Pages

AGRESIVITAS, SELALU NEGATIFKAH?

Assalamu'alaikum
Sudah lama sekali tidak update blog ini.
Siang ini, saya masih kuliah. Rasanya bosan dan ngantuk. Saya cuma mau sharing saja. Tadi pagi kami kuliah Karya Ilmiah II dengan pengampu Pak La. Oya, saya juga baru menyadari bahwa sebagian besar tulisan dalam blog belakangan ini, inspirasinya berasa dari kelas Pak La. Ada...saja yang Bapak itu katakan. Sesuatu yang awalnya tak pernah terpikirkan, malah terceletuk di benak beliau. Unik, menarik dan sangat menginspirasi meskipun hanya hal sepele.


Tadi pagi, Pak La me-review tugas proposal tesis kami. Eeeettt... jangan kaget dulu ya. Kami memang sudah diminta untuk membuat proposal tesis di semester dua ini karena semester 3 mendatang, kami akan full praktek kerja profesi di beberapa tempat seperti RSJ, Puskesmas, Lapas atau Dinsos.

Di sela-sela review oleh Pak La, ada seorang teman yang mengangkat tema tesis yaitu agresivitas dan penyesuaian diri. Pak La nyeletuk, "Loh, dalam rumah tangga itu kok bisa terjadi KDRT?" Kenapa itu digolongkan agresivitas dan lebih sering dilakukan oleh suami terhadap istri? Sebab, agresivitas yang suami lakukan adalah sebagai bentuk pembelaan diri. Jadi, agresivitas yang dilakukan suami terhadap istri itu adalah bentuk agresivitas aktif yang dapat meliputi bentakan, pukulan, makian dan lain-lain. Nah, kalau perempuan? Apakah para perempuan tidak tergolong makhluk yang agresif juga? Gimana, ada yang bisa menjawab?

Yap, sebenarnya, perempuan itu juga agresif. Ettss, tapi bentuknya mungkin berbeda dengan laki-laki. Perempuan itu melakukan bentuk agresivitas atau pembelaan diri dengan cara diam atau pasif. Seorang perempuan itu dapat menarik perhatian laki-laki atau orang lain kan bukan dengan cara berkoar-koar tapi dengan cara yang smooth.

Pada intinya, agresivitas itu sebenarnya tidak selalu bermakna negatif. Agresivitas juga bisa bermakna positif. Kalau yang saya pahami, mungkin mirip dengan konsep ambisi gitu kali ya. Contohnya saja apabila rajin bertanya itu dapat meningkatkan nilai akademik seorang siswa, maka ia harus bertindak agresif dengan cara rajin mengacungkan tangan untuk bertanya. Mungkin sederhananya seperti itu kali ya. Kalau misalkan kita ingin mencapai puncak prestasi tertentu, maka kita harus agresif melakukan berbagai upaya untuk meraihnya. Kalau hanya diam, tentu tidak akan tercapai. Agresivitas itu bisa bermakna negatif ketika dilakukan secara berlebihan, sudah masuk taraf mengganggu dan merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Cukup sekian dulu hasil sharing dari saya. Jika ada kesalahan, mohon dikoreksi ya. 
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

EMPATI, SIMPATI DAN PARTISIPASI

Selalu. Kayaknya sebagian besar postingan berbau materi psikologi untuk belakangan ini sering bersumber dari cerita Pak La. Begitu pula pada postingan hari ini. Saya sebenarnya juga sudah share di FB mengenai materi perbedaan antara empati, simpati dan partisipasi.

Well, sebelumnya saya mo cerita dulu lah buat intermezzo. Jumat kemarin, kami kuliah Intervensi Komunitas. Pak La yang mengampunya. Full seharian bersama beliau mulai jam 8.00 am sampai 15.00 pm. Beliau itu memang disiplin, ketat banget. Makanya tiap hari, saya selalu berangkat satu jam sebelum perkuliahan dimulai. Beliau kalau masuk kelas, kalau belum tepat jam 8, beliau duduk-duduk sambil ngobrol bercanda sama kami. Tepat jam 8 barulah dimulai dengan ucapan Assalamu'alaikum. Itu tandanya materi dimulai. Kami kuliah dari jam 8 sampai 10 pagi. Jam 10 istirahat sekitar 10 menit. Lalu pukul 11.00, kami istirahat+shalat. Beliau dan dua orang teman laki-laki kami shalat Jumat di masjid kampus. Lucunya, waktu jam 11 itu, hape Pak La bergetar tanda alarm berbunyi. Di alarm tersebut tertulis, "Sudah selesai." Jadi nggak boleh bicara lagi haha, lucu banget bikin kami sampai ketawa-tawa. Masuk lagi tepat jam 1 siang.

Materi yang kami pelajari adalah Konseling Kelompok. Dimulai dari teknik-teknik konseling paling mendasar. Itupun materi yang diajarkan oleh Pak La adalah teknik yang sangat sederhana. Seperti teknik bagaimana mengangguk secara profesional bagi psikolog/konselor sebagai bentuk acceptance terhadap klien. Kata Pak La, latihan mengangguk aja. Anggukan psikolog itu profesional, katanya. Jangan seperti orang India, geleng-geleng terus, nanti kliennya pada kabur. Kemudian teknik understanding, bagaimana psikolog/konselor memahami dengan cara menerima apa yang diungkapkan, dipikirkan dan dirasakan oleh klien. Dan teknik re-statement, yaitu mengulangi pernyataan yang dikemukakan oleh klien guna mengetahui apa maksud sesungguhnya dari pernyataan klien tersebut.

Setelah itu, masuk pada tahap empathy
Nah, beliau bertanya, "Apa bedanya empati, simpati dan partisipasi?" 
Salah seorang teman kami, Mbak Ni menjawab, "Empati itu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh klien." 
Pak La membalas, "Jadi, kalau klien merasa gembira berarti konselor juga harus merasa gembira. Kalau klien sedih gimana? Konselor apa juga harus merasa sedih? Kalau kliennya ngamuk-ngamuk, konselor juga ngamuk?"

Kami tertawa lagi sampai nggak jelas antara rasa kantuk yang kami alami semua dengan perasaan geli gara-gara candaan Pak La.

Lalu, Pak La memberikan jawaban dengan ilustrasi nasi goreng. Beliau bertanya pada barisan tempat duduk sebelah kiri.
"Suka makan nasi goreng?"
"Suka, Pak."
"Biasanya pakai lauk apa?"
"Ayam, disuwir-suwir, Pak."
"Sayur."
"Kubis, Pak."
"Telur."
Terus, Pak La kemudian bertanya lagi, "Loh tadi ayamnya itu apa masih hidup, masih jalan terus ditangkap, atau gimana?"
"Nggak, Bapak... Udah mati. Udah digoreng, disuwir-suwir."
"Nah, itu. Konselor itu ndak boleh kayak ayam. Ayam itu mengorbankan jiwa raganya untuk dimasak buat dicampur sama nasi goreng. Kata ayamnya, wes, kasihan dia itu lapar, ya udah potong saya saja."

Contoh ayam pada nasi goreng ini adalah bentuk simpati. Jadi, singkatnya, simpati itu adalah mengorbankan jiwa raga, larut dan hanyut ke dalam pikiran dan perasaan seseorang.

"Terus, telurnya tadi, apa masih hidup? Diambil dulu dari ayam apa gimana?"
"Nggak, Pak. Udah mati. Digoreng."
"Nah, itu. Psikolog juga ndak boleh kayak telur. Telur itu sebenarnya ndak tahu, saya ini mau diapakan to, ndak mengerti itu. Jadi, udah nyumbangin diri aja."

Contoh telur ini adalah bentuk partisipasi. Singkatnya, partisipasi itu adalah menyumbangkan diri tanpa tahu tujuan yang jelas.

"Nah, misal ada Si A lihat temennya si B lagi makan nasi goreng. Si A bilang, "Wah, kamu ini makannya banyak banget ya. Ob.. saya memahami kalau kamu itu lapar banget jadi makannya banyak."

Contoh orang A inilah yang dinamakan empati. Jadi, empati itu adalah memahami apa yang dipikirkan, dirasakan dan dialami oleh klien.

Jelas banget kan perbedaannya?
Contoh ilustrasinya rada aneh, unik tapi cukup mengena. Ya emang gitulah Pak La kalau ngasih contoh. Ada saja yang nggak pernah terpikirkan oleh kita.

Oke, demikianlah sharing hari ini.
Semoga bermanfaat.

KONSULTASI: AWAM VS PSIKOLOGI

Kuliah intervensi komunitas kemarin, kami dapat ilmu baru dari Pak La. Kali ini, saya akan sharing tentang konsultasi?

The question is, pernahkah Anda melihat plang-plang konsultasi di pinggir jalan? Itu konteksnya gimana ya? Atau, pernahkah Anda melihat plang konsultasi psikologi?

Ternyata, konsultasi itu memiliki banyak sekali pengertian, tergantung konteksnya dan siapa yang melakukannya. Anyway, konsultasi dari kacamata awam dan konsultasi psikologi itu beda banget loh. Mungkin, kalian pernah gitu lihat atau ketemu sama lulusan dari jurusan mana saja. Kemudian, dia menawarkan jasa konsultasi sesuai dengan background pendidikannya. Lalu, apa bedanya sih sama konsultasi dalam bidang psikologi?


Konsultasi menurut pengertian awam adalah memberikan penjelasan tentang suatu masalah. Oke, noted.
Nah, konsultasi dalam konteks profesi khususnya profesi psikolog atau profesi apapun--(kalo bicara profesi berarti orangnya itu udah dilatih secara profesional dan memperoleh sertifikat atas profesinya tersebut)--adalah interaksi antara konsultee dan konsultan untuk membicarakan masalah-masalah klien. Nah..udah ketahuan kan bedanya dari pengertian awam sama profesi?

Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa dalam konsultasi profesi itu melibatkan tiga pihak: konsultan, konsultee dan klien. Dulu saya mengira bahwa konsultasi profesi itu hanya melibatkan dua pihak yaitu konsultan dan klien. Ternyata sebetulnya ada 3 pihak.

Penjabaran rincinya, klien itu adalah orang yang punya masalah pribadi. Konsultee adalah orang atau pihak yang me-manage klien. Konsultee juga punya masalah, tapi masalahnya adalah masalah seputar kliennya atau lembaganya. Sedangkan, konsultan adalah orang yang memberikan bantuan.

Next, konsultasi dalam bingkai profesi itu mempunyai 2 sifat: langsung dan tidak langsung. Tapi, yang paling umum itu adalah bersifat tidak langsung. Berikut ini poin-poin penjelasannya, mengapa konsultasi itu ada yang bersifat tidak langsung.

  1. Antara konsultan dan konsultee tidak berhubungan secara langsung. Maksudnya, di antara mereka ada sekat atau batas yang harus ditaati. Yaa begitulah peraturan sebenarnya.
  2. Konsultan tidak boleh memaksakan kehendak pada konsultee. Jadi, hubungan mereka setara. Tidak ada yang menekan dan ditekan, tidak ada yang berkuasa dan dikuasai, tidak ada yang paling tinggi otoritasnya. Contohnya aja seorang arstiek. Ketika konsultee mempunyai klien yang ingin membangun rumah minimalis bergaya Eropa, misalnya, maka konsultee datang pada arsitek (konsultan) untuk berkonsultasi tentang bagaimanakah desain dari gambar rumah minimalis bergaya Eropa itu. Tugas arsitek hanyalah mendesain/menggambar rumah minimalis untuk ditunjukkan kepada konsultee. Ketika konsultee keberatan karena ada beberapa bagian dari desain yang tidak sesuai dengan maksud/pikirannya, maka konsultan harus menggantinya sesuai dengan yang dimaksud konsultee. Jadi, konsultan tidak berhak mengkritisi.
  3. Konsultan juga tidak boleh mencampuri urusan-urusan pribadi konsultee apalagi urusan klien si konsultee. Konsultan tidak berhak menanyakan bagaimana kondisi klien karena itu adalah area milik konsultee. (Ini menyangkut kode etik seorang konsultan profesional).
  4. Konsultan itu orientasinya adalah problem focused. Langsung to the point apa solusinya, tidak boleh bertanya "Why?" dan tidak perlu bertanya atau menggali sebab-akibat dari masalah tersebut.
Sekarang pertanyaannya, jadi seorang psikolog itu apakah sama dengan konsultan?? Psikolog itu bisa saja menjadi konsultan, tapi bisa juga berdiri sendiri sebagai psikolog. Namun, psikolog pada dasarnya ya psikolog. Psikolog juga punya kode etik. Bedanya konsultan dari profesi lain sama yang dari profesi psikologi adalah: Psikolog diberikan hak/kewenangan oleh profesinya (sudah menjadi kode etik) untuk "menelanjangi" semua urusan pribadi klien. Jadi, psikolog yang posisinya sebagai konsultan ataupun psikolog umum, tetap diperbolehkan untuk bertanya sebab-akibat dari masalah yang ditangani, bertanya tentang semua rahasia-rahasia klien. Dalam proses konseling dan psikoterapi pun demikian. Psikolog harus tahu semua masalah personal klien dari akar-akarnya.

Begitulah materi yang kami dapatkan dari Pak La. Kalo dihubungkan dengan matkul Intervensi Komunitas, kita bisa menari simpulan bahwa teknik intervensi untuk komunitas itu ada yang bersifat langsung pada orang-orang yang ditangani dalam sebuah komunitas dan ada pula yang hanya berorientasi pada lembaga. Menangani klien dalam konteks intervensi komunitas itu, tidak harus langsung pada klien. Penanganannya pun bisa cukup sekali atau dua kali saja dilakukan dengan orientasi target yang lebih banyak. Jadi, sebisa mungkin 1 intervensi efektif untuk 1000 orang dalam sebuah komunitas.

Sekian dari saya
Semoga bermanfaat ^_^