa dianggap sah. Seorang hakim bukan asal ujug-ujug ngejatuhin vonis bagi terdakwa/terpidana. Pastinya ada proses yang panjang sebelum vonis ini bisa ditetapkan *sambil ketok palu*. Vonis ini menentukan hukuman atau tindakan apa yang akan diberikan kepada pihak yang terhukum, entah itu vonis hukuman penjara, bayar denda, hukuman mati, dan lain-lain.

Kata vonis juga sering kita dengar kan ya kalau nonton sinetron-sinetron yang ada scene dokter sama pasien (ketahuan ye kan suka nonton sinetron).... Kata-kata yang sering kita dengar, bahwa si dokter ini memvonis si itu umurnya nggak lama lagi melihat rekam medis dan penyakit yang diderita si itu.

Kok memvonis umurnya nggak lama lagi sih? Emangnya dokter itu Tuhan? Kenapa sih di sinetron atau pembaca berita kadang lebay gitu pilihan katanya harus pakai vonis memvonis segala? Saya juga nggak tahu tapi kayaknya kalau di dunia medis nggak jauh-jauh amat sama psikologi klinis yang pakai kata diagnosa/diagnosis.

Terus, kata vonis? Entah mungkin kata itu dipakai buat nge-hype-in kancah persinetronan dan per-gosipan dan per-socmed-an supaya yang baca jadi greget. 

Tapi, tapi... barangkali habis ini ada mahasiswa kedokteran yang main ke sini, jangan lupa komen ya hehehe.. dan saya mau tahu aja gitu, apa benar kalau di dunia kedokteran itu, para dokter memvonis usia si pasien sekian bulan, sekian tahun bla bla bla? Ya, supaya kita nggak kemakan sama influence dari sinetron dan infotainment dan sosmed aja sih nih karena kadang orang awam yang nggak tahu apa-apa pasti langsung nelan gitu aja informasi atau statement yang mereka dengar.

Nah, kalau di dunia psikologi sendiri. Seumur-umur sih, saya nggak pernah ya denger ada pembaca berita gitu yang menyiarkan bahwa "....si psikolog ini memvonis kliennya mengalami skizofrenia katatonik...." Misalnya aja. Nggak pernah kan denger kayak gitu? Ya semoga aja nggak ada yang begitu karena emang psikolog bukan orang yang kerjanya memvonis.

Di dalam ranah psikologi, kita mengenal kata judging/judgment, assessing/assessment dan evaluation. Ketiga hal itu apakah sama aja artinya? Kalau beda, bedanya apa dong?

Kadang, orang-orang awam pun asal ceplas-ceplos aja tanpa tahu kata judge itu apa sih maknanya dan asesmen juga evaluasi itu bukannya hampir mirip-mirip aja ya dengan kata judge. Dan kenapa sih orang-orang lebih suka pakai kata judge juga sekalian suka nge-judge orang lain?

Merujuk pada definisi yang tertera pada Wikipedia, judgment diartikan sebagai sebuah evaluasi dari berbagai sumber bukti guna pengambilan keputusan. Di Wikipedia-Judgment, judgment itu ada banyak term-nya loh ternyata antara lain informal judgment, informal and psychological judgment, legal judgment, dan religious judgment dan satu additional meaning yaitu personality judgment.

Informal judgment, yaitu opini yang diekspresikan sebagai sebuah fakta.

Informal and psychological judgment, digunakan untuk menyebutkan kualitas kemampuan kognitif maupun kemampuan ajudikasi seseorang, biasanya disebut sebagai kebijakan.

Legal judgment, digunakan dalam konteks persidangan hukum yang merujuk pada pernyataan akhir atau putusan berdasarkan pertimbangan berat ringannya bukti.

Religious judgment, digunakan dalam konsep ajudikasi Tuhan untuk menentukan baik buruknya, surga dan nerakanya setiap manusia.

Additionalnya, yaitu Personality judgment yang diartikan sebagai fenomena psikologis dimana seseorang membentuk sebuah opini tentang orang lain.

I guess, the last additional term of judgment adalah bentuk vonis atau judge yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari dan bahkan mungkin juga kita pernah melakukannya. Ya, we judge other people and we (sometimes) take it personally, namun seringkali menilai orang lain tanpa berdasarkan bukti yang nyata/jelas/pasti yang kemudian judgement/judging ini dianggap sebagai sebuah kata dan sikap negatif. 

Padahal, merujuk pada definisinya di Wikipedia saja, saya pikir sudah cukup jelas sih bahwa judgment itu dipakai dalam empat kondisi tertentu seperti yang saya jelaskan di atas ya. Kata vonis sendiri, itu masuk pada legal judgment ya.

Personality judgment itu memang sangat rawan. RAWAN GHIBAH, RAWAN GOSIP, RAWAN TERHADAP TUDUHAN YANG SIFATNYA FITNAH YANG BERARTI TANPA BUKTI NYATA, TANPA PERTANGGUNGJAWABAN, DAN DENGAN TUJUAN YANG SIFATNYA DESTRUKTIF.

Dalam keilmuan psikologi, para psikolog biasanya lebih menggunakan kata asesmen. Seorang psikolog terlebih dahulu melakukan asesmen yang artinya menilai individu atau kliennya dalam berbagai aspek, baik itu aspek kognitifnya, afeksi, psikomotorik, kepribadian, hubungan sosialnya dan masih banyak lagi. 

Asesmen yang dilakukan pun tentunya dibantu dengan instrumen berupa alat-alat tes psikologi juga melalui proses wawancara dan observasi sesuai dengan kebutuhan serta permasalahan klien. Proses asesmen yang berlangsung pun nggak semata melibatkan klien aja ya, melainkan juga significant others dari si klien yang berarti bisa saja itu adalah keluarganya, temannya, sahabatnya, saudaranya, pacarnya, suami atau istrinya, gurunya, dosennya, rekan kerjanya, dan mungkin juga WIL DAN PIL-nya (pada beberapa kasus juga ada loh yang begini) bahkan mungkin sampai pada pembantu atau tukang sapu jalanan yang sekiranya dapat memberikan informasi tentang diri klien dan pernah berhubungan dengan klien.

Melalui hasil asesmen inilah nantinya, psikolog menemukan simpulan atau putusan akhir guna dicocokkan dengan kriteria diagnosis sehingga memperoleh gangguan atau problem apakah yang sebenarnya dialami oleh si klien serta how or what kind of treatment yang sebaiknya diberikan pada klien untuk mengatasi problem atau gangguan tersebut.

Gimana udah lumayan jelas ya soal-menyoal judgment ini. Jadi, asesmen itu juga merupakan proses judging atau evaluasi tapi dalam ranah legal judgment sama seperti putusan hakim atau diagnosa dokter.

Tapi, semakin ke sini, penggunaan kata judge ini udah banyak disalahartikan karena nggak tahu term of-nya tadi sehingga dicap sebagai negatif. Padahal nggak gitu juga kali. Makanya di zaman sosmed modern sekarang ini kata judge yang kerap dipakai, diumbar, diungkit-ungkit, di-hype-in sampai sebegitunya ya yang sifatnya personality. Seseorang langsung menilai hanya lewat diri/personal/kepribadian orang lain sehingga jatuhnya udah bukan murni evaluasi yang bisa membangun atau penilaian yang akurat tapi justru penghakiman sepihak hanya berdasarkan pendapat.

Yang namanya pendapat itu bisa benar bisa salah ye kan? Namanya juga pendapat, orang pun bisa asal bunyi aja tanpa peduli yang sebenarnya terjadi dan tanpa tahu background dari orang atau sesuatu yang dinilainya. 

Orang bisa aja gitu ngomentarin mie yang dimasak sama si anu itu ya nggak sedap karena nggak ada garamnya padahal dia nggak tahu di balik proses pembuatan mie itu bisa aja si tukang masaknya sengaja kasih garam sedikit karena takut keasinan atau karena takut selera orang beda-beda atau dia mungkin lupa kasih garam.

Orang bisa aja ngomen ih si anu nah kok dia nikahnya sama si itu sih, si itu lo jelek, nggak cantik, nggak ganteng, apanya sih yang dia lihat dari si itu? Kenapa nggak pilih si ini aja sih yang udah jelas bebet, bobot, bibit dari genus dan marga tanaman apa. Ups...

Ngutaraian pendapat itu amat sangat mudah banget. Ada yang pakai diolah dulum ditimbang dulu, sampai ada juga yang nggak perlu ngolah langsung jebret udah deh kelar lo kena komen gue! Misalnya ya.

Tapi, makin ke sini kita karena mungkin kebanyakan makan micin juga jadi mudah mengambil atau terhasut sama pendapat yang kita dengar atau baca. Kalau kita beneran punya otak, harusnya dipikir dulu sebelum menerima informasi, diolah dulu, caranya ya cari tahu sendiri, cari tahu ke banyak orang termasuk cari tahu ke orangnya sendiri, tanya sendiri gimana sih yang bener, biar kita tuh tahu real, fact, nyata, pastinya kayak gimana. Kalau cuman diawang-awang apalagi cuman dengerin celotehan orang yang nggak bermutu, lama-lama proses kognitif kita jadi nggak bisa berjalan baik lagi, karena lebih mudah kehasut sama yang buruk-buruk, pasti bakal sulit nerima informasi yang baik, membangun dan berkualitas. Iya nggak?

Daripada sibuk mantengin akun gosip mulu, coba deh kita lebih sering lihat diri kita. Kadang emang kita khilaf sih, khilaf buat komenin orang lain. Kalau saya pribadi, kadang greget ngasih tahu orang lain, bukannya komen sih tapi lebih kepada ngasih tahu. Ngasih tahu kalau misalkan si ini atau si itu ngelakuin hal yang salah. Ngingetin sih lebih tepatnya. Cuman kadang juga jatuhnya malah dikira cerewetin, ngomen padahal sifatnya positif. Ini juga yang suka jadi bahan sebel-sebelan, Orang ada yang komen, niatnya baik, cuman mau ngasih tahu tapi orang lain pandangannya beda malah ngira si orang tadi tu cuman komen nggak jelas, cuman mau ikut campur aja.

Saya juga mulai agak berhati-hati. At least, saya pun pernah mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari orang-orang yang sempat saya anggap sebagai teman. Tapi ternyata di belakang, mereka memberikan personality judgment. Saya memang diam, karena bagi saya, nggak ada gunanya juga ngebalas komenin balik. Kalaupun saya pernah komen balik itu amat sangat jarang dan thankful to God sekarang udah nggak lagi ngurusin begituan. 

Bukan apa-apa, saya jadi teringat, saya ini psikolog, kalau saya ikut-ikutan kayak gitu, gimana saya mau membangun hubungan personal serta diri yang baik supaya saya bisa kerja dengan baik, aman, nyaman, tenteram nanti? 

Kalau saya kayak gitu nggak ada bedanya dong, saya sama anjing yang menggonggong, nggak ada bedanya dong sama akun gosip atau hater yang seringkali menebarkan isu-isu miring, kalau kayak gitu, lalu kenapa saya jadi psikolog, nggak pantes deh kayaknya jadi psikolog tapi sikapnya childish tiap ada masalah main belakang kayak gitu. YA, ITULAH. Saya mikir ke situ. Bukan untuk dinilai orang tapi semata saya hanya ingin care pada diri saya sendiri. Kasihan saya kalau terus-menerus ngurusin orang yang pernah fitnah saya, jahatin saya bahkan nyemprot saya di sosmednya berkali-kali. Mungkin saya nggak bisa negur langsung, karena personally, saya pun tahu kalau rasanya ditegur di hadapan orang banyak itu sifatnya mempermalukan dan saya pun nggak mau melakukan hal yang sama seperti apa yang pernah orang lakuin pada saya. I don't deserve it

Jadi, buat orang-orang yang sebaliknya ya bukan lagi tukang komen tapi justru sering kena komen, sering di-bully secara verbal ataupun kena cyberbullying, percayalah bahwa dirimu itu sangat berharga, lebih berharga daripada tukang komen itu. Kalaupun kamu pernah salah, ketika kamu sudah admit kamu memang salah bukan salah yang karena pengen nyari sensasi biar dapat banyak komen, kamu berhak memperbaiki dirimu tanpa perlu mengkonfirmasikannya kepada si tukang komen. Nggak perlu. Nggak penting. 

Kita nggak perlu konfirmasi untuk menunjukkan eksistensi kita. Kita nggak perlu konfirmasi agar orang lain percaya sama kita. Kalau emang orang lain nggak percaya ya terus percuma aja kan konfirmasi sebab ada pepatah yang bilang, orang yang membenci kita nggak peduli mau kita bilang apapun, mereka tetap akan membenci kita. Sebaliknya orang yang memang baik pada kita dan peduli juga sayang dan tahu kita siapa sebenarnya, tanpa kita ngasih tahu, tanpa pake acara konferensi pers pun mereka akan tetap menyayangi kita. Itulah yang namanya unconditional positive regard. Menghargai tanpa syarat. 

Kalau mau berubah setelah melakukan kesalahan, nggak perlulah pakai acara konfirmasi. Biarkan dan tunjukkan saja dengan sikap yang secara alamiah kamu bentuk, kamu upayakan, dengan begitu jalannya pun bisa lebih enteng. 

Kalau kebanyakan konfirmasi, itu nggak ada bedanya kamu dengan akun gosip itu. Kebanyakan konfirmasi bisa aja kamu nggak bener-bener berubah. Kebanyakan konfirmasi bisa aja nanti jatuhnya kamu cuman mau cari popularitas. Buat apa? Buat apa dengerin dan mengharap populer di mata orang lain? Kalau niatnya sudah begitu, ya silakan aja sih jalan... nanti juga tahu kan ujungnya, hasilnya gimana.

Terus juga, saya greget bin gengges banget kalau ada orang yang dengan gampangnya bilang eh kamu itu kafir banget ya bla bla bla.. Eh eh... emang situ Tuhan kah? Kok enak banget ya bilangin orang kafir? Emang situ tahu kafir itu definisinya apa dan kayak gimana? Emang Tuhan pernah ngasih tahu situ kalau orang yang situ judge bakalan masuk neraka atau kafir? Emang pernah? NGGAK KAN??! Jadi, ngapain sih pakai acara ngatain orang lain kafir segala. Ya ampun, kita ini manusia biasa biangnya dosa dan salah loh. Bisa aja kan diri kita ini punya dosa yang jauh lebih besar, who knows, jadi mending jangan sok gitu deh.

Sempat juga dulu di sosmed ada salah satu orang yang saya tahu. Saya nggak bilang kenal tapi tahu. Mungkin saya kenal tapi nggak sepenuhnya saya kenal dia karena nggak pernah 100 persen berinteraksi penuh sama orang itu. Orang tersebut dengan entengnya nge-judge orang lain yang pakai jilbab syar'i dan laki-laki yang biasa disebut ikhwan yang pakai celana cingkrang/di atas mata kaki. Kenapa sih? Kok lancar jaya banget ya ngatain si hijaber syar'i itu sok suci, sok inilah itulah. LAGI DAN LAGI, emang situ Tuhan kah?

Kenapa juga sih selalu sukanya ngungkit-ungkit masa lalu orang lain? Apa orang lain nggak pernah keluar dari kenistaan di masa lalu dan meraih masa depan yang cerah? Why? Kenapa dengan mudahnya kita menebar kebencian cuman gegara orang itu, si anu dan si inu punya masa lalu yang jelek, yang bangsat. Banyak loh orang lain di luar sana yang akhirnya bisa jadi ulama, bisa jadi orang baik sebaik-baiknya di mata Allah padahal dulunya dia ngelakuin kejahatan yang naudzubillah bahkan mungkin kita jijik nggak mau maafin. Dan, pernah baca kan kisah seorang pelacur yang hanya karena dia ngasih minum anak anjing yang kehausan, lalu kemudian dia bisa masuk surga... Nah, lalu apa hak kita buat nge-judge kayak gitu tadi? Kalau belum paham, coba deh baca, dan tolong jangan langkahin hak prerogatif Tuhan untuk menetapkan legal judgment bagi manusianya ya.

Sebagai seorang psikolog pun, saya nggak mau munafik. Pastinya nggak bakal lepas dari yang namanya judgment tapi dalam ranah profesionalisme yaitu asesmen. Iya, bayangin aja selama kuliah kita ini ditempa banget belajar gimana caranya asesmen, gimana caranya menginterpretasi hasil skoring dari tes psikologi dari klien kita.

Kita diajarin cara interpretasi, gimana cara melaporkan hasil observasi itupun dengan pemilihan kata yang tepat, nggak boleh langsung nembak ngedeskripsiin pribadi orangnya, dan itu kudu hati-hati banget. Saya kasih contoh nih ya, semisal lagi ngeobservasi dua orang, orang pertama lagi nangis dan orang kedua semisal lagi nyubit orang pertama, misal aja loh ya.

Nah, untuk mendeskripsikannya ke dalam laporan, kita nggak boleh menjabarkan bahwa orang pertama menangis karena dicubit oleh orang kedua. Deskripsinya kudu detil dan nggak boleh pakai kata-kata direct yang langsung nge-judge perbuatan si orang kedua. Caranya? Panjang bok ya kalau dijabarin. Misal gini deskripsinya, nyubit dan nangis itu diganti dengan kalimat orang kedua mengarahkan tangannya ke arah lengan atas orang pertama dengan posisi ibu jari dan jari telunjuk mengapit kulit lengan orang pertama kemudian kedua jari tersebut diputar ke kanan dan ke kiri bergantian sebanyak dua kali. Lalu, tampak air keluar dari celah-celah kedua mata orang pertama dan dia membuka lebar mulutnya sambil berkata "haaa.." dengan nada tinggi.

Gimana? Susah kan? Nggak kepikiran kan kalau harus sedetil itu. Iya, itu adalah hasil observasi. Belum kalau disuruh nulis hasil asesmen wawancara dan hasil tes juga sama-sama nggak boleh langsung nge-judge. Seringkali biar lebih aman pakai kata "cenderung" atau kata-kata indirect.

Kenapa harus gitu? Sebab persepsi orang tentu beda-beda dan agar penilaiannya tidak timpang kanan dan kiri dan bisa bersifat netral tanpa menghakimi. Yap karena katakan aja orang kedua mencubit dan orang pertama menangis? Bisa aja karena momennya pas barengan, orang kedua lagi gemes sama orang pertama, tapi orang pertama menangis misalnya karena kehabisan diskon di toko atau barusan nonton film korea. Bisa juga karena emang orang kedua niat bikin orang pertama nangis. dan bla bla masih banyak kemungkinan interpretasinya ye kan?

Jangan dipikir itu pekerjaan yang gampang loh ya. Sama kayak dokter, taruhannya adalah kesejahteraan bahkan hidup manusia a.k.a klien loh.

Kalau salah asesmen, sampai pada treatmentnya pun pasti bakal salah, dan apa iya kita mau bertanggung jawab kalau sampai klien kita udah salah perlakuan terus misalkan berubah jadi nggak waras, nggak sehat atau bahkan mengakhiri hidupnya. Nggak mau kan kalau sampai itu terjadi?

Jadi, let's be smart aja sih. Sekian dulu ya tulisan saya, semoga bermanfaat.

WHAT IF



Lebaran itu identik sama silaturahmi ya dan biasanya di momen ini nggak jarang juga muncul proses saling banding-membandingkan antar kerabat dalam keluarga. Sikap membanding-bandingkan inipun nggak jarang bikin bikez alias bikin kezel karena dari comparison itu, pintu-pintu anxiety makin terbuka lebar di kepala. Kecemasan inilah yang saya mau bahas dan saya kemas dalam kalimat WHAT IF... Dan yak, tulisan ini bakal saya sangkut-pautkan antara perbandingan-kecemasan-keluhan yang kemudian bisa melahirkan what if.

Saya yakin semua orang, kamu, kamu dan kamu juga saya sendiri pasti pernah memendam what if. Apalagi perempuan yang cenderung lebih emosional ketimbang laki-laki jadi pasti segala sesuatunya dipikirin, dirasain, ditimbang-timbang dulu. Jadi jangan heran kalau perempuan dua kali lebih rentan cemas daripada laki-laki.

Saya masih ingat dulu ketika baru saja lulus SMA dan ingin memilih jurusan kuliah. Salah satu saudara keluarga ada yang berkomentar miring saat saya ingin mengambil jurusan psikologi. Orang tersebut berkata, "Huh, psikologi, mau jadi apa kamu ambil psikologi? Mau kerja apa? Susah kayaknya itu kerjanya."

Saat itu saya geram tapi untungnya saya masih punya hati sehingga bisa menekan untuk tidak marah-marah di depan orang tersebut. Saya cuman mikir dulu kan jurusan psikologi masih belum se-primadona kayak sekarang bahkan di tempat tinggal saya di Parepare dulu, denger kata psikolog aja, mereka masih suka nyamain sama paranormal.

Saya pun dulu kerap dibanding-bandingkan. Di keluarga bapak maupun mama, saya memang cucu pertama. Tapi khusus keluarga bapak, saya bukan cucu yang lahir pertama karena adik-adik bapak yang perempuan sudah lebih dulu menikah meski bapak adalah anak sulung. Sementara dari keluarga mama, saya adalah cucu yang pertama lahir dan adik-adik sepupu saya semua usianya di bawah saya. Perbandingan pun lebih sering muncul di antara keluarga bapak. Tapi di keluarga mama (dari garis keluarga jauh) juga masih ada yang suka banding-bandingin sih.

Ya, saya akui memang banyak saudara dari keluarga jauh saya yang anak-anaknya jauh lebih sukses, semuanya sekolah dan kuliah di kampus negeri bergengsi, dipenuhi fasilitas yang memadai, berkali-kali dapat beasiswa, jurusan kuliahnya pun yang bisa dengan sangat mudahnya dapat kerja setelah lulus dan tetek bengek lainnya. Saya akui itu dan saya pribadi pun bangga dengan mereka. Bangga memiliki saudara-saudara yang tangguh dan cerdas seperti mereka dan saya jadi termotivasi untuk lebih berprestasi semasa sekolah dulu.

Saya pun kadang dibandingin hanya karena nggak nikah muda, hanya karena saya lebih memilih fight untuk sekolah sampai S2 yang actually di garis keluarga inti mama dan bapak memang cuman saya yang sekolah sampai strata dua (tapi kalau dijejer sampai garis keluarga jauh baik itu dari tante om nya mama atau dari keluarga ipar sih memang ada yang S2 cuman saya ngebahasnya dari garis keluarga inti aja). Sepupu saya dari keluarga bapak semua nikah muda bahkan udah pada punya anak. Jadi, kalau ketemu mereka pun saya juga kurang bisa luwes dan kurang akrab, karena concern kita beda, cara berpikir kita beda dan beberapa dari mereka masih ada yang old-fashioned.

Tapi, saya menghormati pendapat dan pemikiran mereka kok. Bisa dimaklumi lah karena adik-adik bapak punya track record nikah muda jadi nggak terlalu saya ambil pusing. Cuman saya sempat merasa sedikit kecewa aja ketika mereka bertanya begitu, bapak terlihat seolah disudutkan karena bapak anak sulung sedangkan anaknya kami-kami ini lebih fight for study. Saya kurang setuju dengan cara mereka yang kadang kurang tepat dalam menyampaikan pertanyaan atau pendapat. Mungkin mereka lupa bahwa masing-masing orang punya rezeki dan waktu sendiri-sendiri bukan?

Jadi, ya baiknya berkomentar sih berkomentar aja, asal tepat pada batasannya, nggak yang sampai bernada menyudutkan apalagi memaksa. ✔

Kalau di jajaran keluarga mama, saya lebih leluasa untuk berpendapat dan bersikap sesuai dengan cita-cita dan prinsip saya karena mereka lebih open-minded. Mereka memang lebih ceplas-ceplos tapi nyaris nggak pernah tuh saya dengerin pertanyaan dari jajaran keluarga mama, "Kapan kamu nikah? Kok sekolah terus sih?" Justru saya senang karena salah satu adik sepupu saya juga alhamdulillah bisa sampai strata satu jadi saya lebih merasa punya teman sebaya yang beneran sebaya di keluarga mama daripada keluarga bapak. CMIIW ya. Bukan berarti saya lebih berat sebelah. Saya hanya berkata sesuai fakta dan apa yang saya rasakan.

Ohya, selain itu saya bukannya orang yang suka gembar-gemborkan prestasi saya juga sih tapi kalau diminta sebutin bakal saya jembrengin semua HAHAHA... *pengennya belagak songong tapi lihat diri sendiri ngalem begini tetep aja nggak bisa. Itulah kenapa mereka nggak pernah tahu kalau semasa sekolah saya pun pernah dapat beasiswa, juara di berbagai lomba, pernah jadi siswi teladan, dan lainnya, tapi saya diam. Diam karena saya paham bahwa everybody will blossom in their own season. Menurut saya, kita nggak perlu sih banding-bandingin diri sampai sebegitunya dengan orang lain karena kita punya "waktu" masing-masing dan kita akan berjalan sesuai dengan waktu tersebut.



Saya jadi ingat beberapa hari lalu dan memang sih tulisan ini juga terinspirasi berkat kiriman chat dari salah seorang teman sekolah di grup Whatsapp kelas kami. Dan, yang intinya, teman saya menuliskan, "Setiap orang punya zona waktu masing-masing dan seseorang bisa meraih banyak hal dengan kecepatan masing-masing. Setiap orang di dunia ini berlari di perlombaanya sendiri-sendiri, jalurnya sendiri-sendiri, dalam waktunya masing-masing. Obama pun pensiun dari presiden di usianya yang ke-55 tahun sementara Trump terpilih sebagai presiden di usianya ke-70 tahun. Kita tidak terlambat, tidak juga lebih cepat karena kita punya waktu masing-masing."

Overall, saya setuju banget sama tulisan kiriman dari teman saya itu. 4 THUMBS UP FOR IT!! 

Beside that, saya dulu memang sempat cemas. Banyak hal yang saya pikirkan termasuk mikirin perkataan saudara yang tadi. Jadilah akhirnya muncul what if what if di kepala saya. Gimana nanti kalau ternyata bener saya bakal susah dapat kerja karena saya kuliah di jurusan psikologi? Gimana ya kalau nanti ternyata bener, saya justru semakin dibanding-bandingin sama beliau karena nggak bisa seperti anak-anaknya? Gimana ya kalau saya kerjanya cuman ongkang kaki di rumah doang? Gimana kalau orang lain bakal nge-judge dan ngejekin saya hanya karena saya salah jurusan, salah pilih kerjaan dan salah-salah lainnya? HOW?? WHAT IF.....?

Tapi, lama-kelamaan, saya skip kecemasan itu dan mulai sadar setelah saya belajar sendiri di psikologi. Justru berkat kuliah di jurusan psikologi lah seenggaknya saya bisa lebih mengontrol untuk nggak kebanyakan micin mikir negatif. Sebelum kuliah pun saya sempat ragu karena what if tadi. Desperate dan upset sih iya pasti tapi in another side, saya berpikir lagi, kalau saya terus-terusan mengeluh, ngurusin judgment orang lain dan mencoba untuk mencari jurusan lain saat itu, mungkin saya nggak bakal betah kuliahnya atau mungkin saya mau saja ambil jurusan lain tapi nggak bakal selesai sampai lulus kuliahnya, naudzubillah deh.

Sampai saat inipun, saya tahu keluarga saya itu memang nggak sepenuhnya bisa menghargai semua usaha saya. Meskipun saya pernah mengajar sebagai dosen saat lulus S1, meski saya pernah menulis 4 buku dan bisa dapat penghasilan dari hobi saya sendiri, meski saya pernah jadi lulusan terbaik waktu S1 dan meskipun sekarang saya sudah jadi psikolog ya mungkin di matanya, terang saja masih jauh lebih sukses anak-anaknya dibanding saya. Despite of that, saya nggak terlalu pusingin karena toh orang punya jalannya sendiri, rezekinya masing-masing dan punya battle masing-masing. Dan saya jadi ingat sama nasehat dari teman baik saya bahwa kita nggak akan pernah bisa meraih simpati, memenuhi harapan dan tuntutan apalagi ngebahagiain semua orang? WHAT A SUCH IMPOSSIBLE THING.



Emang sangat gampang kalau kita mau nyari bahan untuk dikeluhkan. Mengeluh karena hidup kita dinilai nggak sebagus dan seindah inces-inces di negeri dongeng. Mengeluh dan berandai-andai karena pusingin perkataan orang lain.

Ya cukup dengan melihat "rumput" di rumah orang lain maka secara otomatis keluhan itu muncul dengan banyak rupa. Betapa capeknya kalau hidup seperti itu, melulu dengerin judgment orang yang nggak ada habis-habisnya, melulu melihat ke atas, banding-bandingin diri sama milik orang lain.

Mengeluhkan hidup yang kita hadapi dan jalani saat ini pun juga nggak baik. Allah saja udah berfirman bahwa setiap manusia itu diuji sesuai kadar kemampuan masing-masing. Menurut saya, mengeluh itu wajar tapi jangan berlebihan dan terus-terusan. Kalau hari ini masih aja kita ngeluh, misalnya ngeluh karena kok ya nggak selesai-selesai kuliahnya padahal udah mati-matian berjuang, kok ya pekerjaan kita susah banget ya di kantor, kok ya gaji yang didapetin dikit banget ya, kok ya kita nggak dilamar-lamar sih sama pujaan hati kita, kok ya masih nganggur aja sih bosen deh, dan kok ya.. kok ya.. lainnya.

Kalau udah gitu ya, hasrat untuk menjadi seperti orang lain pasti muncul. Iya nggak? Orang lain kok ya hidupnya selow nyaman dan sejahteran wae gitu ya sedangkan kita msaih gini-gini aja? Belum tentu. Belum tentu mereka senyaman dan se-sejahtera yang kita pikir loh. Inget lagi bahwa setiap orang dan setiap rumah itu punya ujian masing-masing. Belum tentu juga kan kalau kita ngotot harus seperti orang lain, kita bakal sanggup dan mau ngejalanin ujian yang dialami orang itu di balik kisahnya yang mana kita cuma bisa lihat dia di cover sehingga kita amazed sama orang itu. 

Kalau ternyata mereka sukses dan kaya tapi di sisi lain hidupnya berantakan dan terlibat kasus kriminal, apa kita mau kayak gitu? Kalau memang mereka punya kerjaan bagus dengan gaji yang menggiurkan tapi ternyata di tempat kerja mereka diuji dengan kehadiran "mulut-mulut singa" yang hobinya nge-bully mereka tiap hari tiada henti, apa kita sanggup? Belum tentu juga kan.

Kenapa sih harus ada drama kepengen kayak orang lain? Kenapa harus khawatir kalau nggak kayak mereka kita bakal sengsara dan nggak hidup dengan layak? Kenapa nggak mencoba untuk be the best of own self aja sih? Bukankah melihat sisi positif dari diri kita jauh lebih berharga daripada terus-terusan khawatir dan berandai-andai 

Di lain sisi, kalau kita termasuk orang yang hobinya menilai orang, coba deh belajar nge-rem. Ya, kita memang paling bisa menilai orang lain, takjub  atau ngeremehin orang lain tapi kita nggak pernah mencoba untuk nge-break down sisi-sisi tantangan/cobaan yang dihadapi orang tersebut, gimana usaha dia untuk sampai pada titik itu dan hal positif apa yang bisa bikin kita untuk menghargai orang tersebut.



Nggak menutup kemungkinan orang yang kebanyakan ngeremehin sebenarnya deep in their heart mereka sangat jealous dan karena dialah yang membuat hidupnya merasa bosan sampai kurang kerjaan keluhin diri sendiri lalu ngeremehin orang lain. Saya bukannya ngejek tapi kebanyakan sih seperti itu. Dari sini saya pun berpikir memang bener sih untuk selalu remind ourselves to not taking something for granted. Jangan. Jangan biasain nggak ngehargain atau ngeremehin hidup orang lain lalu menyimpulkan sendiri sesuai persepsi kita kayak gitu padahal kita nggak tahu di balik layarnya kayak gimana. Jangan juga biasain untuk ngeluhin hidup kita sendiri karena kitalah yang benar-benar tahu bahwa sebenarnya ada usaha yang pernah atau sedang kita kencengin demi bisa sampai pada tahap saat ini kan? Kita nggak pernah tahu kalau hidup yang kerap kita keluhkan adalah the things that someone else is praying for loh.

Kalau kita masih aja suka komen soal hidup orang lain, coba deh dikontrol karena itu bisa membahayakan hidup orang lain. Awal-awalnya sih mereka bakal keep in mind banget sama komentar kita, tapi lama-kelamaan kalau pikirannya udah kacau, yang tadinya orang itu bukan pencemas lama-lama bisa ngalamin gangguan kecemasan kan bahaya juga buat hidupnya. Jangan dikira gangguan kecemasan itu adalah hal yang receh loh ya. Nggak tahu kan nyembuhinnya pake terapi ke psikolog atau psikiater bayarnya berapa?

Kalian juga nggak tahu kan gimana tersiksanya kalau ternyata kecemasan yang dia derita berkembang menjadi depresi dan harus divonis minum antidepresan dalam jangka panjang efeknya kayak gimana? Dan ada juga loh orang yang sulit untuk kembali normal meski udah ikut terapi model apapun. Kalau kayak gitu apa kita nggak takut dosa?

Gimana caranya biar what if  di kepala kita berkurang?

Gimana caranya biar kita nggak ngomentarin hidup orang lagi?

Dan, gimana caranya biar kita nggak ngeluhin hidup diri sendiri?

Jawabannya nggak lain adalah bersyukur. Ingatlah bahwa di antara makhluk lain, manusia, kita ini adalah makhluk dalam penciptaan paling sempurna. Ingatlah bahwa kita ini masih dikasih oksigen gratis loh, masih bisa napas lega. Coba deh lihat orang-orang yang harus dibantu pernapasannya pake selang oksigen, yang cuman bisa terkapar di pembaringan, yang udah kena stroke sampai stuck nggak bisa ngapa-ngapain? Nah, kalaupun mau banding-bandingin diri, maka rajin-rajin tengok ke bawah. Bandingin sama orang lain jauh di bawah kita, maka kita bisa lebih mudah nemuin something to be thankful.

Daripada cuman fokus ngeluh yang akhirnya bikin makin cemas dan makin berandai-andai ngawur buat mirip-miripin sama hidup orang lain, mungkin kita perlu perbanyak luangkan waktu untuk mendekatkan diri sama Tuhan, minta ampunan-Nya. Mungkin kita juga perlu lebih kreatif. Kenapa saya bilang kreatif karena orang yang suka ngeluh biasanya cenderung mudah bosan. Sebab bosan bisa bikin kita menyalahkan keadaan padahal orang bosan itu ya karena dia sendiri yang membuat hidupnya membosankan, nggak pernah do or challenging their selves to do something new. Kreatif bukan berarti musti nyiptain pesawat kayak Pak BJ Habibie atau musti bikin kreasi kerajinan tangan. Kreatif yang saya maksud sebagai contoh misal kalau tiap hari kita ngeluh karena gaji dari pekerjaan nggak cukup untuk menuhi hidup, jangan pernah ragu untuk membuka usaha sendiri, bisa dari hobi atau cari kesibukan lain yang sekiranya bisa menghasilkan juga di luar pekerjaan di kantor. Atau contoh lain, semisal kita ngeluh karena tiap kali beli bensin di pom yang sama selalu antre panjang, maka cobalah sesekali beli ke pom lain meskipun agak jauh. Selain memungkinkan untuk nggak antre panjang di pom lain itu, kita jadi bisa melihat pemandangan di sekitar jalan yang jarang atau bahkan nggak pernah kita lewati. Barangkali bukan cuman dapet bensin tapi juga dapat rezeki lain. Heheh... ngaco deh.

Ya udah segitu aja sih tulisan saya kali ini. Semoga bermanfaat ya.